Apa yang Anda pikirkan bila mendengar kata jamu? Makanan, minuman, atau olesan? Ya, semua itu benar. Jamu berfungsi sebagai obat tradisional yang berkhasiat dan sudah dikenal bangsa kita secara turun temurun. Selain sebagai penyembuh, jamu juga dipercaya mampu menjaga stamina dan kesehatan tubuh. Jamu bisa menjadi alternatif obat dan penjaga imunitas berbahan alami bila dibandingkan obat-obatan kimiawi.
Bapak Presiden Jokowi disebut-sebut rutin minum ramuan empon-empon yang terdiri dari temulawak, jahe merah, sereh, dan kunyit. Bukan teh atau kopi, tapi ramuan jamu inilah yang mengawali setiap pagi Pak Jokowi. Bahkan sejak virus corona merajalela, beliau menambah porsi minum ramuan tersebut jadi tiga kali sehari.
Pak Presiden bersama Pak Menkes Terawan (halo Pak, apa kabar? Sehat?) sempat “bergandengan tangan” mengusung gerakan minum empon-empon. Jamu itu digadang-gandang sakti mandraguna sebagai penangkal virus corona. Akibatnya, bahan bakunya sempat mengalami kenaikan harga hingga lima kali lipat di pasar karena diserbu warga yang terobsesi memiliki daya tahan tubuh anti virus yang prima.
Kalau ternyata jumlah penderita Covid 19 malah meningkat, ya jangan salahkan jamunya, Say. Percayalah, empon-empon itu tetap berkhasiat mendongkrak daya tahan tubuh. Namun, tetep harus diiringi kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan, dong. Dan, pemerintah juga kudu gercep melakukan perlindungan maksimal pada warganya. Tidak denial dengan fakta keganasan virus dan cuma jualan jamu doang.
Saya termasuk golongan orang yang memilih jejamuan lebih dulu sebelum akhirnya sowan ke dokter minta resep obat medis. Bisa jadi, pesona alami dari jamu yang bikin saya merasa jamu lebih aman. Tidak bakal memberi efek samping sangat berbahaya bagi tubuh. Dan, buktinya saya juga sering kali sembuh atau jadi sehat berkat jamu.
Tetapi, bukan berarti karena suka jamu, saya jadi senang membuatnya sendiri. Suer, bagi saya lebih enak minum jamu yang langsung dikunyah, diglek-glek, atau dioles-oles daripada terlibat dalam prosesi meraciknya. Lebih praktis beli produk instan bikinan orang lain atau buatan pabrik daripada harus meramu-ramu sendiri. Soal harga itu relatif. Apalagi kalau memang terjangkau. Justru yang ribet itu kalau bikin sendiri. Dari menyiapkan peralatan, bahan baku, sampai proses pembuatannya, bagi saya tidaklah gampang.
Untuk membuat jamu berkualitas, perlu diperhatikan alat-alat pengolahannya. Contohnya, saat merebus bahan baku, sebaiknya memakai alat yang terbuat dari keramik, gerabah, atau stainless steel. Merebus memakai wadah dari besi, alumunium atau kuningan bisa berbahaya. Hal ini karena wadah tersebut mengakibatkan ramuan jamu terkontaminasi zat iron trichloride dan pottassium ferricyanide. Tandanya hasil rebusan akan tampak warna biru, ada endapan, dan punya efek beracun.
Demikian juga alat untuk menghaluskan jamu, lebih baik terbuat dari kayu atau batu dan ditumbuk atau digiling manual. Hal ini untuk meminimalisasi berkurangnya khasiat dan cita rasa. Haduh padahal ngulek sambel aja belum becus, ya. Keringetan deh harus numbuk rimpang-rimpangan. Belum lagi masalah kebersihan alat setelah dipakai. Kudu dicuci bersih supaya tidak berbekas yang bisa memunculkan yaitu jamur.
