Ketika seseorang plesir ke Bukittinggi, tidak hanya rendangnya saja yang jadi godaan. Akan tetapi, bumbu rendang instan asli dari sana pun selalu menarik untuk dijadikan oleh-oleh dan diolah sendiri di rumah.
Ada dua hal yang umumnya “disebut” oleh teman dan kerabat saya yang berkunjung ke Bukittinggi, kota tempat tinggal saya saat ini. Pertama, yaitu Jam Gadang, ikon landmark yang selalu ada di brosur-brosur Sumatra Barat. Kedua, yaitu rendang, ikon kulinernya Sumatra Barat.
Perkara rendang ini, saya yakin di Jawa sudah banyak sekali rumah makan Padang yang menjualnya. Namun tetap saja, masakan daging sapi ini dicari pelancong yang ingin mencoba sensasi rasa rendang yang otentik, dan dipamerkan ke orang-orang di rumah bahwa ini lho rendang asli dari Bukittinggi, kota pusat kulinernya Sumatra Barat. Iya, mereka memang menginginkan rendang tersebut dibawa pulang.
Di sinilah terlihat kerepotannya. Pengalaman saya, ketika teman-teman saya menginginkan sang rendang dibawa terbang ke Jawa, mereka memesan rendang basah di sebuah restoran, dan mengambilnya pagi-pagi sebelum berangkat ke bandara dalam keadaan panas, baru siap dimasak. Plastik yang mengemasnya pun tidak boleh ditutup rapat dahulu, untuk “membebaskan” kepulan asap sang rendang. Akibatnya, empat jam perjalanan darat yang kami tempuh dari Bukittinggi menuju Bandara Minangkabau pun disesaki oleh aroma rendang di dalam kendaraan. Wangi sih, tapi jadi bikin kami para penumpangnya berasa laper terus. Kan, “bahaya”, tuh.
Akhirnya, ketika ada teman saya yang berkunjung dan ingin membawa rendang, saya rekomendasikan untuk membawa rendang dalam bentuk kemasan siap saji saja. Mungkin sedikit lebih mahal, tapi praktis. Dan yang penting rasanya dijamin enak, nggak kalah dengan rendang basah restoran. Selain beli rendang dalam kemasan siap saji, ada pula yang lebih tertarik untuk beli bumbu rendang instan asli kota ini. Lantaran, ia lebih memilih untuk mengolahnya sendiri di rumah.
Salah satu pelaku di bisnis rendang kemasan ini kebetulan saya kenal baik. Hasvia Novia, nama beliau. Saya mengenalnya di sebuah organisasi beberapa tahun lalu, dan kami berhubungan baik sampai saat ini. Beliau biasa dipanggil Uni Via, sesuai dengan nama brand yang diusungnya, Randang Uni Via (dalam bahasa Minang, “randang” berarti “rendang”).
Awalnya, saya mengenal beliau justru dari rumah makan “Elegant” yang dikelolanya di jalan M. Syafei Kota Bukittinggi. Bangunannya sederhana, tapi apik, bersih, dengan slogannya yang sangat catchy, “Rumah makan sehat tanpa penyedap”.
Di sini saya melihat adanya komitmen kuat yang ingin ditunjukkan beliau melalui restoran ini. Sehat, tanpa penyedap buatan. Komitmen ini bahkan berani diekspos, dengan risiko kehilangan “pasar” orang-orang yang sudah terbiasa makan dengan penyedap buatan.
Mungkin sebagian dari kalian tidak pernah berpikir bahwa masakan di daratan Sumatra Barat ini bakal bebas dari penyedap buatan. Saya pun awalnya beranggapan demikian. Masakan-masakan khas di sini kan punya cita rasa yang kuat? Bumbunya banyak, rempahnya lengkap. Apa iya masih perlu ditambah penyedap buatan?
Namun, pengalaman saya tinggal di sini mengungkapkan beberapa hal yang mematahkan anggapan saya tersebut. Saya pernah menunggu pesanan nasi goreng bersama puluhan pembeli lainnya, dan melongo ketika melihat sendiri bersendok-sendok penyedap buatan yang dimasukkan sang abang ketika memasak pesanan kami dalam wajan besar. Edun!
Lain waktu, dari pengakuan siswa magang, saya mengetahui bahwa penggunaan penyedap buatan sudah biasa dipergunakan ketika praktek Food and Beverage (F&B) di sekolahnya. Lepas dari kontroversi efek penggunaannya terhadap kesehatan, kenyataan ini membuat saya menduga-duga bahwa masakan-masakan khas yang biasa saya makan di sini mungkin jadi terasa (lebih) enak karena “bantuan” sang penyedap buatan. Bumbu dan rempah yang melimpah dalam sebuah hidangan bisa saja dirasa sebagian orang masih kurang lengkap tanpa penyedap buatan ini.
