Pengendara Ugal-ugalan, Ruas Jalan Habis oleh Parkir, Berkendara di Jogja Lama-lama Bikin Gila

 Terminal Janti: Gerbang untuk Pulang, Rindu, dan Patah Hati di jogja

 Terminal Janti: Gerbang untuk Pulang, Rindu, dan Patah Hati (RizkyJogja via Wikimedia Commons)

KKN memang mengubah segalanya. Pandangan kita terhadap warga desa, pijakan kita terhadap dunia, kadang, juga mengubah hubungan. Saya, yang baru melakoni KKN, tak luput dari hal ini. Tapi, yang terjadi pada saya bukan tiga hal di atas. Yang berubah adalah, pandangan saya terhadap kondisi jalanan Jogja.

Agustus ini saya kembali menghirup udara Jogja. Saya kira, semua akan sama. Setidaknya, semenyenangkan yang saya tahu. Tapi, realitas kerap jauh dari apa yang kita mau.

Pengendara di Jogja yang semakin ugal-ugalan

Saya betul-betul tak paham dengan hal ini. Kita tidak bisa bilang jalan di Jogja itu luas, tapi kok ya ada yang ugal-ugalan di jalanan. Kalau biasanya saya cuma mengomel karena adanya kendaraan plat luar daerah yang kadang nggak paham aturan jalan terus atau satu arah di Jogja, kini plat lokal pun sama menyebalkannya.

Beberapa kali saya menjumpai pengendara yang lampu sein-nya selalu menyala dan itu buat saya sebagai pengendara di belakang jadi bingung. Mau disalip, tapi, kok naik motornya terlalu di tengah. Kalau nggak disalip, kok, ya lama. Pusing!

Bukan hanya itu, ada pula yang berbelok sembarangan. Baru-baru ini, saya melihat mbak-mbak menggunakan motor yang putar arah dari arah Jalan Bantul, tepat di perempatan, di hadapan barisan kendaraan yang baru saja mendapatkan lampu hijau. Parahnya, kendaraan yang berada di paling depan adalah truk, duh! Nyawanya ada berapa, sih?

Ruas jalan di Jogja habis dipakai parkir

Ini sering saya jumpai di daerah kota Jogja. Buat saya pribadi, kalau nggak punya garasi, ya minimal tahu tempat penitipan kendaraan di sekitar rumah, sih. Atau, kalau sekiranya memang belum memadai, ya beli kendaraan yang bisa diparkir di rumah dulu saja.

Saya berpendapat demikian karena jalan di wilayah kota semakin sempit akibat mobil yang parkir di pinggir jalan. Saya hampir bertabrakan dengan pengendara motor dari lawan arah akibat ingin menyalip motor di depan, tetapi ruas jalannya habis dimakan deretan mobil. Selain bikin pengalaman berkendara yang nggak nyaman, ini juga bahaya, lho buat pengendara lain!

Volume kendaraan semakin tinggi

Walaupun saya sendiri merasa di wilayah KKN cukup padat kendaraan, setelah pulang ke Jogja ternyata volume kendaraan semakin nggak masuk akal. Hal ini bisa dibuktikan dari keadaan jalan di depan rumah saya yang seperti nggak ada jedanya untuk kendaraan melintas. Ini pula yang menyebabkan beberapa orang kesulitan untuk menyeberang jalan, termasuk saya sendiri.

Tapi, ini memang tak bisa digugat sih. Daya tarik Jogja kelewat besar, wajar jika kendaraan tumpah ruah di kota ini. Sebagai warga biasa, saya bisa apa?

Cuaca terik

Selain volume kendaraan yang makin tinggi, cuaca Jogja yang selalu menyuguhkan panas terasa sangat nggak mengenakkan untuk kegiatan bepergian apalagi pengguna roda dua. Meski masalah ini tak hanya milik Jogja, tapi, saya rasa ada yang bisa dilakukan. Misalnya saja, memperbanyak pohon di jalan.

Jogja bisa jadi terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Tapi bagi orang-orang yang melewati kejamnya aspal Kota Istimewa, kota ini kadang begitu menyebalkan. Dan tak ada yang bisa kita lakukan, kecuali menerima, dan sesekali menggerutu.

Penulis: Cindy Gunawan
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Upah Minimum Yogyakarta Itu ya Harus Minimum, Nggak Usah Berharap Naik Signifikan, Halu!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version