Surabaya boleh bilang banyaknya masalah di sana akibat kehadiran Jembatan Suramadu yang menghubungkannya dengan Madura. Tapi sebenarnya yang jadi korban utama adalah Bangkalan Madura.
Saya rasa, saya tidak salah pernah mengatakan bahwa Bangkalan Madura hanyalah saudara tiri dari Surabaya dan Sidoarjo. Sebab, ketika membaca hubungan mereka, sering kali Bangkalan dinomorduakan bahkan tak akan dipandang. Sedangkan Surabaya selalu disanjung-sanjung hingga disayang-sayang layaknya anak kecil yang sedang merengek.
Jika kalian butuh bukti, tak perlu jauh-jauh survei ke Surabaya. Baca saja tulisan-tulisan di Terminal Mojok yang membahas problem di Surabaya. Pendapat saya, rata-rata argumennya terlalu playing victim, seakan-akan Surabaya selalu dan hanya satu-satunya korban dari Jembatan Suramadu. Padahal jika kalian tahu kondisi Bangkalan Madura, kalian akan sadar bahwa kabupaten ini yang sebenarnya menjadi korban.
Daftar Isi
15 tahun Jembatan Suramadu tidak berdampak apa-apa bagi Bangkalan Madura
Siapa yang bisa sabar menunggu janji kehidupan lebih baik, dan kini setelah 15 tahun masih juga belum tercapai? Jawabannya, tak ada selain Madura, Bangkalan khususnya.
Suramadu menelan Rp4,5 triliun uang negara dengan janji membangun Madura. Tapi, jembatan yang mulai beroperasi sejak 2009 ini agaknya tak ada manfaatnya, selain menjadi akses mondar-mandir kendaraan saja. Sedangkan kemajuan pendidikan, ekonomi, infsrastruktur, dan bidang lainnya di Surabaya tak ada yang menular ke Bangkalan Madura. Semua aspek antar keduanya selalu jauh, Surabaya selalu berada paling atas sementara Bangkalan paling bawah.
Dari kondisi ini, tentu saja saya sangat muak ketika ada opini tentang Surabaya yang terlalu playing victim. Selalu saja, keterpurukan kondisi Bangkalan Madura ditinggalkan dalam analisis mereka.
Apa dikira kami senang dengan kondisi yang begini-begini saja?
Jembatan Suramadu hanya memperparah stigma
Kita sepakati, beberapa tahun ke belakang ini stigma pada orang Bangkalan Madura memang semakin parah, utamanya dari Surabaya. Benar, Jembatan Suramadu bukan mempererat hubungan keduanya, tapi sebaliknya. Sebagai orang asli Bangkalan Madura, saya akan mengatakan bahwa ini adalah hal yang sangat disayangkan.
Tapi kalau mau hitung-hitungan, warga Bangkalan Madura lah yang sebenarnya lebih banyak menerima stigma. Seakan-akan karena ada Suramadu, semua tindakan kriminal di Surabaya sumbernya adalah dari Bangkalan Madura. Yang namanya stigma, akhirnya semua yang dari pulau ini dilihat sebagai pelaku kriminal.
Coba renungkan, ketika Surabaya kehilangan satu motor, maka semua warga Bangkalan Madura akan kehilangan citra baiknya. Nasib, nasib!
Bangkalan dituntut meniru Surabaya
Jangan disangka bahwa tuntutan orang tua karena prestasi anak tetangga hanya terjadi di ranah individual. Faktanya, ini juga terjadi di kondisi masyarakat secara makro, maksud saya antarwilayah. Contohnya adalah Bangkalan Madura sendiri dengan Surabaya sebagai tetangganya.
Semua tahu, Surabaya adalah salah satu ikon kemajuan Jawa Timur. Kota ini juga jadi kota terbesar kedua di Indonesia. Tentu saja tetangga-tetangganya akan dipertanyakan jika kondisinya jauh dari tampilan Surabaya. Nah, siapa korban utama yang akan dituntut? Jawabannya adalah Bangkalan Madura.
Saya sendiri sering kali mendapat pertanyaan, kok bisa Bangkalan Madura kondisinya seperti ini. Teman saya yang baru berkunjung ke Bangkalan juga pasti heran, mereka mengira kabupaten ini sama seperti Surabaya dengan gedung-gedung tinggi, perumahan, tempat hiburan, dan lainnya. Karena sudah terhubung dengan Jembatan Suramadu yang salah satu tujuan awalnya mendorong percepatan pembangunan sosial ekonomi di Pulau Madura.
Saya bukan tidak mau maju seperti Surabaya. Tapi, Bangkalan Madura tentu memiliki makna kemajuan sendiri. Saya tak masalah tak ada gedung-gedung tinggi seperti Surabaya, asal masyarakatnya sejahtera. Apalagi tempat hiburan yang jauh dari sebutan Kota Dzikir dan Sholawat.
Cukup, tak sulit untuk cari nafkah, tak rumit pula untuk sekolah. Itu sudah alhamdulillah!
Bangkalan Madura dapat buruk-buruknya saja
Saya harap para pembaca mulai sadar siapa sebenarnya korban utama dari Jembatan Suramadu ini. Masalah di atas hanyalah masalah abstrak yang memang sulit sekali dirasakan jika tak pernah menetap di Bangkalan. Jika kalian masih ragu, saya pun tak kesulitan memberikan contoh konkret yang menunjukkan bahwa Bangkalan Madura memang dapat buruk-buruknya saja dari Jembatan Suramadu.
Kini, jalanan di Bangkalan menuju Suramadu sudah beda dari biasanya. Anak jalanan, yang umumnya hanya ditemukan di daerah perkotaan, sekarang mulai ramai di Bangkalan. Lampu lalu lintas di Bangkalan sudah mulai dipenuhi anak jalanan. Ada yang ngamen, bersih-bersih kaca mobil, ada juga yang hanya minta-minta. Bahkan, banyak juga yang suka maksa memberhentikan mobil truk untuk menumpang.
Dari mana anak jalanan-anak jalanan ini? Bukan maksud saya menuduh Surabaya, tapi anak jalanan di Bangkalan Madura rata-rata memakai bahasa Jawa Suroboyoan. Nah, kebetulan juga, di Surabaya memang sudah jarang sekali ada anak jalanan di lampu merah. Lampu merah di sana rapi, aman, dan damai. Jadi, maklum saja jika saya berpendapat bahwa mereka adalah pendatang dari Surabaya.
Sebelum saya tutup, saya katakan bahwa tak ada sama sekali niat saya cari masalah. Saya hanya risih ketika Bangkalan tak pernah dilihat sebagai korban juga. Jadi, Surabaya sebaiknya berhenti playing victim dan terus merengek karena ada Jembatan Suramadu. Bangkalan Madura sebagai korban utamanya juga lebih parah.
Penulis: Abdur Rohman
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Konsep Alun-Alun Surabaya Itu Menyalahi Kodrat, tapi Justru Paling Relevan di Zaman Sekarang.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.