Membaca tulisan Mas Rizky tentang enaknya menjadi alumni UNY agaknya berbeda nasib dengan menjadi alumni Unesa. Meskipun di Surabaya sudah ada ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) dan UNAIR (Universitas Airlangga) yang lebih mentereng, alumni Unesa masih memikul beban yang tidak enteng. Banyak orang yang beranggapan bahwa kampus ini adalah kampus ternama. Padahal faktanya, ya biasa saja. Tidak jauh beda dengan kampus lain.
Hal ini saya rasakan sendiri. Dulu, saat membaca pengumuman kelulusan seleksi masuk Unesa, saya bangga tidak kepalang. Tapi setelah saya menjalani perkuliahan 4 tahun dan menjadi salah satu alumni, tak ada yang istimewa dari kampus ini sebenarnya. Masalahnya, banyak sekali orang yang yang beranggapan berkuliah di sini adalah kebahagiaan tiada tara, bahkan dianggap sebagai kesuksesan dunia. Masya Allah!
Dianggap pencetak guru berkualitas
Latar belakang Unesa sebagai mantan kampus IKIP masih sering menimbulkan kesalahpahaman. Sampai sekarang, lulusan kampus ini dipercaya secara otomatis akan berakhir menjadi seorang guru. Bahkan ini juga diyakini oleh alumni Unesa tahun 90-an sendiri. Ketika saya bercerita bahwa saya kuliah di Unesa, langsung disimpulkan, “Ooo, mau jadi guru, ya?”
Maklum sih, mereka mengenal Unesa memang sebagai kampus pencetak guru.
Hal ini berlanjut sampai kami menjadi alumni. Alumni Unesa akan menjadi sasaran lowongan kerja guru. Kadang kalau kami menolak, tak jarang kami mendapat jawaban, “Lho, kok nggak mau jadi guru?”
Ya, itu masih awalan. Belum lagi kalau ketemu dengan orang yang masih awam. Kadang akan ditambah pula dengan anggapan bahwa alumni Unesa nantinya mudah mencari kerja serta bergaji besar. Haduh!
Bayangin kalau digabung, dituntut menjadi guru yang bergaji besar! Gimana itu coba?
Baca halaman selanjutnya: Identitasnya Lidah Wetan, realitasnya Ketintang…




















