#3 Timbul kecemburuan sosial
Di kampung saya, keberadaan cafe menimbulkan kecemburuan sosial. Ada beberapa pedagang makanan dan warung yang sebal karena dagangannya ngga laris, sementara cafe selalu didatangi pengunjung. Kadang kala mereka mengekspresikan kekesalan itu dengan membandingkan untung-rugi jajan di warung versus cafe hidden gem. Lucunya, hal ini bikin mereka kelihatan kayak kaum mendang-mending.
“Daripada jajan di kafe mending beli di angkringan.”
“Es teh di kafe Rp20.000, mending beli di warung bakso cuma Rp3.000.”
“Tetangganya itu dilarisin, bukan malah ngelarisin orang luar yang udah kaya raya.”
#4 Dibikin gumoh sama lagu tertentu
Beberapa cafe hidden gem Jogja memang perlu ditegur karena memutar musik dengan suara keras. Playlist cafe nggak hanya didengar oleh pengunjung, tapi juga warga kampung. Bagi pengunjung cafe mungkin hal itu tidak begitu mengganggu. Namun, bagi warga kampung yang sehari-hari tinggal di situ, rasanya muak mendengar playlist lagu yang sama setiap hari. Rasanya persis seperti kalau kalian gumoh dengan reels yang pakai sound Kita Bikin Romantis, Komang, sampai Tak Ingin Usai.
Di dalam lubuk hati yang paling dalam, saya sebenarnya rindu dengan suasana kampung tanpa cafe hidden gem. Jalanan lebih leluasa dan lingkungan nggak bersisik. Kampung rasanya jauh lebih nyaman.
Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Sisi Gelap Coffee Shop di Jogja: Jadi Tempat Cuci Uang para Owner “Gelap”
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.