Kata pepatah, hidup adalah pilihan. Kita disodorkan bermacam pilihan, kemudian kita memilih pilihan yang kita anggap sesuai. Tapi pepatah itu tidak belaku untuk wajah. Kenyataannya, perihal fisik terutama wajah, kita dipaksa menerima jatah yang sudah dianugerahkan Tuhan. Kita nggak bisa tuh, memilih mau lahir dengan wajah bule atau wajah macam aktor drama Korea.
Kita juga nggak bisa menuntut protes ketika merasa tidak puas dengan wajah yang dimiliki. Meskipun bagi mereka yang berduit, bisa dengan mudah oplas sebagai wujud protes atas ketidakpuasan terhadap wajah mereka. Tapi bagi kaum pas-pasan, sudah punya wajah aja sudah syukur. Paling sebagai wujud menjaga anugerah Tuhan, membersihkan wajah sehari sekali sudah sangat bagus. Itu pun sabunnya diirit-irit untuk sebulan.
Ngomong-ngomong soal wajah, saya sendiri terlahir dengan wajah TTL (Timur Tengah Lokal). Akulturasi fisik orang Jawa dari ibu saya, dan fisik orang Flores dari ayah saya. Akulturasi biologis itu menghasilkan wajah saya yang bisa dibilang kearab-araban gadok (nanggung).
Rambut agak kruwel, hidung mancung, mata besar dipadukan dengan warna kulit coklat terang. Selain itu kelebatan janggut dan kumis serta alis mata yang cukup tebal membuat saya sering dianggap punya keturunan dari Arab atau Timur Tengah. Padahal ya, sebenarnya produk asli lokal.
Ketika mengonfirmasi ke orang tua saya pun, mereka yakin menjawab tidak punya hubungan sama sekali dengan orang Arab kecuali Nabi Adam. Bahkan mereka juga heran kenapa saya berwajah begini. Jangan-jangan saya anak pungut lagi. Hemmm.
Anggapan tersebut kemudian memicu justifikasi massal tentang diri saya. Dan sebelnya, justifikasi yang mereka buat kebanyakan ngawur dan tidak berdasar. Mereka dengan seenake dewe menciptakan justifikasi absurd yang tidak ada persetujuan dari saya. Meskipun pada akhirnya saya pasrah juga dengan justifikasi tersebut.
Beberapa diantaranya adalah, pertama, saya sering dianggap habib. Itu loh, gelar yang selalu disematkan pada orang yang punya garis keturunan langsung dengan Rasulullah. Banyak teman saya atau orang yang berada di sekitar saya sering mengira saya habib. Bahkan pernah suatu hari ketika bersama dengan teman, saya beristirahat di sebuah masjid di kota Semarang, saya dihampiri oleh salah seorang berjubah putih berjanggut tebal yang perawakannya kearab-araban kayak saya.
Beliau memberi salam dan langsung bertanya dengan aksen kearab-araban: Apa nama marga saya? Sontak saya jadi bingung. Lah maksudnya gimana ini nanya gitu? Tiba-tiba langsung nanya marga. Dari kebingungan itu hampir saja saya ingin menjawab, nama marga saya adalah marga Uchiha. Untung teman saya yang seorang santri paham dan buru-buru menjawab, “Maaf, teman saya ini bukan sayyid (istilah lain dari habib), Bib.” Orang tersebut pun kemudian meminta maaf dan pergi dari hadapan kami.
Sungguh ketika anggapan habib disematkan, saya merasa tidak enak hati. Hal itu karena saya berpikir, orang-orang yang punya gelar habib harus memiliki tauladan yang baik. Semisal macam habib Luthfi bin Yahya, Habib syech Assegaf, atau yang bergaya milenial macam habib Husein Ja’far. Sedangkan saya mengendalikan hawa nafsu sendiri aja susah. Kok disuruh jadi tauladan untuk orang lain. Bisa-bisa perilaku nyleneh saya ditiru dan malah jadi “dosa jariyah” lagi. Kan ngeri.
Kedua, punya wajah kearab-araban begini, saya sering dianggap ahli dan paham soal agama. Jujur anggapan ini membuat saya sedikit tertekan. Apalagi status saya sebagai alumni UIN. Wah, tambah-tambah deh tuh anggapannya. Padahal ahli agama dari mana? Mondok aja cuma 6 bulan abis itu keluar. Kuliahnya pun di Fakultas Ekonomi bukan di Syariah, Ushuluddin, atau Tarbiyah. Lah kok disuruh jawab persoalan corona itu tentara Tuhan atau bukan.
Ketiga, mempunyai wajah Arab, saya sering dianggap fasih berbahasa Arab. Padahal kenyataannya pelajaran Bahasa Arab sendiri merupakan pelajaran yang sering saya tinggal tidur ketika masih MTs dulu. Bahkan pada saat kuliah, saya harus tes ulang 3 kali baru bisa lulus ujian Bahasa Arab sebagai persyaratan sidang.
Keempat, dengan wajah seperti ini saya sering diidentikan dengan unta. Iya unta, hewan berkaki empat yang lonjong dan berwajah selow khas Arab itu. Entahlah, saya sendiri tidak paham dengan dasar julukan tersebut. Padahal, dari perawakan dan bentuk wajah, saya ini lebih mirip Kemal Faruk daripada unta.
Terakhir, berwajah kearab-araban begini saya sering dibilang berwajah boros. Boros hidung yang katanya kelewat mancung, boros mata yang katanya kelewat lebar, boros kumis dan janggut yang katanya lebatnya melebihi hutan amazon. Padahal, semua kelebihan yang dimilki kan bukan sebuah tanda keborosan, melainkan privilege dari sang Maha Kuasa!
Sebenarnya masih banyak justifikasi atau anggapan yang dialami oleh orang berwajah kearab-araban seperti saya. Tapi secara umum, lima hal di atas adalah anggapan yang sering saya alami. Mungkin ada lagi yang mendapat justifikasi atau anggapan lain versi mereka sendiri. Tapi terlepas dari itu, saya tetap bangga dengan wajah kearab-araban yang dianugerahkan Tuhan kepada saya.
BACA JUGA Kalau Virus Corona Tentara Allah Kenapa Arab Saudi Juga Kena Imbasnya? atau tulisan Muhamad Iqbal Haqiqi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.