Apa yang akan kamu lakukan di depan kebathilan? Melalui esainya, Terlibat di Sisi Korban Menghadapi Kebathilan Absurd: Etika PolitIk Albert Camus, Setyo Wibowo mengajak kita untuk melihat pencarian Albert Camus dalam menjawab pertanyaan tersebut. Wibowo memulai dengan menelaah posisi para tokoh dalam novel Camus, Sampar. Bagaimana posisi para tokoh saat berhadapan dengan bencana, dengan kebathilan.
Dalam novel tersebut, penduduk Kota Oran tiba-tiba dikejutkan kedatangan wabah hitam atau sampar. Kota Oran kemudian diisolasi. Dalam isolasi itu, sampar menghajar siapa saja yang kebetulan berada dalam jangkauannya. Tidak peduli anak-anak, dewasa, si miskin, atau si kaya. Sampar adalah ancaman lintas kelas, lintas umur.
Penduduk menghadapi bencana ini dengan berbagai moralitas sebagai dasar tindakan, “apa yang mesti saya lakukan”. Ada yang diam-diam mengambil keuntungan dari bencana tersebut. Ada juga yang melihat bencana sampar sebagai sarana bagi praktik ideologis dan religius. Bagi mereka ini, hadirnya bencana sampar adalah saat yang ditunggu-tunggu untuk melibatkan diri, untuk membuktikan kebenaran agama mau pun kebenaran ideologi.
Di luar itu semua, ada yang secara teguh berdiri bersama korban sampar. Ia tidak berniat mengambil keuntungan, maupun punya tendensi untuk ‘memetakan’ sampar dari kacamata ideologis atau agama. Sampar baginya adalah kondisi aktual yang harus dihadapi, tanpa peduli dari mana datangnya atau apa yang akan terjadi setelah sampar berhasil diatasi.
Yang jelas, sampar memakan korban tanpa pandang bulu. Manusia hidup yang kini, saat ini, di sini, tengah terancam sebagai korban. Si Tokoh memilih berdiri bersama korban. Dengan nyawa sebagai taruhannya, Ia mengobati para korban, mendampingi mereka, mencatat gejala-gejala, merancang vaksin penangkal sampar, mendirikan kelompok relawan, dan seterusnya. Tokoh itu bernama Dokter Rieux.
Menurut Wibowo, tokoh yang disebut terakhir ini adalah Albert Camus sendiri. Novel Sampar sendiri merupakan semacam pernyataan filsafat moral Albert Camus. Para rival Camus sering mengolok-olok moralitas semacam itu sebagai ‘moral palang merah’.
Saya tidak sedang ingin memproblematisir moralitas tersebut. Saya juga tidak ingin berdebat tentang agensi dan struktur. Jika saya nampak sedang terlibat proyek ‘menjinakkan’ Camus, saya sedang tidak ingin memikirkan itu. Ketika menulis ini, saya hanya teringat Ananda Badudu.
Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Ini fakta tak terbantahkan. Konflik multidimensi di Papua, perusahaan-perusahaan besar membakar hutan, tentara memukuli petani, kriminalisasi pejuang lingkungan, ibu-ibu kendeng dan ibu-ibu di aksi kamisan seperti sia-sia berdiri menuntuntut keadilan. Daftar masalah ini silakan perpanjang sendiri.
Sementara negara dengan oligarki bersamanya, tengah mempersiapkan paket perundangan yang jelas-jelas akan memperparah keadaan. Orang-orang yang resah mulai bersuara, namun negara abai. Api-api kecil mulai menyala di sana-sini, makin lama-makin membesar. Di Jakarta api itu menjelma gelombang demonstrasi pada 23-25 September 2019. Aparat menyambutnya dengan represif, dan karenanya korban-korban berjatuhan. Menurut kepolisian, 265 mahasiswa terluka sepanjang aksi. Ini baru yang terdata.
Apa yang akan kamu lakukan di depan itu semua?
Sebagaimana penduduk kota Orang, netizen Indonesia punya kode etik tertentu dalam menyikapi semua ini. Ada yang lebih tertarik melihat gerakan massa kali ini sebagai laboratorium sosial. Tidak ada salahnya. Ada yang sekedar menggalang solidaritas lewat tagar sambil mendukung gerakan di daerah, seperti saya. Tidak ada salahnya.
Ada juga yang tampil dengan sinisme tak berkejelasan, semangat anti-tren yang tak lebih dari semangat ‘asal tidak seperti orang banyak’. Bagi mereka ini, saat naik pasangnya kesadaran politik orang banyak adalah saat yang tepat untuk ‘asal tidak seperti orang itu’.
Ananda Badudu memilih berpihak pada gerakan mahasiswa
Saya tidak kenal Ananda Badudu sebelumnya. Baik sebagai musisi atau jurnalis atau pun aktivis. Namun pada hari-hari ini itu, saya yang tinggal jauh dari Jakarta, mengikuti peristiwa-demi peristiwa di media sosial. Sekali-sekali saya retweet hal yang saya rasa perlu. Melawan propaganda buzzer anti-demonstran. Ikut melambungkan tagar #mahasiswabergerak. Singkatnya, melakukan apa yang saya secara naif saya yakini dapat membantu mendesakkan Tujuh Tuntutan yang dapat memperbaiki keadaan.
Pada saat itulah saya melihat @anandabadudu. Ia membikin crowdfunding di Twitter. Dana ini digunakannya untuk menyuplai logistik mahasiswa, terutama medik. Saya melihat betapa responsifnya Ananda di tengah kericuhan. Lewat akunnya, ia menanyakan serta mendatangi lokasi-lokasi demonstrans yang terluka dan butuh pertolongan, memberi informasi lokasi ambulans terdekat yang disewanya dengan dana tersebut atau memberi informasi lokasi evakuasi. Pendeknya ia mengubah akun Twitter-nya menjadi semacam crisis center di tengah krisis tersebut. Kita tahu, gara-gara ini ia harus berurusan dengan kepolisian.
Semua itu ia lakukan nyaris tanpa heroisme menggebu-gebu (seperti saya, misalnya). Ia tidak sekalipun melandasi aktivitasnya dengan teori-teori sosial atau ayat-ayat dari kitab suci. Ia juga nampak tidak punya tendesi untuk memperkirakan ke mana gerakan berarah.
Yang jelas, Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Yang jelas, Tujuh Tuntutan harus dipenuhi. Yang jelas, pada saat itu, di situ, ia berbuat apa yang bisa ia perbuat: berdiri bersama mereka yang menjadi korban dalam perjuangan melawan sampar, melawan kebathilan.
Memang ada kesan naif dalam moralitas palang merah ini. Namun di saat sampar telah sampai di pintu kamarmu tanpa memberimu waktu yang cukup untuk mempelajari dan memahami apa itu ‘sampar’, apa lagi yang yang bisa kamu lakukan? (*)
BACA JUGA Indonesia Lagi Lucu-lucunya… atau tulisan Randi Reimena lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.