Senin ini, DKI Jakarta kabarnya melakukan PSBB total. Tentu keputusan ini, bagi sebagian orang, terasa berat karena bisa “menggoyang” pekerjaan mereka. Dan juga, mungkin DKI Jakarta akan sama seperti awal-awal Maret dulu. Jalanan lengang, sepi, kualitas udara meningkat.
Keputusan ini tentu memancing polemik. Pemerintah pusat yang seakan “dicuekin” oleh pemprov melancarkan protes, isu mempengaruhi IHSG, tentangan dari kota-kota tetangga, dan goyangan terhadap ekonomi nasional adalah polemik yang harus dihadapi.
Namun, saya tidak akan membahas hal tersebut. Pertama, saya sudah muak melihat polemik-polemik “balapan” antara pusat-pemprov atau kebalikannya. Kedua, PSBB atau tidak, beberapa oknum masyarakat yang masih “genit” dalam menerapkan PSBB ini masih menyebar di penjuru-penjuru daerah yang, bisa jadi, menjadi dinamit bagi masyarakat lain dalam menyebarkan “kegenitan” ini.
Genit yang saya maksudkan adalah, salah satunya, adalah tindakan melanggar PSBB keluyuran tanpa ada alasan jelas seperti bekerja, dinas, atau yang sifatnya penting. Dan parahnya, mereka bahkan liburan ke daerah-daerah wisata ke kota-kota satelit dan daerah di luar Jakarta. Padahal, salah satu tujuan PSBB adalah membatasi dan memutus mata rantai progres penyebaran Covid itu sendiri.
Contoh konkretnya begini. Senin ini akan dilakukan PSBB, pengumumannya Jumat kemarin, lalu “Berarti, hari Senin kita udah nggak bisa ke mana-mana dong” akan menjadi kalimat yang familiar di hari ketika pengumuman PSBB disiarkan. Masih ada jeda di hari Sabtu dan Minggu, dan di kedua hari itu pembaca akan langsung mengerti apa yang dilakukan orang-orang yang menggunakan kata tersebut.
“Mumpung belum mulai PSBB-nya, ayok jalan-jalan dulu” atau “mumpung malming nih, senin udah PSBB, kuy lah ngumpul” atau kalimat-kalimat lain yang memiliki makna yang sama. Hasilnya, ada kemungkinan di kedua hari tersebut akan terdapat kenaikan pengendara menuju keluar Jakarta atau pada Sabtu-Minggu orang-orang akan tetap berlalu-lalang di sekitaran Jakarta.
Padahal diumumkannya jadwal dilaksanakan PSBB agar menjadi rujukan untuk tidak sama sekali keluar rumah. Begini, pengumuman ini harusnya memiliki efek tidak langsung pada kehendak orang-orang untuk keluar tanpa keperluan, alias cuman jalan-jalan. Efek tidak langsung yang saya maksud ialah pengumuman PSBB ini sebagai lampu kuning sebelum menuju lampu merah, yakni PSBB itu sendiri.
“Kegenitan” itu tidak hanya terjadi saat ini. Kerap kali, pun pembaca mungkin juga pernah bertemu model “kegenitan” begini. Waktu sebelum dilarangnya sesuatu akan digunakan semaksimal mungkin melakukan hal-hal yang nanti akan dilarang. Dalihnya seperti di atas, “mumpung belum dilarang” atau “mumpung masih boleh” atau mumpung-mumpung yang lainnya.
Disadari atau tidak, mungkin budaya kita adalah memanfaatkan kesempatan semaksimal mungkin. Mungkin jargon-jargon ini didapat dari seminar-seminar entrepreneurship dan bisnis yang acap kali menggunakan pita suara berlebihan. Iya, seminar yang sering teriak-teriak untuk membangkitkan semangat itu.
Mungkin, di satu sisi, itu baik. Memanfaatkan kesempatan sekecil mungkin itu baik loh ya. Tapi kalo jargon itu digunakan saat corona begini, aduh, mending jangan deh. Bagi yang tidak urgent ya di rumah aja. Nggak semua kesempatan kudu wajib diambil kok.
Mumpung belum PSBB itu ya baiknya dipakai buat beli persediaan makanan atau kebutuhan rumah tangga yang lain. Kalau PSBB kan bakal banyak rumah makan tutup, kalau kalian nggak pake waktu senggang sebelum PSBB itu buat beli persediaan, terus kalian mau makan apa? Emang liburan bikin kenyang? Emang Insta story rasanya gurih?
Lagian kalau nggak liburan ngapa sih? Mati? Kan nggak juga. Suka atau tidak, PSBB ini punya niat yang bagus. Virus kan belum jelas nih vaksinnya, daripada ketularan konyol gara-gara liburan, mending di rumah dulu aja. Heran saya, asli.
Katakanlah kalau kalian nekat liburan karena mumpung belum PSBB, dan di jalan kalian malah menemui kemacetan. Bukannya bahagia, malah bete karena kena macet. Waktu yang dipakai buat istirahat malah habis buat marah-marah. Coba kalau di rumah aja, beres.
Sebaiknya kita tahan dulu keinginan kita untuk melakukan hal-hal yang kita (pikir) kita inginkan, dahulukan keselamatan. Mumpung PSBB, mending kita habiskan dengan bersih-bersih kamar, baca buku, apa maraton drakor.
Gitu, Mylov~
BACA JUGA Rakyat Protes New Normal, Pemerintah Berlalu dan tulisan Raflidila Azhar lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini. d