Tak berlebihan jika ada yang menganggap Batam adalah Singapura-nya Indonesia. Kota penuh industri, potensi, serta influence karena jarak geografi berdekatan jadi alasan orang menganggap kota ini sanggup memiliki apa yang Singapura punya. Itulah yang bikin orang menganggap, Batam adalah tanah di mana impian terwujud.
Pikiran tersebut tentu saja muncul karena tak bisa dimungkiri, Batam adalah tempat uang berputar. Di mana uang berputar, orang-orang datang dengan wajah berbinar. Tak peduli apa yang sebenarnya menanti di balik binar kilau uang.
Di balik romantika, ekspektasi, dan kilauan kota-kota besar yang diimpikan, belum tentu memberikan kesan berharga di akhir. Mereka, perantau, hanya memikirkan bagaimana makmur dan suksesnya orang lain tanpa mengetahui pahit di balik kisah yang telah diarungi.
Banyak yang modal nekat untuk sampai ke kota. Memang, dunia ini dipenuhi kisah sukses orang yang nekat. Tapi, dunia juga berlumur tangis orang nekat yang gagal memenuhi impiannya.
Batam itu keras!
Ambisi bisa membuat hati dan semangatmu terbakar meraih mimpi. Tapi, ambisi juga membuatmu seperti Icarus, membakar sayapnya dan membawanya ke akhir cerita hidup. Itulah yang harus kalian pahami tentang Batam.
Batam itu kompleks. Kerlap-kerlip cahaya lampu kota memang memberimu semangat. Tapi di balik lampu itu, banyak yang membakar sayapnya hanya demi memenuhi tuntutan hidup.
Pergi ke Batam dengan modal nekat hanya akan “membakarmu hingga jadi abu”. Batam itu keras, tanpa modal dan kemantapan hati, perputaran uang miliaran di kota ini tak akan pernah kau nikmati.
No ambisi no party
Memutuskan untuk merantau ke Batam yang notabenenya merupakan kota industri sebenarnya cukuplah riskan. Peluang besar menjadi pekerja di Batam hanyalah sebagai buruh atau operator kasar di pabrik. Lantas bagaimana dengan posisi yang lebih tinggi dan para tenaga ahli? Ya, biasanya hanya didominasi oleh para ekspatriat. Untuk ini, jika salah, mohon koreksinya.
Jika tujuanmu memang untuk kehidupan yang lebih layak ke depannya, pergilah ke Batam dan siapkan segalanya dengan sebaik-baiknya. Mulai dari prakerja-kerja-pasca kerja. Ingat pepatah Latin yang berbunyi “amat victoria curam”, yang artinya kemenangan hanya berpihak pada yang siap.
Sebagai seorang anak yang memiliki orang tua dengan jiwa rantau yang tinggi, saya cukup tercengang dan kagum dengan orang tua saya yang nekat dan memberanikan diri untuk terbang ke Batam. Rencana hidup yang mereka susun secara terstruktur sebelum saya dilahirkan pun semakin memperkokoh ambisi mereka untuk sukses di kota ini. Berbagai manis pahitnya kehidupan kerja dari buruh serabutan hingga merasakan empuknya kursi kantor sebagai seorang kepala cabang di salah satu Perusahaan swasta pernah ia rasakan.
Namun, roda kehidupan itu akan selalu bergulir dan menggelinding. Di era puncaknya sukses mereka dengan ambisi dan kerja keras yang kuat serta berbagai hal yang telah dicapai, akan ada masanya semua tidaklah lagi sama dan harus memutar otak agar kehidupan yang dijalani tetap dapat berjalan. Dengan demikian, perlu menjadi seorang yang cerdas dalam mengelola dan melakukan investasi untuk dapat tetap bertahan dalam dunia yang dinamis. Merasakan menjadi seorang yang pernah berkecukupan, kemudian harus merasakan keterbatasan, tentunya perlu ketabahan dan kesiapan.
Merantau itu bukan hanya soal mandiri
Merantau bukan hanya soal mandiri atau bahkan ingin melarikan tanggung jawab dari bersih-bersih rumah dan kamar. Tapi merantau lebih dari itu, kita akan merasakan sepi dan sunyi di tanah perantauan. Tak ada lagi keluarga yang menjadi sandaran di kala petang biasanya mereka hadir menghibur diri ini. Hiruk pikuknya kehidupan juga harus dapat kita telan sendiri. Hidup memang tak seindah cerita fiksi, kadang malah lebih tragis ketimbang cerita tragedi.
Batam merupakan daerah yang ramah akan wisatawan, tapi tidak dengan perantauan. Masyarakat yang plural menjadi suatu tantangan yang mesti dihadapi oleh para perantau. Penyesuain diri dengan lingkungan, pembatasan pengeluaran harian yang begitu besar, terik panasnya matahari, dan penuh polusi akan menjadi tantangan yang akan selalu di hadapi oleh para pekerja di Batam.
Saya ingatkan lagi, Batam itu keras. Lebih kejam dari ibu tiri, lebih pedih ketimbang tragedi Shakespeare. Tapi, untuk yang berani berjuang dan bersiap, kota ini bisa mewujudkan mimpi paling mustahil sekalipun.
Lagi pula, hidup bahagia mana bisa diraih tanpa darah yang bikin merintih?
Penulis: Agung Anugraha Pambudhi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Batam Nggak Melulu tentang Black Market dan Singapura