Alasan Mengapa Menjadi Mahasiswa Kupu-Kupu Itu Baik

kupu-kupu

kupu-kupu

Baik, ini hanya artikel sok-sokan ideologis. Padahal intinya cuma memelintir makna dari sebuah hadis dan dipaksakan untuk sesuai dalam konteks kemahasiswaan. Perkara anda setuju atau tidak, saya hanya melatih analogi otak saya.

Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, begitu kata hadis. Maka bila dibalik, mafhum mukhalafahnya akan menjadi: seburuk-buruknya manusia adalah mereka yang merugikan orang lain. Manfaat adalah keuntungan—bermanfaat berarti menguntungkan, untung lawannya rugi. Jadi untung adalah baik dan rugi adalah buruk. Dengan kata lain bermanfaat itu baik seperti kata hadis dan merugikan adalah buruk. Begitu logikanya.

Lalu bagaimana bila ada yang tidak bermanfaat bagi orang lain dan juga tidak merugikan orang lain? Ok, kembali ke logika. Ingat, manfaat—untung—adalah baik yang lawannya rugi adalah buruk.

Sebelumnya, bermanfaat dan merugikan bukan hanya pada orang lain, tapi juga pada diri sendiri. Bermanfaat bagi diri sendiri itu baik, bermanfaat bagi orang lain itu baik kudrat—baik2—atau dalam bahasa hadisnya adalah “sebaik-baiknya”. Makanya, perlu dipahami kembali, bisa saja makna hadis tersebut adalah bermanfaat bagi orang lain setelah bisa bermanfaat bagi diri sendiri. Bagaimana akan berbuat baik pada orang lain tapi membiarkan diri sendiri? Seperti kata pepatah, jangan menjadi lilin yang rela musnah demi menerangi orang lain. Aseeek~

Oleh karena itu, teks yang digunakan dalam hadis tersebut adalah “sebaik-baiknya”, dengan maksud lain, ada derajat kebaikan lain sebelum tingkat puncak kebaikan: “sebaik-baiknya”. Ada yang baik biasa, baik doang, ada yang paling baik (sebaik-baiknya). Maka untuk sampai ke derajat tertinggi, sebaik-baiknya, tidak boleh tidak harus menempuh derajat yang pertama, yaitu baik doang, baik biasa. Bermanfaat bagi diri sendiri dulu, baru bermanfaat bagi orang lain. Berbuat baik dulu pada diri sendiri baru berbuat baik bagi orang lain, maka kamu akan mencapai derajat paling tinggi berdasarkan hadis tersebut.

Sabaliknya, derajat keburukan itu juga bertingkat. Ada yang buruk saja, buruk doang, ada yang seburuk-buruknya, paling buruk. Rugi adalah buruk, maka merugikan diri sendiri itu buruk tingkat pertama (buruk doang, buruk saja). Begitu juga seterusnya, merugikan orang lain adalah derajat buruk yang seburuk-buruknya, buruk kuadrat (buruk2) atau yang paling buruk.

Ada manfaat (untung) ada rugi, ada baik ada buruk. Baik adalah derajat di atas buruk. Jadi bila diurutkan lagi, akan ada 5 derajat karakter manusia berdasarkan pemaknaan terhadap hadis tersebut. Pertama, orang yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Ke dua, orang yang bermanfaat bagi dirinya tapi tidak bagi orang lain, namun tidak merugikan. Ke tiga, orang yang merugikan diri sendiri tapi bermanfaat bagi orang lain. Ke empat, orang yang bermanfaat bagi dirinya tapi merugikan orang lain. Yang terakhir adalah orang yang merugikan dirinya dan juga merugikan orang lain.

Ok, blue print tingkat baik dan buruknya suatu perilaku atau pilihan sudah kita buat dengan berlandaskan sebuah hadis, idelogis banget kan. Selanjutnya, mari kita coba aplikasikan dalam kasus pilihan untuk menjadi mahasiswa ‘kupu-kupu’ (kuliah pulang – kuliah pulang).