Oleh karena itulah, saya terperangah ketika menemukan restoran yang berani mengekspos slogan “sehat tanpa penyedap”. Dan setelah mengenal Uni Via, pemilik restoran ini kala itu, saya pun mulai mengenal produk jualannya yang melegenda, yaitu rendang dalam kemasan siap saji ataupun bumbu rendang instan miliknya dengan rempah yang begitu kuat.
Komitmen “sehat tanpa penyedap” ini juga ikut dipertahankannya di bisnis rendang yang dijalaninya sejak 2011. Iya, rendang dalam kemasan maupun bumbu rendang instan ini dijamin bebas penyedap buatan. Dan, yang jelas rasanya enak!
Dalam sebuah kesempatan beliau bercerita, awalnya ada beberapa pelanggan restorannya yang suka memesan rendang basah. Ukurannya mulai dari berat setengah kilogram, sampai 30 kilogram. Kadang dibawa untuk oleh-oleh atau dikirim ke kerabat di kota lain. Akhirnya Uni Via memutuskan untuk mengemas rendang tersebut agar menjadi lebih simpel dan “aman” dibawa konsumen, tanpa harus khawatir minyak dan bumbunya tumpah berceceran selama perjalanan. Beliau pun tidak ragu untuk belajar di internet tentang bagaimana cara mengemas rendang agar awet dan aman, serta mengikuti seminar dan pelatihan berbayar tentang bisnis kuliner.
Ketika saya bertanya apa yang memotivasinya untuk berbisnis rendang, beliau menuturkan bahwa kebutuhan akan makanan ini sangat tinggi. Di Minangkabau, rendang merupakan menu utama, menu yang wajib ada. Apalagi sebagai makanan terlezat di dunia, rendang di sini pasti dicari oleh mereka yang menggemari kuliner. Lantaran keawetannya juga, rendang pun dibawa sebagai bekal pergi haji, umroh, atau travelling.
Saat ini beliau sudah memiliki 17 produk di bawah brand Randang Uni Via. Selain bumbu rendang instan, jenis rendangnya sendiri sangat bervariasi. Tidak hanya rendang daging sapi, beberapa di antaranya yang menurut saya unik adalah rendang ikan tuna, rendang jengkol, rendang cubadak (sayur nangka) dan teri, sampai rendang itiak. Selain itu, beliau juga memproduksi produk kerang balado dan sayur pakis, balado cumi pete, sampai itiak lado ijo (bebek/itik berbumbu cabe hijau). Tidak saja tersedia dalam kemasan siap saji, tapi ada juga yang frozen.
Selain berjualan melalui restoran dan toko oleh-oleh di Bukitinggi, beliau juga berjualan melalui toko online Shopee, akun medsos Facebook, Instagram, Tiktokshop, dan memasang iklan di Google Bisnis. Kegigihannya berjualan di berbagai media sosial membuatnya pernah mendapat pesanan rendang dari Qatar. Saat itu, sang konsumen mendapatkan “nama” Uni Via dari Google saat mengetikkan keyword “penjual rendang sapi enak Bukitinggi”.
Menurut Uni Via, bisnis rendang ini bisa bertahan di segala kondisi. Keyakinannya ini terbukti ketika sampai saat ini. Sebagai sebuah UMKM, beliau bisa menjual 800 sampai 1000 produk setiap bulannya. Bahkan di tengah gempuran Covid-19 yang belum usai ini, ketika rumah makan sehat tanpa penyedap terimbas pandemi, produk rendang siap sajilah yang menyubsidinya. Beliau bersyukur bahwa sampai saat ini bisnis rendangnya belum pernah merugi.
Sebenarnya, ada beberapa produk sejenis yang bisa dijumpai di kota ini. Namun, Uni Via bisa bertahan di “kolam” persaingan ini karena kualitas produknya. Beliau konsisten dengan bumbu-bumbu alami seperti cabe, lengkuas, atau bawang yang dibelinya bulat-bulat/utuh, untuk kemudian digiling/dihaluskan sendiri. Tak lupa, daging yang digunakan pun selalu kualitas nomer wahid.
Saya pun penasaran, apa lagi yang beliau cari setelah dua belas tahun bergelut di bisnis ini? Ternyata, Uni Via pun punya cita-cita. Beliau ingin membangun pabrik rendang yang bisa mempekerjakan banyak warga lokal, sehingga bisa membantu perekonomian masyarat sekitarnya yang susah dan bisa lebih banyak lagi bersedekah.
Mudah-mudahan, hal ini tidak sekadar mimpi. Siapa tau, kalau digarap serius, kehadiran “Pabrik Rendang Tanpa Penyedap” bisa menjadi destinasi wisata yang tidak biasa.
Penulis: Dessy Liestiyani
Editor: Audian Laili
BACA JUGA 5 Dosa Makan Rendang yang Jarang Disadari Orang