Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Featured

Bagi Rakyat Miskin, Pemerintah Memang Tak Pernah Lebih Baik Ketimbang Acara Bedah Rumah

Aris Rahman P. Putra oleh Aris Rahman P. Putra
20 Desember 2019
A A
Bagi Rakyat Miskin, Pemerintah Memang Tak Pernah Lebih Baik Ketimbang Acara Bedah Rumah

Bagi Rakyat Miskin, Pemerintah Memang Tak Pernah Lebih Baik Ketimbang Acara Bedah Rumah

Share on FacebookShare on Twitter

Kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepada rakyat sipil kembali terjadi. Kali ini yang jadi korban adalah warga Tamansari, Bandung, Jawa Barat. Bukan sesuatu yang mengagetkan. Karena kita semua tahu, aparat memang seperti akan menderita gatal-gatal bila tidak menjalankan tugasnya dengan tanpa menyiksa rakyat.

Yang jadi mula dari seluruh kejadian ini adalah upaya penggusuran yang hendak dilakukan oleh Pemerintah Bandung kepada warga Tamansari. Rencananya kampung itu akan diratakan untuk menjalankan program membangun rumah deret.  Masalahnya, proses gugatan masih terus diperjuangkan oleh sebagian warga yang memilih untuk tetap bertahan, belum ada keputusan final dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),  sehingga penyerbuan yang dilakukan aparat sebenarnya cacat secara hukum. Dan, parahnya, sudah cacat hukum, dilakukan dengan berangasan pula.

Saya selalu gampang tersentuh dengan isu penggusuran. Karena saya pun pernah, dan bahkan, masih bergulat dengan isu tersebut secara langsung.

Sebelum hijrah merantau ke Jogja, saya tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana bersama dua orang tua di kawasan Medokan Semampir Timur, Surabaya. Daerah tersebut dulu biasa dikenal dengan sebutan Kampung Seng karena kebanyakan rumah di sana beratapkan seng dan asbes. Rumah saya sendiri sampai sekarang masih beratapkan asbes sebagian, dan juga berdinding separuh gedek separuh batu-bata.

Mulanya kami tinggal damai-damai saja. Uang sewa yang cuma 5 juta per tahun membuat saya dan sekeluarga memilih untuk tinggal di kampung ini meski sebenarnya, sebagian orang Surabaya menganggap pemukiman ini terlalu kumuh untuk dijadikan tempat tinggal.

Tapi, setelah beberapa tahun tinggal, mencuatlah sebuah isu yang menggelisahkan seluruh warga kampung. Muncul desas-desus bahwa kampung ini bakal digusur karena tanah kampung ini dianggap milik sebuah perusahaan. Desas-desus yang sialnya tak butuh lama buat menjadi sebuah kenyataan.

Pagi-pagi, saat saya tengah bersiap pergi ke kampus, berkumpulah puluhan polisi bersama Satpol PP di kampung. Saat itu saya tak punya pikiran buruk karena sebelum-sebelumnya, kejadian semacam ini pernah beberapa kali terjadi dan tak ada hal buruk karena yang dilakukan para aparat hanyalah melakukan pendataan bla bla bla dan setelah itu membubarkan diri.

Namun, malam harinya, sepulang dari kuliah, saya disambut dengan sebuah kabar yang membuat saya begitu emosi.

“Sebagian rumah sudah digusur, Le,” kata Ibuk.

Saat itu rasanya saya ingin sekali menonjoki wajah setiap aparat yang masih berkeliaran di kampung, tapi tentu, saya tak sebernyali itu. Saya ingin menangis, tapi setengah mampus coba saya tahan.

Tak lama sejak kejadian itu, beberapa warga ditawari untuk menyerahkan tanahnya dengan baik-baik kepada perusahaan dengan iming-iming ganti rugi yang begitu rendah. Beberapa warga yang takut memutuskan untuk menjualnya. Tapi sebagian lain memilih bertahan dan berusaha melakukan perlawanan, salah satunya adalah keluarga saya.

Dengan dibantu oleh seorang pengacara yang baik hati dan beberapa aktivis, warga melakukan gugatan balik. Warga memang tak memiliki sertifikat tanah, tapi perusahaan pun tak cukup memiliki bukti bahwa mereka adalah pemilik sah dari tanah di kampung kami.

Perlawanan tersebut setidaknya berhasil membuat keluarga saya dan sebagian warga kampung berhasil bertahan hingga saat ini. Tapi, kasus menjadi semakin kusut untuk saya ikuti. Entah sejak kapan, tiba-tiba warga kampung jadi berhadapan dengan pemerintah kota. Kali ini pemerintah Kota Surabaya berkunjung dan menyatakan bahwa kampung ini letaknya di sepadan sungai bla bla bla dan sehingga harus digusur demi tata kota yang lebih indah.

Lalu saya pergi merantau ke Jogja. Meninggalkan kedua orangtua yang masih tinggal di rumah kontrakan sederhana yang dibangun di atas tanah yang masih berstatus tanah sengketa.

Beberapa bulan lalu, saya pulang kampung dan menanyakan hal ini lagi kepada Ibuk.

“Kabar sidangnya gimana, Buk? Gak jadi digusur, kan, kampung ini?”

