Pagi ini sudah kali ke sekian saya menonton film Doctor Strange dari layar laptop. Biasanya, maksimal saya hanya menonton dua kali untuk satu film yang tersimpan di folder, selebihnya bosan. Tapi untuk film yang rilis tahun 2016 ini, kasusnya berbeda. Saya justru selalu ketagihan untuk menyimaknya kembali setiap ada cukup waktu untuk bersantai, tentu di sela-sela aktivitas rutin membaca buku.
Sambil menunggu sekuel keduanya yang diperkirakan rilis 2021 mendatang, saya jadi kepikiran untuk menuliskan: Kenapa film ini sebegitunya membuat saya terkesan? Check it out.
Eh btw, pernah nonton filmnya, kan? Jangan-jangan belum. Tak kasih review sedikit, deh. Jadi film ini menceritakan seorang dokter bedah saraf terkenal dan perfeksionis bernama Stephen Strange. Kecelakaan tunggal yang merenggut fungsi jari-jarinya membuka babak baru bagi kehidupannya di tengah depresi dan keputusasaan yang dia alami. Perjalanannya ke Khatmandu (Nepal) tepatnya di sebuah tempat bernama Kamar-Taj mempertemukannya dengan seorang ahli mistis bernama The Ancient One. Dari sinilah dia kemudian didaku menjadi superhero dengan sihir sebagai sumber utama kekuatannya.
Saya pernah melakukan survei kecil-kecilan dengan memberikan angket tak tertulis kepada beberapa kawan yang pernah melihat film ini. Hasilnya, beberapa kawan mengaku menyukai film ini karena sajian action-nya yang berbeda dengan film-film Marvel sebelumnya. Kalau film-film superhero Marvel sebelumnya lebih mengandalkan eksperimen sains dan teknologi mutakhir, film garapan sutradara Scott Derrickson justru menghadirkan kekuatan mistis (sihir) sebagai tumpuan utamanya. Pantes saja kalau banyak para kritikus film yang mengatakan kehadiran Doctor Strange memberi kesegaran dan warna tersendiri bagi jagat Marvel Cinema.
Kalau saya lain cerita. Saya terpukau justru karena beberapa dialog yang saya simak melalui subtitle. Jadi, sepanjang film Doctor Strange saya sepaneng bukan karena menyimak jalannya cerita. Lah gimana, perhatian saya sudah kadung tercuri dan terkesima dengan percakapan antar tokoh, og, piyeee? Dalam hati saya membatin, asu tenan sing garap naskah. Saya curiga jangan-jangan itu penulis naskah dulunya kuliah di UIN jurusan Tasawuf kalau nggak Filsafat. Lha masa iya, untuk ukuran film superhero dialog antar tokohnya kok ya sangat sufistik sekali.
Bukannya apa, tapi sebagai seseorang yang kebetulan pas kuliah kesasar di tengah sekelompok orang yang agak nyufi dan setengah milsuf, saya toh akhirnya lebih tertarik untuk mendalami ajaran-ajaran spiritual yang di-gethuk tularkan The Ancient One kepada murid-muridnya tersebut. Meskipun saya nggak tau persis nilai-nilai spiritual tersebut termaktub dalam kitab suci sebelah mana, tapi paling nggak ada bahan tambahan kalau kebetulan saya diajak ngopi cum diskusi bareng kawan-kawan sufi saya. Biar saya nggak kelihatan liberal-liberal amat lah intinya heuheuheu.
Dari film Doctor Strange saya membuat beberapa catatan yang saya beri judul, “Sufisme The Ancient One”. Jadi, ada beberapa ajaran pokok yang beliau Al Mukarromah (karena perempuan) ajarkan kepada anak-muridnya di Padepokan atawa Pondok Pesantren Kamar-Taj.
Pertama, larangan untuk menjauhi sifat sombong lagi ambisius yang kelewat batas. The Ancient One menegaskan kepada Strange, “Tidak semua hal masuk akal, tidak semua harus masuk akal. Menyerahlah, bungkam egomu. Kecerdasanmu telah menguasaimu. Dan itu tidak membawamu pada kemajuan.” Ini bisa dilihat di scene ketika Strange berlatih membuka portal bersama Baron Mordo.
Wejangan tersebut bisa kita jadikan pegangan mengingat banyak sekali orang-orang pinter sing keminter (pintar yang sok pintar). Rasa sok tahu nggak bisa bikin kita keluar dari zona kita saat ini, karena kita menolak kemungkinan apa pun yang dibawa orang lain. Beda cerita kalau kita selalu ngerasa belum cukup pintar dengan ilmu yang kita miliki. Itu justru akan membawa kita lebih maju selangkah demi selangkah. Karena dengan begitu, kita akhirnya nggak akan segan-segan belajar hal-hal baru dari orang lain. Gimana? Mashoook?
