Anggapan ‘yang Besar yang Salah’ dalam Kecelakaan Itu Bodoh

Anggapan 'yang Besar yang Salah' dalam Kecelakaan Itu Bodoh

Anggapan 'yang Besar yang Salah' dalam Kecelakaan Itu Bodoh (Pixabay.com)

Sudah seharusnya kita berpegang pada anggapan “yang besar yang salah” dalam kecelakaan

Beberapa hari lalu, saya menyaksikan acara di salah satu stasiun televisi yang menampilkan video seperti ini. Di jalan yang nggak begitu lebar, ada seorang pejalan kaki yang berjalan hampir ke tengah jalan. Sebab, area trotoar malah menjadi tempat parkir banyak mobil. Lalu, tiba-tiba, di belakang pejalan kaki itu, ada motor yang melaju dengan kecepatan lumayan tinggi. Terjadilah tabrakan antara motor dengan pejalan kaki itu. Untung saja, pejalan kaki itu tak mengalami luka fatal. Ia pun bangun lalu kembali berjalan

Lalu, narator dalam acara itu bertanya hal menarik kepada pemirsa: siapakah yang sesungguhnya salah sehingga mengakibatkan tabrakan itu? Pejalan kaki? Pengendara motor? Ataukah, orang yang memarkirkan mobil di area trotoar? Saya tergugah dengan pertanyaan tersebut.

Nah, dalam kehidupan masyarakat, terkadang ada anggapan “yang lebih besar yang salah” dalam menilai siapa pihak yang salah dalam kecelakaan lalu lintas. Jadi, kalo ada kecelakaan, kendaraan yang lebih besar akan menjadi pihak yang salah. Jadi, untuk menjawab pertanyaan narator tadi, dengan menggunakan anggapan tersebut, pengendara motor menjadi pihak yang salah. Jika pejalan kaki mengalami luka serius, pengendara motor diwajibkan menanggung biaya pengobatan.

Sepeda motor (Pixabay.com)

Padahal, kalo dikaji secara bijak, yang salah adalah semuanya. Pejalan kaki salah karena berjalan terlalu ke tengah, orang yang memarkirkan mobil juga salah karena secara aturan trotoar itu untuk pejalan kaki, dan pengendara motor juga salah karena tak berhati-hati mengendarai motor. Namun, kenyataannya, untuk menilai pihak yang salah, nggak sedikit orang yang menggunakan anggapan “yang besar yang salah”. Menggunakan anggapan ini malah nggak akan menyelesaikan permasalahan. Yang terjadi malah perdebatan tak penting dan perkelahian tak perlu.

Anggapan “yang besar yang salah” pun terkadang membuat pihak yang sebenarnya salah bisa menjadi pihak yang benar. Nah, beberapa bulan lalu, saya sedang mengendarai sepeda dalam kecepatan pelan. Tiba-tiba, di depan saya, ada orang menyeberang. Orang ini menyebrang tanpa melihat kanan-kiri dahulu. Ia pasti mengira jalan sedang sepi Lalu, terjadilah tabrakan. Saya lalu menghentikan sepeda. Untung saja, orang yang saya tabrak hanya mengalami luka ringan.

Orang ini lalu marah-marah kepada saya dan melontarkan kata-kata kasar. Lah, saya malah nggak ngerti dengan perilakunya. Namun, menjelaskan masalah kepada orang yang jelas-jelas salah, tapi denial itu percuma. Jadi, saya memilih jalan damai. Paham lah, jalan damai apa yang saya maksud.

Maaf jika kesan saya mengulang-ulang argumen, namun anggapan “yang besar yang salah” ini memang harusnya dihapuskan. Saya punya tiga argumen kenapa hal ini harus dihapuskan. Pertama, bikin orang bias dalam menyelesaikan masalah. Kedua, menyederhanakan masalah. Ketiga, dan yang paling utama, nggak adil sama sekali. Dan kita akan fokus pada argumen ketiga ini.

Truk muatan besar (Pixabay.com)

Begini, bagian mana yang masuk akal dari “yang besar yang salah?”

Kita bikin skenario dulu. Katakanlah, ada Mio vs Fortuner. Kecelakaan terjadi karena Mio menyalip, lalu memotong jalur Fortuner secara mendadak. Fortuner tak bisa berbuat apa-apa, sebab, mobil segede itu tentu tak mudah menghindar.

Skenario kedua, Beat vs Pajero. Beat ditabrak Pajero dari belakang karena mobil tersebut secara mendadak menyalip dari kiri dan kaget ternyata di depannya ada Beat.

Apa ya kita mau membela Mio hanya karena Fortuner lebih besar? Apa Pajero keliru semata karena bodi mobilnya yang besar? Jawabnya—jika Anda punya otak—tentu saja tidak.

Mobil gede (Pixabay.com)

Skenario tersebut memberi gambaran bahwa pengendara punya andil besar dalam kecelakaan. Pun, terkadang tak sesimpel itu. Kecelakaan, terkadang begitu kompleks, sehingga menyalahkan satu pihak atau mengkambinghitamkan kendaraan yang lebih besar adalah tindakan yang amat bodoh.

Sekarang jelas, bahwa “yang besar yang salah” dalam kecelakaan itu benar-benar tak masuk akal. Seharusnya, dalam menyelesaikan masalah ini, kita tak boleh mencari pembenaran agar masalah cepet kelar. Sebab, keadilan memang harus ditegakkan. Tidak ada yang pengin atau berniat untuk mencelakai orang, bahkan orang arogan dan punya kemampuan berkendara payah sekali pun.

Maka dari itu, sebisa mungkin, kita, juga pihak yang berwenang, menghindari cara menyelesaikan masalah dengan cara primitif seperti itu. Kalau pun harus ribet, ya nggak apa-apa, namanya menegakkan keadilan itu ya memang nggak mudah.

Penulis: Rahadian
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Honda All New Beat Boleh Jumawa karena Laris, tapi Soal Kualitas Yamaha Gear 125 Juaranya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version