Kebiasaan nonton dan main game itu berhasil membuat dia melampaui threshold TOEFL. Bahkan lebih dari 500-an. Semuanya tanpa les atau bimbel.
Bisa karena biasa. Ungkapan ini kayaknya relevan banget kalau lagi ngomongin skill bahasa. Semata karena bahasa itu memang sesuatu yang mesti dibiasakan.
Sangat mungkin kemampuan berbahasa itu bakal memudar secara perlahan. Misalnya, ada orang yang pernah ikut kursus Inggris premium. Dia belajar dengan guru native speaker bahkan sempat nyantri di Kampung Inggris setahun. Namun, setelah itu semua, kemampuan berbahasa Inggris tidak pernah dia pakai.
Mungkin, itu semua yang menjadi alasan sertifikat TOEFL cuma berlaku dua tahun. Soalnya, tahun kemarin kamu mungkin jago dan dapat skor tinggi, tapi tahun berikutnya belum tentu.
TOEFL dan fakta bahwa Bahasa Inggris ada di mana-mana
Hari ini, skill Bahasa Inggris dipakai di mana-mana. Daftar beasiswa atau S2, diminta skor TOEFL. Mau cari kerja sama saja. Bahkan, nggak ada ruginya menguasai Bahasa Inggris meski nggak dipakai untuk urusan akademik atau pekerjaan. Karena, ya, sesederhana itu: penting banget.
Kebetulan, ada beberapa kawan saya yang membuktikan hal itu. Ada yang buka jasa install ulang dan servis laptop cuma bermodal nonton semua channel YouTube tentang servis Windows. Mulai dari LTT, Nexus PC, sampai mas-mas India yang ngomong cepat tanpa caption.
Padahal, dia kuliah jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Ada juga yang buka jasa desain video profesional. Kliennya dari luar negeri, padahal dia nggak pernah ikut kursus editing atau pelatihan internasional.
Nah, yang paling menarik, ada satu kawan yang cerita bahwa kemahirannya dalam Bahasa Inggris bukan datang dari les, bukan dari bimbel. Seumur-umur, dia cuma melatih Bahasa Inggris waktu di pesantren. Itu saja karena terpaksa. Soalnya kalau nggak, bakal kena penalti dari pengurus asrama.
Standar Bahasa Inggris paksaan tuh kira-kira begini: “Yesterday go where, bro?” atau “Yesterday I go same-same with my friend watching futsal, dong.” Mau tes TOEFL? Aduh.
Belajar dari subtitle dan stick PS
Begitu keluar pesantren, kebiasaan berbahasanya terbentuk dari hal-hal yang jauh lebih santai. Mulai nonton film, serial, sampai anime. Semuanya dengan subtitle Bahasa Inggris.
Dari situlah kemampuan bahasanya terus terasah. Dulu, waktu masih jaman PS1, dia juga main video games yang berat di cerita. Contohnya ada Resident Evil, Dino Crisis, Toomba, sampai Final Fantasy. Dia main sambil ditemani Kamus Inggris-Indonesia John M. Echols.
Jadi, kalau ada teka-teki yang butuh dipahami dari dialog box, dia buka kamus dulu. Lama-lama, tanpa sadar, otaknya terbiasa menebak arti kata lewat konteks.
Lucunya, dia sendiri ngaku kalau disuruh menjelaskan soal past continuous tense, irregular verbs, atau kaidah gramatikal lain dia nggak bisa. Bahasa Inggrisnya pasif, cuma untuk memahami, bukan berbicara.
Tapi itu sudah cukup buat mengantarkan dia ke banyak pintu. Mulai dari dapat beasiswa, lanjut kuliah pascasarjana, dan lulus dengan skor TOEFL yang bikin banyak orang heran.
Skornya variatif. Pernah 530, 577, dan yang tertinggi 595. Padahal rata-rata syarat TOEFL buat beasiswa atau kerja biasanya mentok di 500. Artinya, kebiasaan nonton dan main game itu berhasil membuat dia melampaui threshold.
Film dan game yang seperti apa biar TOEFL kamu bagus?
Dia nggak punya catatan khusus soal genre film yang ditonton demi skill Bahasa Inggris dan skor TOEFL bagus. Yang penting, subtitlenya selalu Bahasa Inggris. Mau action, thriller, horror, atau “semi-edukasi” (istilahnya dia sendiri), semuanya pakai subtitle Bahasa Inggris.
Sayangnya, kemewahan semacam itu mulai terancam. Soalnya platform streaming zaman sekarang seperti Netflix atau Prime Video hampir semuanya menyediakan opsi subtitle Bahasa Indonesia, bahkan audio dubbing juga.
Jadi, percakapan orang Barat yang harusnya ekspresif dan sarcastic, malah ditimpa suara orang Indonesia yang terlalu ramah. Pisuhan seperti “F you!” diterjemahkan jadi “Persetan kamu!”
Adapun soal video game, dia punya catatan penting. Game yang paling banyak mengasah bahasanya justru yang single-player dan story-oriented. Karena genre game itu biasanya menuntut pemain buat benar-benar ngerti cerita dan petunjuk dalam Bahasa Inggris. Dari sana, kemampuan terpupuk dan skor TOEFL jadi bagus.
Sebaliknya, game online multiplayer yang populer sekarang seperti Free Fire dan Mobile Legend, menurutnya justru nggak terlalu melatih bahasa. Selain semua menunya sudah diterjemahkan, para pemainnya juga lebih sering misuh pakai bahasa daerah ketimbang ngomong pakai Bahasa Inggris, terutama jika habis lose-streak.
Akhirnya, dia membuktikan satu hal sederhana. Bahasa itu bukan soal bakat, tapi kebiasaan.
Kalau tiap hari kamu nonton, baca, dan main pakai Bahasa Inggris, kemampuanmu akan terbentuk otomatis. Dan tanpa sadar, kamu jadi salah satu dari sedikit orang yang bisa flexing punya skor TOEFL yang murni, di tengah orang-orang yang nembak sertifikat itu.
Penulis: Muhammad Asgar Muzakki
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Siasat Menaklukan TOEFL: Tidak Hanya Jago Bahasa Inggris, Strategi Tes Juga Diperlukan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















