Gooners UIN Jakarta mengingatkan saya tentang salah satu kalimat Arsene Wenger ketika meninggalkan Arsenal. Wenger nitip pesan ke semua orang yang mencintai Arsenal: “Tolong jaga nilai-nilai yang ada di klub ini….”
Sayang sekali. Ketika fans berusaha sekuat tenaga untuk menghidupi nilai-nilai dan tradisi yang ada di klub ini, manajemen Arsenal gagal menunjukkan usaha serupa. Saya rasa, seiring waktu, nilai luhur yang dijaga dan “dikampanyekan” setiap hari itu tidak lagi ada. Nilai luhur sebuah klub bernama Arsenal sudah pupus.
Saya berusaha melacak perubahan itu dari sudut pandang Mesut Ozil. Sosok pemain yang “disingkirkan” oleh manajemen dan pelatih Arsenal, Mikel Arteta. Sudut pandang yang akan saya pakai memang sudut pandang subjektif dari seorang pemain. Artinya, ini sudut pandang pribadinya. Ketika kalimat-kalimat Ozil menemui kebenarannya, maka bisa dipastikan segala nilai luhur Arsenal memang sudah waktunya untuk diralat.
Kita tahu klub berusaha mengurangi beban gaji di neraca keuangan. Dan Ozil, pemain dengan gaji tertinggi, 350 ribu paun per pekan, adalah sasaran pertama. Apalagi, sebelum project restart dimulai, Ozil sudah “membangkang” dengan menolak pemotongan gaji. Sikap ini seperti dimanfaatkan manajemen untuk membenturkan sang pemain dengan fans.
Sikap manajemen seperti apa yang dimaksud? Manajemen Arsenal mendiamkan Ozil, bahkan mengasingkannya dari skuat. Sikap diam ini membuat segala tafsir menjadi sangat liar. Dengan diam, manajemen membiarkan fans membentuk opininya sendiri. Opini yang ternyata menyudutkan Ozil.
Sikap ini jauh dari usaha menjaga keharmonisan skuat. Dan benar saja, setelah Ozil angkat suara melalui The Athletic, kita bisa membayangkan suasana ruang ganti Arsenal yang pasti canggung dan penuh curiga. Ozil menegaskan bahwa bukan dirinya saja yang menolak pemotongan gaji. Ada pemain lain yang mengambil sikap serupa. Namun, Ozil mempertanyakan sikap publik dan manajemen yang menjadikannya satu-satunya sasaran tembak.
Ozil sendiri menegaskan dirinya siap menerima pemotongan gaji. Bahkan tidak masalah menerima pemotongan dengan nilai lebih besar ketimbang pemain lain. Yang dibutuhkan Ozil adalah kejelasan. Mau disalurkan ke mana uang itu? Sikap ini justru benar adanya dan tidak ada hubungannya dengan usaha membantu staf yang terancam karena pandemi.
Uang di dalam kontrak Ozil adalah haknya, yang disanggupi oleh klub ketika memberikan kontrak baru. Maka wajar jika dia butuh kejelasan. Apalagi, Ozil menggunakan Sebagian besar uangnya untuk aksi amal yang tidak dipublikasikan. Ketika uang gajinya dipotong, adalah hak dari karyawan untuk mendapat kejelasan. Hal ini perlu kita pahami dulu.
Sikap Ozil menemui kebenarannya ketika setelah final Piala FA, manajemen akan merumahkan 55 staf. Padahal, kebijakan pemotongan gaji sebesar 12,5 persen sebelum kompetisi berjalan ditujukan untuk mencegah perumahan staf. Artinya, manajemen ingkar janji.
“Saya bersedia gaji saya dipotong lebih besar ketimbang yang disarankan, setelah ada kejelasan. Namun, kami dipaksa segera mengambil keputusan tanpa kejelasan. Bagi siapa saja di situasi ini, berhak mendapatkan kejelasan, untuk memahami kenapa gaji kita harus dipotong dan ke mana uang itu dialokasikan,” terang Ozil.
“Situasi ini tidak adil, terutama untuk pemain muda, dan oleh sebab itu saya menolak. Saya baru saja punya anak dan punya komitmen kepada keluarga, baik di Turki, maupun di Jerman, dan kepada aksi amal yang sedang saya lakukan, juga proyek baru saya untuk membantu orang-orang di London, yang mana memang tidak dipublikasikan,” tambahnya.
“Mereka yang mengenal saya secara pribadi, pasti tahu kalau saya tidak masalah untuk berkorban. Dan sejauh yang saya tahu, bukan saya saja yang menolak pemotongan gaji. Namun, hanya nama saya yang dipublikasikan. Saya rasa, selama 2 tahun ini, ada orang-orang yang ingin menghancurkan saya, untuk membuat saya tidak bahagia, untuk mendorong sebuah agenda di mana suporter akan dibenturkan dengan saya, untuk menciptakan sebuah gambaran yang tidak benar. Mungkin, keputusan ini berefek kepada kesempatan saya bermain lagi. Saya tidak tahu. Namun yang pasti, saya tidak takut untuk memperjuangkan sesuatu yang menurut saya benar,” tegas Ozil.
Manajemen Arsenal harus menghadapi kenyataan bahwa Ozil bersikeras untuk bertahan. Jika manajemen tidak bisa menemukan solusi, citra mereka di mata fans akan semakin buruk.
Semakin buruk, terutama setelah Kia Joorabchian seakan-akan punya pengaruh yang besar kepada manajemen. Padahal, Kia hanya seorang agen. Tidak punya jabatan structural di dalam manajemen, tidak bisa urun suara, atau mengambil keputusan untuk sebuah kebijakan. Namun, Kia bisa seenak hati berbicara seakan-akan mewakili isi Arsenal.
Kia menuduh Sven Mislintat, mantan scout Arsenal, melakukan kejahatan dengan memainkan nilai kontrak beberapa pemain yang dia sarankan untuk dibeli. Tim Stillman, penulis Arseblog, berpendapat bahwa sikap ini sangat tidak terpuji. Seorang agen bisa melontarkan pendapat yang terlihat begitu “intim” dengan klub dengan level kepercayaan diri seperti ini sangat tidak baik.
Seakan-akan, Kia punya pengaruh yang sangat besar dan posisinya tidak bisa disentuh. Kita tahu, kedekatannya dengan Raul Sanllehi yang menjadi latar belakang. Sebuah kenyataan yang tidak sehat untuk Arsenal.
Saga Ozil dan posisi seorang agen yang begitu besar. Arsenal memang sudah kehilangan nilai-nilai luhur. Bahwa keharmonisan ternyata bisa disingkirkan demi menuju kemenangan. Pertanyaannya, kemenangan siapa yang akan dituju? Kemenangan Arsenal atau hanya kepuasaan dari segelintir orang saja?
BACA JUGA 8 Menit 46 Detik George Floyd Meregang Nyawa Adalah Sebuah Pengkhianatan dan tulisan Yamadipati Seno lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.