Saya hanya mengenal nama Arswendo Atmowiloto dari buku dan media saja, tak pernah bertemu secara langsung—live atau face to face. Buku pertamanya yang saya baca adalah Mengarang Itu Gampang. Saya mendapatkan itu dari tukang buku loak di Mangga Dua, lantai dasar, sekitar tahun 2015 lalu. Waktu itu saya membeli beberapa buku, Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari, Aku karya Sjuman Djaya, dan Mengarang itu Gampang milik Arswendo Atmowiloto.
Meskipun beli di toko buku loak, ternyata harganya bukan kaleng-kaleng. Tapi karena saya butuh dan ingin, akhirnya saya membeli buku-buku tersebut, dengan sampul edisi pertama, yang kuno dan memorable. Sampul Senyum Karyamin dengan gambar seorang penambang batu muda. Sampul Aku persis kaya sampul buku Aku di film Ada Apa dengan Cinta, dan sampul Mengarang Itu Gampang karikatur Arswendo dengan ukuran kepala lebih besar dari tubuhnya yang sedang mengetik sambil nyengir.
Itulah awal saya mengenal Arswendo Atmowiloto secara sadar, mungkin sejak remaja bisa jadi saya sudah mengenal karya-karya beliau. Tapi sadar sesadar-sadarnya mengenal Arswendo memang baru beberapa tahun yang lalu. Saat membaca Mengarang Itu Gampang.
Bukunya sudah lecek, sampul plastiknya sudah sobek-sobek, dan ada halaman-halaman terakhir yang hilang. Namun esensi dan spirit yang disampaikan oleh Arswendo sampai kepada saya alhamdulillah. Di dalam buku tersebut saya seperti diajak dan mengajak ngobrol beliau.
Maklum buku Mengarang itu Gampang memang kumpulan pertanyaan dan jawaban soal seluk beluk problem menulis, mengarang dan segala yang melingkupinya. Di situ Arswendo kadang-kadang seperti bapak yang menasehati, bisa jadi teman yang kocak dan nyebelin, bisa jadi ibu yang mengayomi dan menyemangati.
Dari pembacaan buku itu, saya punya keinginan untuk bertemu dengan beliau, mau tahu bagaimana si aslinya beliau itu. Dan kesempatan itu akhirnya datang juga, awalnya sebuah pamflet dengan latar belakang merah dan sketsa wajah Arswendo. Di situ tertulis:
Acara Baru, Belum Pernah Ada, Gratis dan Tak Diulangi, Jumat 29 Juni 2018, jam 19.00, di Bentara Budaya Jakarta. Mengarang Itu Gampang; Lokakarya Arswendo Atmowiloto.
Peserta boleh bertanya apa saja dan pasti dijawab, walau jawabannya belum tentu benar (emoji ketawa).
“Memang ini acara bagus, gratis, dan tidak membuka cabang di mana pun. Sila datang. Merasa Senang. Jadi Pengarang”
Mendengar kata gratis, acara baru dan belum pernah ada. Maka pada hari itu berangkatlah saya selepas Jumatan dari Purwokerto ke Jakarta, ditemani Ka Risma (sebuah motor Honda kelahiran 2003). Berharap acara di Jakarta bisa terkejar. Karena perkiraan di Google Map 7-8 jam perjalanan.
Sampai di Subang saya mendapat kabar dari seorang kawan jika besok ada acara launching buku 70 tahun Ahmad Tohari berkarya, modyar. Sastrawan idolak sekaligus kebanggaan akan mengadakan ulang tahun pertamanya, sekaligus launching, Karang Penginyongan dan buku kumpulan esai tentang beliau. Ambyar.
Tapi tenang, mau gimana lagi ini keputusan sudah bulat, sudah memutuskan ikut lokakarya ya tetap berangkat. Tapi seperti yang sudah bisa kalian tebak sebelumnya, saya gagal untuk mengikuti keduanya. Gagal mengikuti lokakarya Arswendo, maupun ikut acara Ahmad Tohari.
Saya sampai di Jakarta pukul 22.00 molor dari target. Acara pasti sudah bubar pikir saya. Kemudian saya akhirnya rehat di POM Bensin Tanjung Priok. Sambil menulis pengalaman ke acara Arswendo dan Ahmad Tohari yang gagal, semua tinggal cerita. Hari itu saya tiduran di musala POM, hanya bisa merenung dan terpekur, berteman dengan ratusan lembing dan ratusan nyamuk, yang berisik sekali. Di sana saya menulis kata-kata ini
“Hari ini tak bisa bertemu Arswendo dan esok hari tak bisa bertemu Tohari. Begitulah hidup, terkadang tak sesuai dengan yang direncanakan.”
Saya menulis itu karena saya tak bisa tidur, bagaimana bisa tidur jika dirumbungi nyamuk banyak sekali?
Akhir Juni 2019 lalu, saya mendapatkan berita kematian Arswendo di sebuah grup WhatsApp. Tapi setelah ditelusuri ternyata berita hoax, namun beberapa minggu kemudian berita duka itu datang. Arswendo Atmowiloto berpulang dalam damai. Jumat 19 Juli 2019, Arswendo berpulang untuk selama-lamanya.
Saya belum sempat bertemu, minta tanda tangan, dan berfoto bareng. Itu penting. Dan lebih penting bukankah kita bisa terus membacai karyanya dan memahami isinya. Orang boleh mati tapi karya tetap abadi.
“Kalau aku mati, aku tak bisa minta dikremasi. Atau dibuang ke laut atau dikubur biasa. Terserah, mati bukan milikku lagi,” kata Arswendo Atmowiloto di suatu waktu dulu.
Selamat jalan guru mengarang, selamat jalan “sahabat nyebelin”, selamat jalan Arswendo.
Semoga damai di alam sana.