Selain itu, siapa bilang cari bahan baku jamu itu gampang? Halah, kalo cuma kunyit, asam, jahe, kencur, sereh, sih gampang. Tapi, coba seperti temulawak, temu kunci, temu ireng, dan pertemuan lainnya. Nggak semua tempat jual lho. Berarti kita harus kasak-kusuk cari dulu. Seperti yang dialami kawan saya. Dia mau membuat ramuan sirih manjakani yang legendaris. Kebetulan di pekarangan rumahnya merambat tanaman sirih yang lebat. Masalahnya ketersediaan buah manjakani kering itu sedang kosong stoknya di pasar daerah kami. Alhasil, dia pun pesan via online yang datangnya sepuluh hari kemudian.
Kawan saya itu jadi kesal juga. Mood bikin ramuan jamu sari rapet itu sudah menguap berganti penyesalan. Penyebabnya bukan karena harganya yang jadi lebih mahal, tapi karena suaminya sudah keburu pergi lagi berlayar setelah dapat cuti dua belas hari. Mendingan dia beli aja sekalian yang sudah jadi. Kan sudah tersedia dijual bebas baik dalam bentuk pil, botol minuman, atau olesan. Tinggal buka bungkusnya, konsumsi, dan rasakan khasiatnya.
Bikin jamu sendiri juga butuh energi dan waktu. Kalau kondisi fisik sedang tidak sehat, bagaimana caranya si sakit itu bisa membuatnya. Apalagi bila tidak ada sanak saudara yang membantu. Misalnya, menyediakan jamu pasca persalinan. Hal ini terjadi ketika saya habis bersalin. Saya sangat tak berdaya baik fisik dan mental. Fokus saya saat itu adalah merawat si bayi dan segera memulihkan kesehatan. Kami adalah keluarga kecil perantau yang tinggal di Sumatera. Tanpa didampingi oleh keluarga dekat, tentu saja saya dan suami saling mengandalkan satu sama lain.
Sebagai penyuka jamu, tentu saja saya butuh jejamuan. Maka, suami pun membeli paket lengkap 40 hari jamu habis bersalin dari produsen jamu ternama. Paket ini berisi jamu baik untuk diminum atau hanya penggunaan luar tubuh. Misalnya pilis, yang dioleskan di kening untuk mencerahkan mata dan menyehatkan pikiran. Tapal, berupa racikan olesan pada bekungan sebagai pengencang rahim dan perut. Parem, luluran yang melancarkan peredaran darah. Pil jamu yang diminum beberapa sesi untuk mengobati luka rahim, menyehatkan tubuh dan melancarkan ASI. Terakhir, ada minyak telon untuk pijat serta bedak dingin untuk kecantikan.
Kebayang kan kalau sebanyak itu, kita sendiri yang meracik dan membuatnya. Ada berapa macam bahan baku di dalamnya, berapa cara teknik pengolahannya, dan berapa lama durasi waktu pembuatannya? Oalah, tepar… tepar. Sementara itu bila beli instan, dapat langsung satu paket yang berkualitas. Kita tinggal pakai sesuai petunjuk dan merasakan khasiatnya.
Meramu jamu sendiri pun ternyata tidak boleh sembarangan. Tetap ada takaran tertentu yang tak boleh over karena malah bisa berbahaya. Ini yang terjadi pada tetangga saya. Dia rajin minum ramuan daun kumis kucing, yang sengaja ditanam di samping rumahnya, sebagai obat sakit pinggang. Tetapi, sayangnya, dia itu suka-suka saat menentukan jumlah helai daun kumis kucing yang direbus. Tidak ada patokan jelas hanya sebatas kira-kira seperti apa rasanya. Ternyata, efeknya memang manjur. Sakit pinggangnya hilang. Namun, ginjal jadi rusak akibat kelebihan dosis. Wadidaw, syerem amat sih.
Nah, meskipun jamu tergolong obat tradisional, bukan berarti saya merasa mudah membuat sendiri. Dalam hal ini saya lebih bersikap pragmatis saja. Khasiat jamu itulah yang saya kejar bukan keribetannya.
Foto oleh Wisnu Bangun Saputro via Wikimedia Commons
BACA JUGA Terlalu Banyak Ustaz, Bukannya Maslahat, Malah Membuat Ribet Umat dan tulisan-tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.