Selama S3 (SD-SMP-SMA) semua siswa pasti pernah terlibat dalam yang namanya kerja kelompok. Tentu bukan rahasia umum lagi kalau kerja kelompok diibaratkan menang lotre, alias untung-untungan. Kadang dapat kelompok yang bagus, kadang zonk.
Alih-alih meringankan, penugasan dalam bentuk kelompok malah jadi beban. Beban karena anggota yang ilang-ilangan, yang kerjanya asal-asalan, dan yang akhirnya numpang menulis nama doang.
Tipe anggota kelompok macam inilah yang pada akhirnya menciptakan ketidakadilan karena penilaian ditepuk rata dalam satu kesatuan kelompok, bukan per individu. Jadi, si yang ilang-ilangan itu, yang asal-asalan itu, nasibnya cuma dua: nilainya jadi ikutan bagus meski dengan kinerja yang ala kadarnya atau membuat nilai satu kelompok jadi ikutan jelek gara-gara kinerjanya tersebut. Padahal anggota kelompok yang lain sudah berkontribusi dengan baik bahkan tidak jarang mem-backup pekerjaan mereka yang seadanya itu.
Sayangnya, tipe anggota seperti ini tidak berhenti hanya di SMA. Setelah jadi mahasiswa pun masih banyak anggota kelompok yang tidak bisa memposisikan diri dengan baik di kelompoknya.
Apalagi setelah kuliah kegiatan jadi semakin bejibun. Ikut organisasi lah, kepanitiaan lah, magang lah, dan beragam kegiatan lainnya yang sering dijadikan kambing hitam kalau mereka lagi ghosting alias ilang-ilangan.
Padahal seharusnya setelah menjadi mahasiswa, mereka harus semakin aware terhadap penugasan yang melibatkan banyak orang ini. Rasa bertanggung jawab dan saling menghargai seharusnya semakin dipupuk setelah dua belas tahun berkutat dengan kerja kelompok.
Kan yang punya kesibukan bukan hanya seorang, kalau setiap anggota saling adu nasib karena urusannya masing-masing, terus, kapan tugasnya selesai?
Apalagi jika melihat pada definisinya, kerja kelompok adalah bentuk pembelajaran yang menitikberatkan pada interaksi setiap anggota dalam suatu kelompok guna menyelesaikan tugas belajar secara bersama-sama (Moedjiono, 199/1992: 61).
Kata bersama-sama ini harusnya di-highlight setiap anggota kelompok bahwa butuh kerja sama yang baik demi selesainya tugas tersebut. Ya, kalau tidak bisa aktif dan inisiatif, setidaknya tugas bagiannya sendiri dilakukan dengan baik lah. Kalau memang sedang sibuk, ya setidaknya mengabari lah.
Tapi, apa mau dikata. Mengatur orang kan bukan kuasa kita. Mau se-bawel apa pun, kalau anggota kelompok itu tetap susah diatur, ya tetap saja tugasnya tidak akan selesai. Pada akhirnya lagi-lagi beberapa orang harus bekerja ekstra mem-backup kerjaan si ilang-ilangan dan si ala kadar itu.
Menanggung beban yang sebetulnya bukanlah kewajiban kita tentu bukan hal yang mudah. Anggota kelompok yang menimbun emosi dari teman yang mangkir dari kewajibannya bukan tidak mungkin akan terkena gangguan kesehatan mental.
Dilansir dari Alodokter, risiko kesehatan mental ini dapat berupa depresi dan gangguan kecemasan. Mereka akan selalu merasa cemas manakala anggota kelompoknya ini menghosting atau mengerjakan seadanya.
“Duh, kalau tugasnya nggak selesai gimana?”
“Kalau ngumpulinnya telat gimana?”
“Kalau nilainya jelek gimana?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti akan berdengung di kepala mereka sehingga pada akhirnya, mereka harus turun tangan lagi membackup kerjaan anggota yang mangkir itu.
Jika terjadi terus-menerus, bukan tidak mungkin juga kalau mereka akan jatuh sakit akibat kelelahan. Ya, seperti yang semua orang tahu, mahasiswa bisa mengerjakan tugas sampai larut malam bahkan sampai tidak tidur sekalian. Dan setelah itu semua, ending-nya juga tetap sama, nilai mereka tetap dipukul rata.
Mengerikannya lagi, meski terlihat kecil, nyatanya dampak dari anggota kelompok yang tidak bertanggung jawab ini tidak berhenti di lingkungan perkuliahan. Penilaian buruk anggota kelompok pada orang yang ilang-ilangan dan asal-asalan itu akan membekas dan berimbas pada hubungan di luar perkuliahan meski tugas kelompok itu sudah selesai.
Mereka jadi tidak respect dengan orang tersebut sehingga tidak ingin tergabung dalam satu kelompok yang sama lagi dengan orang itu. Mereka juga berpotensi menjadi individualis karena merasa bahwa bekerja mandiri lebih efektif dan tentunya tak banyak makan hati dibandingkan bekerja secara kelompok dengan orang-orang modelan begitu.
Dalam hal ini, pada akhirnya, pihak yang lebih bisa diandalkan adalah mereka yang memberikan penilaian alias para pengajar itu sendiri.
Meski tidak bisa mengontrol mahasiswa untuk aktif berkontribusi dalam penugasan kerja kelompok, dosen setidaknya memiliki power untuk memberikan penilaian secara lebih adil dengan mewajibkan setiap kelompok melaporkan rincian pembagian tugas setiap anggota. Jadi, mahasiswa tidak hanya memberikan hasil kerja mereka, tetapi juga melaporkan behind the scene tugas tersebut.
Dengan laporan seperti ini, dosen jadi tidak hanya memberikan penilaian secara garis besar kelompok, tetapi juga menilai secara lebih subjektif dari kinerja seluruh anggota agar mereka yang kerjanya lebih banyak, ya mendapat nilai lebih bagus sedangkan yang seadanya, ya mendapat nilai seadanya juga.
Kalau ada yang protes tentang nilainya yang lebih kecil, bukti laporan kontribusi tiap anggota kan sudah jelas sehingga nilainya pada akhirnya dapat dipertanggung jawabkan.
Penulis: Wiena Amalia Salsabilla
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Sistem Pembagian Tugas Kerja Kelompok Itu Sebenarnya Ora Mashok.