Indonesia dan sejumlah negara lain di dunia tengah disibukkan dengan mikroorganisme tak kasat mata yang hobinya jalan-jalan ke tubuh manusia tuk mencari penghidupan. Namanya corona virus atau covid-19. Ini kalau bentukannya orang nih, udah pasti bakal ditolak kalau mau masuk organisasi Muhammadiyah. Wong dari prinsip hidupnya saja sudah bertentangan dengan slogan Muhammadiyah yang bunyinya, ”Hidup hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan dari Muhammadiyah.”
Corona virus ini benar-benar bikin semua orang kelabakan, tanpa terkecuali. Pertandingan-pertandingan besar dunia seperti NBA, turnamen bulutangkis penting, hingga olimpiade yang merupakan pesta olahraga lima tahunan sekali pun rela reschedule, lho. Kerugian makro maupun mikro sedang diperkirakan dan dicari solusinya oleh masing-masing negara maupun organisasi internasional seperti PBB.
Namun, ada sebagian kecil orang yang mungkin bisa menikmati hikmah dari terjadinya wabah ini. Yaitu mereka-mereka yang tiap bangun pagi deg-degan karena ditagih utang tiap hari sama rentenir. Pasalnya, berdasarkan imbauan Pak Presiden, utang dan segala cicilan bisa ditunda hingga satu tahun ke depan. Hehehe.
Terjadinya segala sesuatu tidak mungkin tanpa maksud, pasti ada pelajaran yang ingin Allah sampaikan kepada kita. Perihal pelajaran apa yang kita dapat, ya itu tergantung bagaimana kita melihatnya. Kalau saya, melihat covid-19 yang kebetulan bertamu ke Indonesia ini jelang bulan puasa sebagai salah satu sarana untuk kita belajar berpuasa dan bersikap yang sedang-sedang atau kalau dalam terminologi NU biasa disebut wasathiyah.
Datangnya corona ini memaksa kita untuk tetap waspada, mawas diri, dan memperhatikan lebih detail lagi mengenai sikap hidup kita sehari-hari. Ini mewujud dalam imbauan untuk jaga kebersihan dan jarak sebagai upaya pencegahan persebaran corona. Namun di lain sisi, kita juga dituntut untuk tetap tenang dan tidak panik melihat kondisi sekitar baik secara langsung maupun melalui media massa. Pasalnya, konon katanya panik akan melemahkan sistem imun tubuh yang pada gilirannya akan menjadi golongan yang rentan terpapar virus.
Betapa pesan ini adalah pesan sufistik yang mengharuskan kita menjaga sikap khouf (ketakutan) maupun raja’ (pengharapan) secara berimbang?
Selain dituntut untuk cakap mengelola emosi, kita juga berlatih menahan diri dari banyak hal. Dari kumpul-kumpul bersama orang terkasih, aktivitas harian seperti belajar dan bekerja yang biasanya dilakukan dengan keluar rumah pagi-pagi dan pulang larut malam menjadi aktivitas yang kita lakukan di rumah seharian penuh. Rencana-rencana perjalanan yang mungkin sudah kita perhitungkan jauh-jauh hari terpaksa dibatalkan, kerinduan kepada kampung halaman yang terpaksa tertahan lebih lama. Dan masih banyak lagi. Pada dasarnya, kita dituntut untuk memahami sebenar-benarnya puasa melalui datangnya virus ini.
Puasa yang bukan tentang lapar dan haus, tetapi ego dan hawa nafsu keduniawian kita yang sering tak terkendali. Bahkan bisa jadi, yang tadinya punya rutinan jamaah ghibah juga tidak lagi punya niat untuk mempergunjingkan satu sama lain karena terhalang jarak dan kesibukkan di rumah masing-masing.
Saya sih memahami bahwa mungkin saja pandemi corona ini adalah peringatan untuk kita yang pada tahun-tahun sebelumnya menjalankan puasa hanya sebatas bangun sahur dan menunggu waktu berbuka untuk meningkatkan kualitas puasa kita. Lantas menjadi sebenar-benarnya menahan diri dari keinginan-keinginan yang tadinya wajar, yang mana tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah.
Jamaah tabligh yang dirahmati Allah….
Wqwqwq. Serius amat sih bacanya. Udah kali ah, yang jelas seperti apa pun kita kemarin-kemarin, Ramadan ini semoga jadi media untuk kita menghayati lagi sebenarnya untuk apa dan bagaimana seharusnya kita berpuasa. Yang sanggupnya masih menahan lapar dan haus, alhamdulillah. Yang sudah sanggup menahan hawa nafsu untuk tidak menggunjing ya, alhamdulillah.
Saya jadi ingat salah satu cuitan warganet di Twitter saat pandemi kemarin. “Metu mati, kedemek mati. Iki urip opo gobak sodor?” Yang artinya begini, “Keluar (dari rumah) mati, kena sentuh juga mati. Ini hidup apa mainan gobak sodor?” Seketika saat baca kelakar itu untuk kali pertama saya malah merinding. Pasalnya, saya merasa bahwa ternyata kita sedang diingatkan melalui covid-19 tentang kehidupan di dunia yang digambarkan dalam Alquran layaknya sebuah permainan, yang entah bagaimana jalannya kita semua akan berlomba-lomba memenangkannya. Seperti halnya juga ibadah puasa, kita berlomba dengan hawa nafsu dan siapa yang jadi juara akan tercermin dalam sebelas bulan selanjutnya.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.