Sore-sore jelang berbuka puasa, karena nggak ada kerjaan—lebih pas disebut males ngapa-ngapain—saya berselancar ke portal berita online. Saya langsung maktratap membaca salah satu informasi di sana, bahwa pemerintah kita meminta agar ratusan ribu lahan gambut diubah jadi sawah. Kata Pak Airlangga Hartarto, lahan gambut di Kalimantan Tengah yang luasnya 900 ribu hektare itu akan disulap menjadi sawah.
Kira-kira kenapa kok sampai pemerintah punya rencana itu ya? Dapat wangsit dari mana? Jelas bukan wangsit hasil bertapa ke Gunung Lawu atau dari siapa-siapa. Bukan juga program dan janji sejak masa kampanye dulu. Toh, yang dijadikan iming-iming waktu kampanye saja entah ke mana rimbanya.
Penyebabnya apalagi kalau bukan ketakutan yang membuncah akan krisis pangan selama masa pandemi. Iya, memang masih nggak jauh dari ontran-ontran pandemi. Sebelumnya muncul wacana untuk memakai sagu jadi kebutuhan pokok. Kini, barangkali karena nggak yakin sagu bisa diterima masyarakat Jawa Indonesia, pemerintah pikir lebih baik menambah lumbung padi.
Apakah kamu-kamu mencium aroma-aroma aneh? Tidak… tidak… belum ada bau anyir korupsi dari kebijakan ini, kok. Lha wong masih wacana je! Sudah nemu letak keanehannya?
Nggak ketemu? Nih saya jelasin. Kebijakan ini seolah anomali dari kebijakan dan kelakuan pemerintah sebelum-sebelumnya. Dulu pemerintah getol banget gusur sini, gusur sana. Pokoknya semua yang menghalangi proyek infrastruktur harus digusur, termasuk lahan.
Masih ingat konflik agraria di Kulonprogo? Bagaimana warga Temon dan sekitarnya menolak penggusuran lahan yang hendak dibangun bandara New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA). Aih, sungguh menyesakkan hati apabila mengingat kejadian itu. Kebetulan waktu ramai-ramainya demo besar-besaran itu saya lagi singgah sejenak di Jogja.
Miris mendengar kabar warga dan pemilik lahan dipukuli, serta jurnalis, aktivis, dan kawan-kawan pers mahasiswa juga ikut diintimidasi. Siapa lagi pelakunya kalau bukan aparat gabungan. TNI, Polri, dan Satpol PP bersinergi memukul mundur warga yang tak sudi menjual tanahnya. Sementara eskavator memaksanya supaya rata dengan tanah.
Begitu juga proyek tol yang memakan ratusan lahan padi. Apa pemerintah melupakan itu semua? Barangkali masih ingat, tapi mungkin pikir mereka, buat apa juga hal itu diulik kembali. Toh buahnya sudah dipetik bersama. Perjalanan mudik dan pulang kampung selama lebaran kemarin lancar jaya.
Apabila pemerintah melupakannya, ya saya maklum sebab tugas mereka segambreng sampai bingung mau nyelesain yang mana dulu. Makanya saya berbaik hati mengingatkan. Walaupun saya sadar, niat baik saya ini hanya dibaca kamu-kamu yang kurang kerjaan. Alih-alih sampai ke kuping Pak Jokowi.
Tapi ini serius loh. Dulu sawah itu seperti lahan surga yang siap digusur untuk dibangun real estate atau pabrik. Ketika eskavator mengeruk lahan, polisi mengeluarkan gas air mata, dan Satpol PP memakai pentungan buat mukulin warga, saat itu juga tak sadar kalau yang mereka gusur lumbung pangan.
Lalai terhadap orang-orang yang mereka tendang dan pukul. Padahal orang-orang itulah yang menyediakan padi. Tanpa petani, aparat tak bisa makan nasi saban hari, tak dapat menyediakan menu resepsi pernikahan, dan ujung-ujungnya kelaparan.
Aparat tak tahu berterima kasih itu melebihi anak durhaka yang dikutuk jadi batu. Oke… oke… itu cuma ditugasi dari pemerintah. Nah, sekarang giliran pemerintahnya nih. Bicara pemerintah berarti tanggung jawab presiden dan para kabinetnya.
Saya kok yakin, Pak Jokowi, presiden kita yang luar biasa cerdas saat menjawab pertanyaan wartawan itu orang baik. Buktinya, tiga jabatan struktural telah ia peroleh. Karir Pak Jokowi ibarat naik tangga. Jadi Walikota Surakarta, kemudian naik jabatan di atasnya, Gubernur DKI Jakarta, naik lagi jadi Presiden Republik Indonesia. Tingkat elektabilitasnya jangkap.
Dua pendahulunya pun tak sementereng Pak Jokowi yang menjabat di tiga otoritas wilayah kepemimpinan yang berbeda-beda. Saya percaya—meski nggak seratus persen seperti survei-survei badan litbang—ketika melihat lahan rakyat digusur, dalam hati, Pak Jokowi pasti terenyuh.
Namun mau gimana lagi, penggusuran tetap harus dilakukan, sebab telah menjadi program pesanan kerja. Waktu ditanya, paling-paling beliau akan menjawab, “semua sudah sesuai prosedur”. Ironisnya, justru Pak Jokowi akhir-akhir ini giat mendorong agar mencetak sawah. Gimana perasaan beliau ya setelah tahu pandemi ini mengancam pangan?
Menyesal? Bisa jadi. Saya ngebayangin Pak Jokowi nepuk jidatnya dan bilang, “Aduh! Tahu begitu dulu nggak usah nurutin buat gusur-gusur lahan sana-sini ya?” Eh, gimana-gimana, nurutin? Tenang Pak Jokowi dan para pendukungnya, ini sekadar contoh, ilustrasi, reka adegan, atau penggambaran sederhana. Jangan naik pitam, yhaaa… damai-damai.
Tapi yaudah lah ya, yang lalu biarlah berlalu. Anggap aksi menggusur kemarin-kemarin itu khilaf gitu aja. Khilaf yang nggak menyebabkan warga kehilangan lahan, tempat tinggal, bahkan merenggut nyawa.
Bapak fokus ke rencana pengalihan lahan gambut jadi sawah sahaja. Saya dukung supaya bapak serius dengan kebijakan itu. Saya doakan juga semoga sukses dan berhasil.
Mudah-mudahan program ini nggak kandas dengan sendirinya. Karena jika kandas, maka bukan tidak mungkin program ini tak memberikan manfaat yang signifikan. Lucu semisal membuka sawah baru justru menjelma jadi ajang perusakan lahan gambut semata. Ramashok!
BACA JUGA Bagi Rakyat Miskin, Pemerintah Memang Tak Pernah Lebih Baik Ketimbang Acara Bedah Rumah dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.