Banyak orang yang berlomba-lomba buat masuk perguruan tinggi negeri dengan berbagai cara. Bahkan sampai ada yang rela membayar mahal dengan cara “membeli kursi”. Saya sebenarnya agak heran kenapa sebegitu menterengnya nilai perguruan tinggi negeri, dan saya pun mencari tahu.
Informasi yang saya dapat sama dengan yang selama ini kalian tahu. Salah satunya, katanya lulusan perguruan tinggi negeri lebih mudah cari kerja. Tentu saja itu benar, jika Anda lulusan UGM dan IPK menembus angkasa, misalnya. Variabel lain, tak tersentuh, dan mungkin sengaja tak disentuh.
Selain itu, katanya perguruan tinggi negeri lebih murah. Saya sempet percaya hal itu, sebelum saya jadi mahasiswa di salah satu PTN. Kini, saya berani bilang: nggak, PTN sama sekali nggak bisa dibilang murah.
Perguruan tinggi negeri, nyatanya, mahal!
Biaya kuliah saya amat memberatkan orang tua saya. Kenapa? Sebab, biayanya jauh di atas dari pendapatan keluarga saya. Tentu ini mengagetkan, bagaimana bisa? Sedangkan jika menilik swasta yang kerap dianggap mahal, nyatanya saya menemukan fakta bahwa ada perguruan tinggi swasta yang secara mutu 11-12 dengan tempat saya berkuliah, tapi biayanya jauh lebih rendah.
Pindah? Oh, tentu saja ngomong itu selalu lebih mudah.
Beberapa waktu belakangan, kabar tentang UKT salah satu PTN top di negara ini menjadi sorotan. UKT yang luar biasa mahal jadi pembicaraan hangat, dan tentu saja menunjukkan bahwa yang negeri, belum tentu lebih murah. Bahkan, bisa jadi jauh lebih mahal.
Metode banding yang bikin pening
Sebenarnya, ada metode banding. Metode banding ini adalah cara agar kita bisa meminta pertimbangan ulang atas UKT yang ditetapkan bisa disesuaikan pendapatan orang tua. Masalahnya, banding ini pun belum tentu berhasil, kadang malah ditolak meski realitasnya kita benar-benar tak bisa membayar.
Saya sempat mengajukan banding, tapi ditolak. Padahal, penghasilan orang tua saya menurun drastis. Pihak kampus hanya memberi saya opsi untuk mencicil dua kali. Tentu saja itu bukan solusi. Menunda pembayaran tentu saja bukan solusi untuk orang yang benar-benar tidak bisa membayar.
Diminta cuti
Tak sedikit cerita tentang mahasiswa yang “diminta secara halus” untuk cuti saat dia tidak bisa membayar uang kuliah. Orang waras tentu tahu bahwa itu bukan solusi. Yang ada, justru menambah masalah.
Pendidikan, adalah hak warga negara. Negara wajib memberikan itu, dengan cara apa pun, yang penting bisa diraih oleh seluruh elemen masyarakat. Salah satu cara yang paling masuk akal ya tentu dengan menetapkan biaya yang terjangkau, serta memberikan keringanan-keringanan pada pihak yang jelas-jelas tak mampu.
Dari sini saja, cuti jelas-jelas bukan solusi. Membiarkan mahasiswa menganggur selama satu semester karena tak bisa membayar itu sama saja menghukum mahasiswa dan orang tuanya. Kok bisa? Bayangin aja begini, gimana perasaan orang tua lihat anaknya nggak kuliah karena nggak bisa bayar? Lalu, bayangin perasaan mahasiswanya, melihat kawannya sibuk kuliah, dan pada saat bersamaan, melihat orang tuanya mengutuk dirinya sendiri?
Kampus kerap berkata, tak ada satu pun mahasiswa yang akan dikeluarkan karena tak bisa membayar. Tapi nyatanya, kebijakan peringanan biaya kerap tak berpihak.
Jangan bilang masih ada beasiswa. Kalian tahu sendiri bahwa beasiswa, nyatanya, kerap tak berpihak pada yang tak berpunya. Semua cara, nyatanya, tetap tak berpihak pada yang tak berpunya.
Saya akhirnya bertanya-tanya, jika perguruan tinggi negeri beneran terkenal murah, kenapa malah adanya cerita tentang orang susah bayar UKT? Jika memang pendidikan adalah cara agar bangsa bisa berdiri mandiri, kenapa institusi pendidikan justru menembak kaki bangsa sendiri dengan menutup kesempatan banyak mahasiswa?
Penulis: Grace Philia
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Curahan Hati Mahasiswa Jogja yang Tak Kuat Bayar UKT, Gagal Banding dan Pilih Bekerja