Sebelum itu, beliau yang terhormat The Ancient One juga sempat berujar, “Kau adalah orang yang melihat dunia dari lubang kunci. Bertahun-tahun kau mencoba melebarkan lubang kuncinya, sementara ada cara lain (membuka pintunya). Tapi kau menolak kemungkinan itu.” Itu satir sih, biar kita nggak ngeyel kalau dibilangin. Inget, kecerdasan kita terbatas. Coba saja kita langsung percaya pas dibilangin membuka pintu jauh lebih mudah, tentu kita nggak perlu ngelebarin lubang kunci dengan susah payah.
Pada bagian paling awal, ketika Strange hampir tidak percaya dengan model penyembuhan alternatif yang Sang Guru tawarkan, Sang Guru sudah lebih dulu memberi pelajaran berharga pada kita. Adegan tersebut menggambarkan strange yang terlempar jauh lintas dimensional. Kemudian Sang Guru betutur dengan lembutnya, “Sekarang, siapa kau di tengah multiverse yang tak terbatas ini?” Intinya, The Ancient mencoba menyinggung ego kita masing-masing, untuk apa dan siapa keangkuhan ini? Sebab di hadapan semesta raya, kita toh bukan apa-apa. Kalau kata alm. Cak Rusdi, “Sebutir debu saja tidak” masa mau songong.
Kali lain The Ancient One juga menyinggung kecenderungan kita yang sangat ambisius untuk memperoleh sesuatu yang kita inginkan. Manusia dengan segala daya upayanya selalu ingin menaklukkan kehidupan. The Ancient One berkata, “Kau tidak bisa menundukkan sungai. Kau hanya bisa mengikuti alirannya.” Apa tho maksudnya? Kita ini nggak mungkin bisa menaklukkan kehidupan, yang bisa kita perbuat yaitu mengikuti alirannya, belajar darinya. Atau sederhananya, mempelajari lika-liku hidup agar kita tahu apa yang semestinya kita kerjakan. Mumet yo? Podo!
Kedua, adalah pelajaran agar kita mengenali kecacatan dan keterbatasan dalam diri sendiri, tentu agar kita nggak ngerasa selalu di atas angin.
Kaitannya dengan itu, bisa kita simak saat Guru (imajiner) kita bercakap dengan Master Baron Mordo. “Kita tidak pernah kehilangan sifat jahat kita. Yang kita lakukan adalah mengendalikannya,” ucapnya. Pesan moral: biar kita ini nggak ngerasa jadi orang paling baik dan sok suci aja, sih. Sebab dalam diri kita masih ada serpihan-serpihan sifat jahat yang tersisa. Yang terpenting adalah, bagaimana caranya kita mengendalikan dan menyalurkan sifat-sifat jahat tersebut.
Ditegaskan kembali dengan statement The Ancient One berbunyi, “Kematian yang memberi makna pada hidup. Agar kau tahu waktumu terbatas.” Agaknya, ini adalah pesan agar kita semua menggunakan waktu yang kita punya sebaik mungkin. Mengingat waktu kita dibatasi sampai kematian tiba. Seperti apa kata Kaecilius (murid The Ancient One yang murtad), kalau waktulah yang menjadi musuh sejati bagi manusia. Jelas ya, Rek?
Ketiga, membentuk mindset optimistis. Pelajaran ini bisa kita simak pada segmen-segmen terakhir dalam film Doctor Strange, ketika Maha Guru kita berkata, “Bukan karena ingin sukses, tapi kau melakukan semua itu karena takut gagal. Itulah yang menghalangimu dari hal besar.” Memang sih, seringnya kita mengerjakan segala sesuatu di bawah baying-bayang kegagalan. Kita kerja ngoyo karena takut besok nggak punya uang. Ngelakuin sesuatu karena takut nggak punya teman, takut ditinggalkan, takut ini, takut itu, dan ketakutan-ketakutan yang lain.
Bekerja dengan bayang-bayang kegagalan justru akan mengantarkan kita pada kegagalan itu sendiri. Ikuti apa kata The Ancient One, optimis, berprasangka bahwa kita musti sukses. Dan itulah yang bakal membukakan kita jalan menuju kesuksesan yang lebih besar.
Di luar dugaan, film yang bergenre superhero ternyata bisa se-nyufi ini. Berikutnya, saya sepertinya perlu membedah film Marvel lainnya, emmm Black Panther misalnya. Tapi, gimana ya? Mungkin temen-temen mojokiyah ada yang berkenan membantu? Heuheuheu.
BACA JUGA Mimpi Menurut para Sufi atau tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.