Akses jalan dan penerangan yang buruk
Sebenarnya kondisi akses jalan di Bangkalan Madura pernah ditulis oleh Mas Abdur di Terminal Mojok. Menurutnya jalanan di daerah ini penuh dengan becekan dan bebatuan. Pokoknya nggak ramah untuk pendatang dan warga lokal. Beruntungnya, saya berhasil membuktikan pernyataan tersebut.
Di Bangkalan Madura, saya menemui jalan beraspal hanya di jalan utama yang menuju arah Kabupaten Sumenep. Sisanya, saya lebih sering menemui jalan tanah dan bebatuan saat masuk ke wilayah perkampungan. Lagi-lagi, hal ini membuat saya nggak bisa menikmati perjalanan karena harus ekstra hati-hati mengendalikan motor.
Selain itu, minimnya penerangan di jalan utama juga perlu dijadikan pertimbangan kalau kalian ingin berkunjung ke sini. Bukannya di sini nggak ada lampu jalan, tapi pembagiannya nggak rata sehingga beberapa titik masih gelap. Jadi, saya hanya mengandalkan lampu motor saat berkendara di malam hari.
APILL dan marka jalan nggak punya harga diri di Bangkalan Madura
Seperti di banyak tempat lain, saya juga banyak menemukan pelanggar lalu lintas di daerah ini. Bukannya saya sok benar ya, tapi urusan keselamatan berkendara itu krusial, lho.
Berdasarkan pengalaman saya, banyak pengendara di Bangkalan Madura yang nggak peduli dengan lampu lalu lintas atau APILL. Bayangkan, saat itu saya berada di perempatan sedang menunggu lampu merah. Tiba-tiba dari kejauhan terdapat sekumpulan motor yang nyelonong tanpa merasa bersalah. Dampaknya, beberapa orang yang awalnya menunggu lampu merah bersama saya jadi ketularan melanggar.
Selain itu, saya nggak ngerti kenapa kendaraan dengan muatan seperti pick up atau truck justru melaju kencang di jalanan sekitar Bangkalan. Nggak cuma ngebut, beberapa dari mereka juga melanggar marka jalan. Bahkan saat itu saya berpapasan dua kali dengan pick up yang ngebut di jalur yang berlawanan arah. Sumpah, kejadian itu bikin saya syok dan deg-degan.
Beruntungnya hal-hal nggak menyenangkan yang saya jumpai di Bangkalan tadi cukup terobati dengan nikmatnya rujak Madura pemberian teman saya, yang belakangan saya ketahui harganya cuma Rp5 ribu. Jadi, minimal urusan perut masih aman. Tapi tetap saja saya nggak mau ke sana lagi kalau nggak ada kepentingan. Terlalu mengerikan untuk saya yang berjiwa teletabis.
Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Lupakan Bangkalan, Lebih Baik ke Sumenep ketika Berwisata ke Madura.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.