Berangkat bekerja, selain bawa bekal uang, makan siang, dan sebotol air minum di Tupperware—mohon maaf, bapak ibu, kakak adik, saudara-saudara semua, saya harus menyebut merek ini lantaran istri saya suka marah kalau Tupperware koleksinya disebut dengan sebutan kotak makan saja atau botol minum saja—saya juga bawa bekal yang lain yaitu buku bacaan untuk dibaca di KRL.
Perkara membawa buku bacaan ini bukannya saya mau sok-sokan biar dikira intelektual, kepengen cerdas, kampanye literasi, kampanye budaya membaca, dan segala macam tetek bengeknya. Saya cuma suka baca—suka aja, nggak pakai banget. Ya, hanya sekadar mengisi waktu luang yang ada. Buku saya pegang sebagai pengganti ponsel yang kalau dibuka sudah pasti media sosial.
Kalaupun harus pegang ponsel, ya ujung-ujungnya saya baca-baca artikel juga. Mojok lagi, Mojok lagi yang dibaca. Scroll ke bawah sedikit, ada Pak Tirto. Kalau begini rasanya waktu luang saya jadi lebih bermutu, ketimbang bacain status mantan yang masih galau-galau itu. Halaah, nggak mutu~
Hari ini akhir pekan, saya melihat segerombolan ibu-ibu yang rempong abis masuk ke dalam KRL membawa anaknya untuk jalan-jalan—paling-paling dari Monas. Saat itu KRL masuk stasiun Juanda. Tanpa saya sadari mereka masuk dengan riuhnya—geraknya membabi buta.
Saya merasa terganggu sih, tapi saya tetep woles aja dan melanjutkan bacaan. Tiba-tiba—tanpa saya duga—ada seorang ibu-ibu yang menegur saya. Salah satu dari rombongan itu nyeletuk, “Mas, ngapain sih baca buku di kereta—ganggu aja. Nggak tau orang lagi ribet.”
Dengan spontan saya jawab, “apa salah saya, Bu?”
“Ribet tahu nggak liatnya—sok pinter. Anak saya aja yang sekolah nggak gitu-gitu amat. Lah, Mas yang nggak sekolah masih aja megang buku.”
Saya terdiam, sambil mbatin—kok ibu ini usil banget, yah. Lalu saya melirik ke wajah ibu tersebut. Aduh ya Tuhan, mukanya judes banget. Oke, demi perdamaian dunia dan perjalanan KRL saya mengalah. Saya tutup buku itu dan memasukannya ke dalam tas.
Rasanya saya ingin marah. Harusnya saya yang terganggu, dong—dengan keriuhannya mereka. Eh ini kok, ya tanpa saya menyentuh secara fisik—dan berdasarkan penglihatan si ibuk—kok saya dibilang menganggu. Untuk mendinginkan hati, saya ambil botol minum Tupperware, lantas meminumnya—celeguk-celeguk~
Setengah dari isinya saya teguk dalam sekali tarikan nafas. Namun masih belum puas rasanya, kalau belum timpuk si ibu itu pake botol minum ini, eh maksud saya Tupperware. Tapi itu tidak akan terjadi, semata-mata demi menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, asas toleransi, dan perdamaian NKRI. Sebagai yang muda saya harus menghormati yang tua. Walaupun yang tua terkadang tidak menghargai yang muda.
Kemudian saya beralih media—tidak lain dan tidak bukan yaitu ponsel pintar. Untuk melupakan kejadian itu, saya baca-baca artikel yang melintas di beranda Facebook dan Twitter. Tapi bukan berarti saya pembaca yang rakus. Sekali lagi, semata-mata ini hanya mengisi waktu luang daripada kepoin statusnya mantan yang belum saya unfriend itu.
Aduh, gimana yah? Agaknya membaca buku di KRL memang terasa masih wagu—ribet. Apalagi kalau kereta mulai padat.
Namun sebenarnya saya tahu diri, lho. Saya pun sadar ketika KRL mulai padat, buku yang saya pegang segera saya tutup. Boro-boro mau baca buku, mau ngupil aja susah. Di saat itu juga saya langsung fokus mempertahankan diri dari desakan penumpang lain—defense mode is on!
Itu kalau kondisinya padat. Masalahnya kondisi yang saya alami ini, gerbong KRL masih lengang. Memang sih, tempat duduk terisi semua. Saya dan beberapa orang lainnya berdiri. Tapi kalau mau salto, jungkir balik, atau atraksi kuda lumping masih bisa, lho.
Jadi apa masalahnya? Ibunya nggak suka liat orag baca buku atau dia nggak suka baca—atau gimana sih? Saya mau menanyakan itu semua, tapi sudah kadung emosi—yang ada malah ribut.
Kok, tiba-tiba saya jadi teringat gerakan keReadta. KeRaedta adalah kampanye gerakan membaca buku di kereta dalam kota atau komuter yang digagas tahun lalu oleh komunitas Indorelawan dan sudah disetujui oleh PT. KCI. Si Ibu tahu nggak sih kalau ada kampanye ini?
Eh, tapi kampanyenya ini memang tidak ada beritanya lagi sekarang. Apa kabar ya?
Padahal saya bisa berdiri di KRL sambil baca buku, itu berkat kampanye tersebut, loh. Sebelum melihat kampanye itu, saya malah nggak kepikiran. Setelah melihatnya, saya jadi ikut-ikutan. Awalnya saya coba-coba, lama-lama ketagihan.
Tapi setelah kejadian ini, saya jadi berpikir dua kali. Mungkin, saya harus mengubah cara saya membaca ‘buku’. Mungkin sebaiknya saya membaca buku elektronik di aplikasi perpustakaan digital saja, ya? Saya belum pernah tuh lihat ada orang yang memainkan ponsel, seribet dan sepadat apapun kondisinya, dimarahi oleh penumpang lain.
Masalahnya, meminjam buku di perpustakaan digital yang gratis itu ada batas waktu pinjam—sekitar 3 sampai 5 hari. Dan lagi, tidak semua buku tersedia. Jadi saya merasa lebih baik membaca buku secara fisik. Terlebih lagi saya pembaca yang lamban. Buku fisik itu memberi saya kesenangan yang hakiki. Buku yang kita suka bisa menjadi koleksi.
KRL terus melaju. Berhenti di setiap stasiun—Gondangdia, Cikini, stasiun transit Manggarai, dan sampailah stasiun transit Jatinegara. Keributan terjadi lagi—rombongan ibu-ibu mulai riuh kembali. Anak-anaknya yang sedari tadi duduk dan berdiri di atas kursi sambil melihat pemandangan sepanjang perjalanan KRL, dimintanya untuk segera turun.
Saya perhatikan dengan seksama. Ternyata rombongan itu salah naik KRL. Karena tujuan mereka adalah dari stasiun Juanda ke stasiun Pasar Minggu—harusnya mereka naik KRL tujuan Bogor. Saya hampir saja kelepasan untuk tertawa. Tapi tentu rasanya tidak etis. Akhirnya saya tahan ketawa itu, tapi badan tak sanggup menahan untuk tidak menggigil karena tidak sanggup menahan tertawa. Sampai-sampai saya kentut di KRL—untungnya nggak bau.
Lantas turunlah mereka. Yes—saya keluarkan buku lagi. Lanjut membaca dan merdeka.
Merdeka!