Kedua, romantisme suasananya tidak selalu bisa didapatkan ketika makan di angkringan Jogja. Banyak yang berharap dapat nuansa yang katanya “Jogja banget”, yaitu suasana syahdu, musik keroncong, ngobrol sama orang random. Kenyataannya sebaliknya, kebanyakan angkringan cuma ramai orang makan, habis itu pulang. Tidak selalu ada momen magis seperti di cerita FTV.
Hal naif seperti itu sudah sulit ditemukan oleh kalian para wisatawan, apalagi di pusat Kota. Yang kalian temukan bisa jadi adalah misuh-misuh karena padatnya Jogja. Kemudian, karena berstatus kota wisata, yang kalian dapatkan hanya lalu-lalang sesama wisatawan yang kadang kelihatan norak dan nggak inklusif. Nggak jarang, ketika kondisi ramai, kalian para wisatawan hanya mendapat tempat duduk seadanya, bahkan duduk di pinggir jalan sambil kena asap kendaraan.
Unsur ketenangan baru bisa kalian dapatkan kalau mau menetap lebih lama di Jogja dan menjelajah ke lebih dalam sudut Jogja, misalnya di daerah Sleman, Bantul, atau sisi lain dari Gunungkidul.
Memory keeper
Ketiga, soal higienitas dan kesegaran makanan yang dijual juga patut dipertanyakan. Bukan bermaksud suudzon nih, saya beberapa kali makan di angkringan Jogja selalu mendapat masalah soal gorengan yang terlalu keras (mungkin karena sisa kemarin digoreng lagi), dan nasi bungkusnya yang sudah agak berkeringat. Jadi nggak bisa dinikmati.
Selain itu, karena angkringan ini warung yang modelnya kebanyakan open kitchen, maka makanan atau gorengannya pun banyak yang terbuka sehingga berpotensi kena debu jalanan, kadang ada lalat, dan kena polusi kendaraan yang ramai berlalu-lalang. Yang paling sering saya lihat adalah cara membersihkan alat makan yang cuma dicelup air seadanya.
Semua hal di atas membuat saya merasa bahwa angkringan Jogja adalah bukti dari romantisme berlebihan yang nggak dibarengi dengan penguatan identitas dan inovasi yang baik yang bisa mengikuti zaman. Mungkin, awalnya, terutama era sebelum adanya media sosial, angkringan Jogja memang menawarkan banyak hal yang memberikan pengalaman mental dan sosial. Tapi perkembangan zaman melunturkan identitasnya yang penuh kesederhanaan dan kearifan lokal, menjadi hanya alternatif tempat makan yang dianggap murah. Padahal bisa jadi lebih mahal.
Boleh jadi, sebelumnya angkringan Jogja adalah “memory keeper”. Banyak kisah hidup, cinta, bahkan perjuangan mahasiswa di Jogja yang bermula dan berakhir di angkringan. Ada nostalgia yang tidak semua tempat makan bisa berikan. Tapi itu dulu. Saat ini angkringan hanyalah komoditas wisata yang menurut tidak lagi istimewa. Karena toh masih banyak objek yang khas dari Jogja yang lebih bisa dinikmati.
Jadi aneh betul ada orang yang jauh-jauh ke Jogja hanya ingin nyoba makan di Angkringan. Lah wong di daerah lain juga ada.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Bakpia Jogja yang Bikin Kecewa, Wisatawan yang Mau Beli Mending Pikir Dua Kali
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















