Kontras dengan apa? Dengan realita yang kita hadapi sehari-hari, lebih-lebih ketika sudah menginjak usia kepala 2, 3 dan seterusnya, tapi belum menikah atau kalaupun sudah menikah belum punya anak. Pada masa tersebut, pertanyaan nggak penting tapi mengganggu akan selalu datang “kapan nikah?” “kok belum punya anak? nggak subur ya?” dan lain sebagainya. Tapi tentu anti-natalitas tidak hadir untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kurang penting tersebut. Kalau soal gimana menjawab pertanyaan itu, mungkin artikel “Pilih Menikah atau Melajang?” bisa menjawabnya, bahkan saat baru baca judulnya.
Oke kita kembali ke topik, anti-natalitas. Sebuah posisi filosofis kalau kata tirto.id, tapi kalau menurut saya, anti-natalitas hanya soal bagaimana memandang hidup dengan cara lain—dengan cara memikirkan bagaimana hidup orang lain yang mungkin akan menjadi sebuah akibat dari hidup kita. Seperti namanya, bicara natalitas atau kelahiran pasti nggak akan jauh-jauh dari bahasan soal anak dan orangtua—di sini eksistensi si anak diposisikan sebagai sebuah akibat dari aktivitas terdahulu dari orangtuanya—nggak perlu dijelasin lah yaa aktivitasnya apa. Anti-natalitas merupakan posisi penolakan terhadap kelahiran yang cenderung sembarangan, berpotensi menghasilkan pribadi yang tersiksa dan atau mudhorot lainnya. Dalam kondisi yang lebih ekstrem, pandangan ini berpotensi untuk menentang seluruh kelahiran karena menganggap bahwa membiarkan sebuah nyawa hidup di dunia yang serba rusak ini ialah sebuah tindakan tidak bertanggungjawab.
Tapiii, segala sesuatu yang ekstrem memang tidak pernah baik, makanya kalau kata Rasulullah dulu (aseeekk, Ramadan jadi religius gini ya) bahwa sebaik-baik perbuatan itu yang sedang-sedang saja. Benci ya nggak benci-benci amat, rindu ya nggak rindu-rindu amat—biasa aja gitu. Nah sama, kalau natalitas ini kita posisikan sebagai sebuah kehati-hatian yang membuat seseorang, eh dua orang berfikir terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk punya anak atau tidak, menurut saya justru menjadi sebuah tindakan yang baik. Nggak asal wik-wik aja terus muncul anaknya baru bilang “yaudah, titipan Tuhan ya harus diterima.” Ya iya sih titipan Tuhan, tapi Tuhan juga nitipin akal untuk kita berfikir sebelumnya, apakah iya kita siap mendapatkan anak yang katanya “titipan Tuhan itu.”
Anti-natalisme berusah untk melawan mainstream RJH (Rencana Jalan Hidup) banyak orang di Indonesia—yang kurang lebih kaya gini : sekolah-kuliah-kerja-nikah-beranak-mati—yang seolah-olah sudah paten dan tidak boleh skip satu tahap pun dan masih ditambah ada rentang usia tertentunya. Kalo 25 belum nikah dicap pemilih, 25 belum lulus kuliah walaupun udah kerja dicap males, dan sebagainya. Termasuk dalam RJH itu punya anak, sehingga sangat umum kalo udah nikah ditanyainnya “kapan punya anak?”. Seringkali karena udah tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan macam itu, pasangan kemudian menjalani promil (program hamil) yang tak lain dan tak bukan tujuannya lagi-lagi untuk menyenangkan lambe netijen. Bayangin, sebuah nyawa hanya dihargai untuk membungkam mulut dan segala prasangka netijen.
Atau misalnya keinginan punya anak supaya nanti di hari tua ada yang ngerawat, supaya bisa ngelanjutin cita-cita orangtua—supaya bisa banggain orangtua. Yakin, kalau si bayi dikasih tau sama Tuhan bahwa beban hidup dan ekspektasi yang harus ia tanggung sebanyak itu, pasti dia milih untuk nggak jadi lahir. Betapa ngeselinnya hidup di dunia yang makin lama makin rusak ini tapi masih juga dibebani dengan ekspektasi tinggi—sejak lahir. Eh, bahkan sebelum lahir.
Pernah denger orang ngomong “semoga nanti anakku bisa raih hal-hal yang dia impikan”? Atau lebih sering denger “semoga nanti anakku jadi anak yang berbakti pada orangtua, penurut, dll.” Nggak salah sih sebenarnya, kedua doa itu baik semua. Tapi saya pribadi jarang dengar yang pertama. Anak dihargai nyawanya bahkan untuk kepentingan orang tua untuk merasa dihormati. Bukan sebuah jiwa yang independen dan punya cita-cita sendiri. Akibatnya apa? Akibatnya banyak cita-cita anak yang kandas, batal berjodoh, karena keharusannya untuk “berbakti.” Menurut saya hal ini adalah sebuah kekejaman yang dibudayakan.
Anti-natalisme tidak menghendaki hubungan determinisktik seperti itu, tetapi juga bukan berarti mendorong untuk menjadi pembangkang—karena memilih membangkang atau terkekang, itu urusan masing-masing. Anti-natalisme hanya berusaha untuk membuka kesadaran kita para orangtua dan calon orangtua untuk menyadari bahwa sedari awal, keberadaan anak kita bukanlah keinginannya—ia ada akibat keputusan kita sebelumnya maka hendaknya ia juga menjadi tanggungjawab kita dan bukan sebaliknya.
Alasan paling ideal untuk memiliki anak ialah sebagai wujud cinta kasih dalam keluarga dan bukan yang lain. Sehingga jika awalnya bermula dari keinginan mewujudkan cinta kasih, pada masa selanjutnya dapat diminimalisir tuntutan-tuntutan kejam di atas. Anak bukanlah hasil dari membeli bursa saham yang labanya kita bisa nikmati pada hari selanjutnya, lebih-lebih jika masih harus diwarisi dengan hantu-hantu kegagalan masa lalu orangtua. “Melanjutkan cita-cita orangtua” katanya.
Jika hanya untuk keperluan investasi, langsung saja ke bursa saham karena anak bukanlah komoditas dagang dan dengan tegas katakan “tidak” untuk mempunyai anak jika tujuannya bukan untuk membagi kasih sayang.