Siang yang gayeng. Mustofa, kawan nyantri Kang Salim dan Misbah yang sekarang jadi redaktur salah satu surat kabar terkenal, datang bertamu ke gubuk mereka. Berhubung Misbah mendapat oleh-oleh rajungan dari pakliknya yang melaut pagi sebelumnya, makin gayeng reunian kecil ketiganya siang itu. Makan olahan rajungan dari Kang Salim sambil nyeruput es tebu di siang yang lumayan terik, obrolan mereka mengalir syahdu.
“Sekarang udah jadi penulis di koran, duitmu lak yo ngalir terus tho, Mus?” gojlok Misbah sambil menumpuk piring-piring bekas makan mereka.
“Duh, dibilang gede ya nggak terlalu sih, Mis, gajinya. Tapi cukup lah buat beli kebutuhan hehehe,” jawab Misbah setengah kikuk. “Lagi pula, saya sendiri dari awal kan emang niatnya bukan nyari gaji gede. Ada sih, beberapa yang nawarin saya pekerjaan bercuan gede. Tapi, ah nggak, deh. Percuma cuannya gede, kalau bikin tekanan batin ya sama aja. Oke lah bayarannya menggiurkan, tapi kalau fisik dan tenaga saya diforsir habis, rasa-rasanya malah nggak bakal bikin saya bahagia.”
“Yaelah, Mus, Mus. Yang namanya orang kerja kan tujuannya buat nyari duit banyak,” protes Misbah. “Dan namanya kerja, ya wajar tho, kalau sampai harus memforsir tenaga.”
Sementara keduanya sibuk melempar argumen, Kang Salim malah asyik mengganyang satu per satu irisan semangka yang tersaji.
“Sori, Mis, saya kurang sependapat,” sanggah Mustofa. “Pertama, soal tujuan kerja, itu kan tergantung niat kita masing-masing. Maksudnya, kita punya porsi hidup yang berbeda satu sama lain. Ada sih, emang yang kerja demi dapet gaji gede. Tapi, saya ada di posisi menghendaki diri saya bekerja bukan karena besar-nggaknya bayaran yang bakal saya terima. Mmmm… lebih ke karena saya suka pekerjaan saya tersebut sih, Mis.”
“Bekerja karena suka? Kayak misalnya, kamu jadi penulis karena dari dulu emang suka nulis. Atau misalnya lagi montir. Dia jadi montir bukan hanya kerena kebetulan dulu SMK-nya ambil otomotif. Tapi karena sedari awal emang dia suka bongkar-pasang mesin. Dan seterusnya-seterusnya. Gitu?”
“Nah, persis seperti itu, Mis,” jawab Mustofa sambil mengupas pisang ulin. “Kamu pasti udah nggak asing lah sama ungkapan, ‘Pekerjaan yang menyenangkan adalah hobi yang dibayar’. Bekerja kalau sekadar bekerja, kera juga bekerja, Mis. Begitu kata Buya Hamka. Karena kerjanya binatang itu tanpa ruh, tanpa kesadaran, melainkan semata karena dorongan naluriah. Karena mereka butuh makan dan bertahan hidup.”
“Sementara manusia punya perangkat tersebut. Manusia punya kehendak, punya kesadaran, yang oleh karena itulah bisa menentukan orientasi hidupnya sendiri. Dan dengan kesadaran itu, saya memilih nggak sekadar bekerja demi dapet cuan gede, apresiasi dari bos, setor muka ke publik alias pengin terkenal, dan pamrih-pamrih sosial yang lain. Saya bekerja karena saya cinta dengan pekerjaan saya itu.”
“Sik, Mus, saya nangkepnya agak keliyengan,” reaksi Misbah sambil garuk-garuk kepala.
“Gini loh, Mis, dalam bekerja kita jangan cuma mengandalkan jasad, tapi juga harus melibatkan ruh. Adapun ruhnya itu berupa niat yang ikhlas, tanpa pamrih apa pun seperti yang disebut Mustofa tadi.” Tiba-tiba Kang Salim menyahut dari pojok cangkruk.
“Konsepnya Ibnu Athaillah, kerja itu punya dua orientasi. Jangka panjang dan jangka pendek. Gaji gede dan pamrih sosial itu sifatnya jangka pendek. Kenapa jangka pendek? Karena kalau patokan atau gol kita adalah gaji gede, gaji gede bisa turun jadi lebih rendah sewaktu-waktu. Kalau golnya pengin disayang bos, inget, nggak selamanya kita bakal di posisi itu. Sebab, cukup butuh setitik nila saja untuk merusak susu sebelanga. Adapun jangka panjangnya itu lebih ke urusan kepuasan batin saja sih, Mis. Iya nggak, Mus?”
“Heeem, heeem,” Mustofa yang masih mengunyah pisang ulin di mulutnya tergeragap mendapat lemparan persoalan dari Kang Salim. Ia lalu menyahut, “Kalau kita kerja di luar pamrih semua itu, ya batin kita jadi ayem. Kerja kita jadi terasa enjoy saja meskipun gajinya nggak seberapa. Dan ini sifatnya jangka panjang. Karena hati kita nggak sumpek sama persoalan besar-kecil atau naik-turun gaji. Dan ini otomatis masuk ke poin kedua tadi, Mis. Soal fisik dan tenaga yang diforsir.”
