Persoalan gaji UMP dan UMK Yogyakarta yang terus dibahas di sosial media membuat saya tersenyum menyeringai kecil. Para netizen yang tidak terima dengan keputusan Pemerintah soal pendapatan dan hak masyarakat ini masih saja berlanjut. Bahkan seorang Prabu, manusia yang sudah saya anggap sebagai kakak ini terus mengkritik pemerintahan Gubernur DIY. Tapi, untuk saat ini, saya nggak akan membahas soal pendapatan masyarakat Yogyakarta.
“Awas kalau sampai nyenggol UMK dan bahan cangkemanku.” Begitulah pesan Prabu kepada saya. Dan daripada saya mengalami putus silaturahmi, lebih baik saya mengalah saja. Maklum, yang muda ngalah.
Soal pendapatan yang rendah dan kesejahteraan karyawan, ditambah PSBB yang sangat asu sekali ini, Alhamdulillah saya masih bisa sedikit menyisihkan sedikit uang untuk menabung. Loh, kok bisa, Ngget?
Satu, kantor tempat saya bekerja cukup dekat. Bahkan saya kerap jalan kaki saat berangkat dan pulang kerja. Bukan karena saya pelit, namun untuk menekan pengeluaran bensin dan terlihat keren. Kedua, saya mempunyai bisnis sampingan yang keuntungannya bisa saya tabung. Yap, bisnis angkringan.
Apa nggak capek? Ya jelas capek. Saya nggak munafik, tapi memang dalam hal berbisnis dan mengejar apa yang menjadi pilihan itu harus dipaksa. Fisik yang ditempa untuk selalu mendorong gerobak angkringan di sore hari setelah pulang bekerja, menyalakan api di tungku atau yang biasa disebut dengan daden, memasak air, dan menggelar tikar untuk para pelanggan. Capek memang, tapi menurut saya itu sebanding dengan penghasilan.
Di sisi lain, banyak yang mempunyai pandangan berbeda soal bisnis angkringan. Dimulai dari pendapatan yang nggak konsisten, motor cicilan, dan nggak mampu bayar sewa, hingga memilih lahan saudara untuk digunakan sebagai tempat mendirikan bisnis yang sebenarnya membawa banyak potensi rejeki ini. Bahkan pihak keluarga seperti simbah dan om saya tidak menyetujui untuk mendirikan angkringan. Alasannya pun bisa dibilang sepele. Hanya karena saya membatalkan peluang untuk masuk PNS demi menjaga bisnis angkringan. Tapi di kemudian hari, Alhamdulillah pihak keluarga banyak yang datang untuk sekadar membeli lauk dan nasi di angkringan saya. Setidaknya saya merasa didukung.
Mengesampingkan pandangan lain dari rekan-rekan dan sahabat karib yang menertawakan tentang bisnis angkringan, serta perkataan “sudah enak-enak dapat kerjaan tetap kok malah buka angkringan?” Membuat saya semakin termotivasi untuk tetap berlabuh dalam bisnis ini.
Loh, justru pendapatan dari bisnis angkringan itu malah lebih besar ketimbang sama pegawai lain. Sekarang begini ya, teman-teman. Jujur saja, dalam sehari, pendapatan bersih sebagai bakul angkringan itu nggak kurang dari Rp75.000. Bahkan jika diberikan berkah rezeki oleh Yang Maha Kuasa, saya bisa mengantongi Rp137.000 per hari. Jadi tidak perlu menggunakan aplikasi trading atau judi online untuk menambah penghasilan. Lha wong cuma modal bakat bikin es teh saja sudah cukup untuk makan, belanja, dan membiayai listrik rumah yang masih numpang orang tua kok.
Bayangin, bisnis tinggal duduk-duduk, rasan-rasan, sambil ngaduk gula aja bisa bikin kaya. Halal lagi, enak to, mantep to?
Rasanya nggak lengkap kalau ngomongin untung tanpa ngomongin modal. Nih saya kasih tau. Modal saya untuk memulai bisnis angkringan itu sebesar Rp1.676.000. Uang itu untuk belanja barang dan bikin gerobak. Biaya lain yang saya keluarkan adalah sewa lahan dan bayar air sebesar Rp145.000. Laba minggu pertama adalah delapan ratus ribu lebih. Laba minimal, sekali lagi, minimal, itu delapan ratus ribu pas ra nggo susuk. Ini angka minimal, di masa yang lagi nggak menentu, bayangin kalau masa normal, velg Honda Jazz bisa saya beli secara cash.
Kalau konsisten, sebulan saya bisa dapet penghasilan jauh lebih besar dibanding UMP Yogyakarta. Berarti ada dua kemungkinan di sini, yaitu bisnis ini memang menghasilkan atau memang UMP-nya saja yang terlalu rendah.
Cerita lain dari teman saya yang orang tuanya berprofesi sebagai bakul angkringan. Hasil dari blio bisnis ini bikin blio mampu menyekolahkan ketiga anaknya menuju pendidikan yang tinggi. Serius, pendapatan angkringan itu nggak kecil. Dengan catatan jika telaten dan terus fokus untuk maju dan menambahkan apa yang menjadi kekurangan.
Dan saya sangat beruntung memiliki banyak teman-teman yang baik, suka nongkrong, dan mempunyai pemikiran kritis. Bisnis kayak gini memang membutuhkan relasi yang baik. Makanya jangan twitwar mulu kalian, siapa tau ngaruh ke bisnis.
Selain angkringan sebagai ladang bisnis, beberapa kali saya selalu bilang bahwa angkringan adalah ladang opini. Dimulai dari kaum bermobil, bermotor, hingga pejalan kaki, semuanya dapat beropini dan sekadar melepas penat di angkringan. Bahkan bapak-bapak PNS dan kawan-kawannya juga sering untuk sekadar berbagi cerita tentang penatnya mengurus negara.
Suatu saat nanti, angkringan akan tercatat sebagai tempat memulai pergerakan, sama halnya dengan kafe dan kedai kopi. Mengubah negara lewat sate usus itu mungkin, Bung!
Namun, untuk saat ini, aturan Program Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau yang sering disingkat PPKM ini, mengubah segalanya tentang angkringan. Masa PSBB saja belum rampung, malah ditambah dengan PPKM. Jadi untuk sementara, saya menutup bisnis ini untuk waktu yang ditentukan oleh “mereka” agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan kembali. Iya, gerobak saya pernah diangkut oleh bapak-bapak Satpol PP.
Setelah membaca ini, saya sarankan jangan ragu untuk memulai bisnis angkringan. Nggak usah mikir gengsi, soale gengsi nggak bisa dipakai bayar listrik. Apalagi Jogja harga tanahnya menggila, bisnis sampingan macam ini bisa membuat kalian dapat banyak duit untuk beli tanah di… Klaten. Yak, nggak usah berharap muluk-muluk. Mending ngimpi punya peliharaan naga daripada beli rumah di Jogja.
BACA JUGA Kemampuan Terpendam Bakul Angkringan Adalah Jadi Pendengar yang Baik bagi Pelanggan dan tulisan Grantino Gangga Ananda Lukmana lainnya.