“Ealah, Le. Wong pengacara yang belain kampung ini saja mau diperkarakan…”

Saat itu Ibuk sedang menonton acara Bedah Rumah di tv. Bedah Rumah adalah salah satu acara yang sering ditonton saya dan sekeluarga, Waktu kecil, di dekat tempat tinggal saya yang lama ada sebuah rumah yang didatangi Tim Bedah Rumah. Saya dan kedua orang tua, bersama puluhan warga di sekitar ramai-ramai menontoni aksi Tim Bedah Rumah memperbaiki rumah yang mulanya jadi buruk menjadi rumah yang sedap dipandang mata.

Saya selalu ingat, bahwa Ibuk saat itu berkata, “Kapan, ya, rumah kita dibedah.” Dan saya menimpali balik, ”Memangnya kita punya rumah?”

Dialog itu terus berulang setiap saya dan sekeluarga menonton bareng acara Bedah Rumah. Sampai kemudian saya baru menyadari, bahwa Ibuk lebih sering berharap bahwa suatu hari nasib keluarga kami akan berubah setelah didatangi Tim Bedah Rumah ketimbang berharap kepada pemerintah. Dan kejadian di Tamansari membuat saya memahami kenapa hal itu terjadi.

Ya, karena pemerintah lebih suka mengusir dan menggusur ketimbang memperbaiki.

BACA JUGA Ketika Prof. Mahfud MD Membual Soal Pelanggaran HAM atau tulisan Aris Rahman P. Putra lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 20 Desember 2019 oleh

Tags: aparat keamananbedah rumahPelanggaran HAMpenggusuran
Aris Rahman P. Putra

Aris Rahman P. Putra

ArtikelTerkait

Memahami Security of Tenure untuk Mengatasi Pemukiman Liar secara Manusiawi

Memahami Security of Tenure untuk Mengatasi Pemukiman Liar secara Manusiawi

24 Oktober 2022
Pak Jokowi, Saya Mau Cerita soal Kilang Minyak Tuban yang Tidak Bapak Tahu

Pak Jokowi, Saya Mau Cerita soal Kilang Minyak Tuban yang Tidak Bapak Tahu

27 Desember 2019
Ketika Prof. Mahfud MD Membual Soal Pelanggaran HAM

Ketika Prof. Mahfud MD Membual Soal Pelanggaran HAM

13 Desember 2019
Kontroversi Depok: Membangun Masjid tapi Menggusur Sekolah, Logikanya Gimana Sih?

Kontroversi Depok: Membangun Masjid tapi Menggusur Sekolah, Logikanya Gimana Sih?

15 Desember 2022
Al-Quds

Al-Quds day: Upaya Merawat Ingatan

28 Mei 2019
Jogja Istimewa, Gunungkidul Merana

Wisata Gunungkidul: Warga Membangun, Pemodal Menggusur

14 Oktober 2022
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

3 Hal Sepele yang Nggak Boleh Dilakukan di Hadapan Orang Tegal

3 Hal Sepele yang Nggak Boleh Dilakukan di Hadapan Orang Tegal

16 Juli 2025
4 Lumpia Semarang yang Bikin Kecewa Wisatawan, Jangan Dibeli

4 Lumpia Semarang yang Bikin Kecewa Wisatawan, Jangan Dibeli

11 Juli 2025
3 Pantai di Pangandaran yang Tidak Layak Dikunjungi, Wisatawan Sebaiknya Berpikir Dua Kali Mojok.co

3 Pantai di Pangandaran yang Tidak Layak Dikunjungi, Wisatawan Sebaiknya Berpikir Dua Kali 

15 Juli 2025
Judol Pakai Duit Bansos, Puncak Ketololan Orang Miskin (Unsplash)

Kelakuan Tolol Penerima Bansos: Dapat Bantuan dari Pemerintah eh Malah Dipakai untuk Judol, Udah Miskin Tolol Pula!

12 Juli 2025
Culture Shock Lulusan Kampus Negeri yang Lanjut Kuliah di Kampus Swasta

Culture Shock Lulusan Kampus Negeri yang Lanjut Kuliah di Kampus Swasta

13 Juli 2025
Ngaglik Sleman Surga Dunia, Bikin Kecamatan Lain Merasa Miskin

Ngaglik Sleman Surga Dunia, Bikin Kecamatan Lain Merasa Miskin

10 Juli 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=ek8g_0FrLQM

DARI MOJOK

  • Sulitnya Jadi Penjual Warteg: Sehari-hari Siapkan Menu Enak dan Murah, tapi Kerap Kurang Dihargai Pembeli
  • Anggota PSHT Iri dengan Perguruan Tapak Suci yang Dianakemaskan Muhammadiyah, Merasa Dikucilkan di Kampus Sendiri
  • Sheila on 7 Menjadi Legenda Bukan Hanya karena Musik, tapi Juga Fashion Mereka yang Sederhana dan Membuat Fans Merasa Dekat
  • Naik Bus Jaya Utama Surabaya-Semarang Selalu Mengoyak Batin, Bocah dalam Gendongan Sudah Harus “Mencari Uang” demi Bertahan Hidup
  • Laptop ASUS: Meski Busuk dan Bikin Malu sama Orang Berlaptop “Apel Kroak”, Tapi Saksi Banyak Orang Tuntaskan Skripsi hingga Cari Cuan
  • Apresiasi untuk Ayah yang Antar Anak ke Sekolah Hanyalah Perayaan Simbolis, Pemerintah Belum Selesaikan Masalah Utama

AmsiNews

  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.