Mustofa mengambil jeda sejenak. Kemudian kembali berujar.
“Pekerjaan apa pun pasti bakal menguras banyak waktu, tenaga, pikiran, dan fisik kita, Mis. Tapi kalau pakai konsepnya Ibnu Athaillah seperti yang dipaparkan Kang Salim tadi, tingkat lelahnya jelas berbeda. Orang yang kerja tanpa ruh, yang orientasinya jangka pendek, yo mesti yang didapet cuma capeknya thok. Puas dan bahagianya nggak. Hla wong dia masih diganggu sama persoalan gaji, og. Dan urusan itu nggak bakal ada habisnya, Mis. Pasti bakal merasa kurang terus. Alhasil, ya seterusnya nggak bakal dapet kepuasan batin, tho.”
“Owalah, paham-paham saya, Mus,” respons Misbah sambil manggut-manggut. “Sementara yang bekerja dengan ruh, dengan orientasi jangka panjang, capek tetep ada lah ya. Tapi rasa capek itu nggak begitu dirasakan karena, pertama, dia suka dengan pekerjaan itu. Kedua, karena sesungguhnya yang bikin tambah capek itu beban-beban dan standar hidup yang kita ciptakan sendiri. Iya tho, Mus? Kang?”
“Mantaaap,” tanggap Kang Salim dan Mustofa hampir bersamaan.
“Rata-rata ya, Mis, orang yang bekerja karena dedikasi dan komitmen, karena dia cinta dengan profesi atau pekerjaannya, hasilnya malah lebih berkualitas. Karena dia melakukannya dengan sepenuh hati,” sambung Kang Salim.
“Eh, Kang. Kalau kasusnya kayak Mustofa sih, mungkin enak. Karena dia udah ketahuan basic-nya: nulis. Jadi dia bisa bilang kalau dia mencintai pekerjaannya. Hla, bagaimana dengan orang-orang yang nggak punya banyak pilihan? Katakanlah tukang nyeberangin jalan. Masa iya nyeberangin jalan itu basic-nya? Terus gimana dong, caranya agar orientasinya jangka panjang? Lebih lagi, bagaimana caranya mencintai pekerjaan itu? Wong bukan basic, kok,” Protes Misbah tiba-tiba, yang disambut Kang Salim dan Mustofa dengan gelak tawa.
“Kamu jeli sekali, Mis,” puji Kang Salim sebelum memberi jawaban. “Mencintai pekerjaan itu kan nggak harus punya basic lebih dulu, Mis. Tukang nyeberangin jalan tetep bisa mencintai pekerjaannya, bekerja dengan ruh, karena dia memutuskan untuk bekerja bukan sekadar nyari duit. Tapi, bekerja karena emang Gusti Allah memerintahkan buat bekerja.”
“Dan dia merasa seneng aja diperintah-perintah sama Gusti Allah. Efek kepuasan dan kebahagiaannya jadi jangka panjang. Kurang lebih sama lah dengan penjelasan saya sebelumnya. Sepanjang dia nggak terganggu dengan standar-standar manusia. Kalau dalam filosofinya punakawan Semar, istilahnya, ‘Mbegegeg, ugeg-ugeg, mel-mel, sak dulita langgeng.’ Niat bekerja karena emang diperintah Gusti Allah buat kerja. Hasilnya, walaupun cuma sedulit atau sebutir nasi, tapi nikmatnya bisa abadi.”
“Dan karena dia memilih bekerja bukan untuk duit, Mis, tapi buat yang Maha Ngasih Duit. Jadi ya bakal bahagia terus,” sambung Mustofa. “Sebab kalau mendekat ke Gusti Allah, itu kan sama dengan mendekat ke sumber kebahagiaan sejati.”
Obrolan sempat terjeda sejenak lantaran Mustofa harus mengangkat telepon dari orang surat kabar.
Setelah Mustofa menutup teleponnya, Misbah berseloroh, “Bener-bener nggak nyangka saya, Mus, kamu jadi sekeren ini. Jadi orang penting, je, hehehe.”
“Kuncinya cuma dua, Mus, konsisten dan sumeleh,” ucap Mustofa. “Konsisten, jangan goyah, dan fokus sama tujuanmu. Kayak misalnya, dalam eksperimen membakar kapas dengan cermin dan sinar matahari, cermin yang kamu pegang bener-bener harus ajeg mengenai kapas, agar sinar matahari tertransfer dengan baik. Kalau cerminnya goyang-goyang, kapasnya ya nggak bakal terbakar. Prosesnya lama, tapi kamu harus sabar dan terus konsisten memegang cermin tersebut kalau mau eksperimenmu itu berhasil. Berikutnya, sumeleh itu….”
Belum juga menuntaskan penjelasannya, ponsel pintar Mustofa tiba-tiba berdering lagi. Percakapan pun harus kembali terhenti. Tapi kali ini, sepertinya butuh waktu lebih lama. Jadi, mau tak mau Misbah masih harus menunggu penjelasan dari Mustofa atau mungkin Kang Salim soal sumeleh dalam urusan kerja. Entah hari itu juga, entah lusa.
Diolah dari Menjadi Manusia Rohani karya Ulil Abshar Abdalla dan penjelasan Sujiwo Tejo.
BACA JUGA Merdeka Pikiran dari Keinginan untuk Jadi Sesuatu di Luar Dirimu dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.