Selama ini, propaganda yang terjadi adalah bahwa menjadi mahasiswa tidak hanya kuliah saja. Bahwa ilmu yang didapat dari bangku kuliah tidak seberapa dibanding dengan hal-hal di luar kuliah. Menurut saya sih sama saja tergantung usaha dan kemauan. Bahkan parahnya, semacam terjadi gep dan polarisasi antara mahasiswa yang hanya sekedar kuliah dengan mahasiswa yang selain kuliah juga aktif berorganisasi.

Dalam istilah antropologi mahasiswa, kita mengenal banyak sebutan dan jenis dari mahasiswa berdasarkan aktifitas dan kesibukannya. Paling tidak hal itu akan terbagi menjadi dua macam mahasiwa, antara mahasiswa ‘kura-kura’ (kuliah rapat – kuliah rapat) dan mahasiswa ‘kupu-kupu’ (kuliah pulang – kuliah pulang). Mahasiswa yang selain kuliah juga aktif berorganisasi diistilahkan dengan mahasiswa kura-kura. Seperti singkatannya, sepulang kuliah dia akan ikut rapat dan berorganisasi, begitu seterusnya. Sementara mahasiswa kupu-kupu hanya akan kuliah saja setelah itu dia pulang ke kos, kontrakan, atau rumahnya sendiri tanpa ada kesibukan lain.

Kerap kali, orang-orang memandang tipe mahasiswa kupu-kupu lebih rendah daripada mahasiswa kura-kura sebab mereka (mahasiswa kupu-kupu) hanya kuliah saja tanpa kesibukan lain. Memang, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, tapi menjustifikasi satu kelompok sebagai kelompok yang lebih rendah dari kelompok lain adalah tindakan yang tidak bisa dibiarkan.

Sekilas, tipe mahasiswa kura-kura adalah wujud atau representasi dari manusia yang bermanfaat bagi manusia lain (tingkat pertama). Dengan beroganisasi mereka memperjuangkan hak-hak dan martabat masyarakat. Melakukan kegiatan-kegiatan produktif bersama orang-orang dalam skala kelompok (organisasi). Tapi bila tidak dilakukan dengan profesionlitas yang seimbang, maka hal itu akan berimbas buruk dan akan menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain tapi merugikan diri sendiri (tingkat ke tiga dari skala baik-buruk yang sudah dijelaskan tadi). Kenyataannya, banyak mahasiswa yang aktif berorganisasi, abai dan tidak terlalu mempedulikan kuliahnya. Sehingga banyak di antara mereka yang kuliahnya molor. Idealisme memang patut diperjuangankan, tapi hal itu juga harus sesuai kondisi dan situasi. Jangan sok strong ya my lov.

Lain halnya dengan mahasiswa kupu-kupu yang sering dinilai pragmatis oleh banyak orang. Menurut saya, mahasiswa tipe kupu-kupu itu bukan lantas tidak mau berorganisasi, tapi mungkin saja mereka masih belum bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri atau mungkin keberadaannya takut merugikan orang lain. Oleh karenanya lebih baik mengurusi diri sendiri terlebih dahulu sebelum terjun untuk memberi manfaat bagi orang lain. Bermanfaat untuk diri sendiri dulu sebelum bermanfaat untuk orang lain (tingkatan ke dua).

Pilihan orang memang bermacam-macam tergantung prinsip dan kebutuhan. Semua pilihan selalu memiliki konsekuensi, bisa positif bisa negatif. Bila berorganisasi takut merugikan diri sendiri atau bahkan orang lain kenapa harus memaksa untuk bergonasisasi?

Memilih menjadi mahasiswa kupu-kupu? Kenapa tidak. Toh itu tidak buruk selama kamu bisa melakukan hal yang lebih bermanfaat untuk dirimu dan tidak merugikan orang lain. Sebaliknya, bila kiranya sudah bisa bermanfaat bagi diri sendiri, kenapa tidak, untuk bermanfaat bagi orang lain dengan cara ikut berorganisasi. Meski begitu, toh bermanfaat bagi orang lain juga tidak harus dengan mengikuti organisasi tertentu.

Yang terpenting adalah kamu tidak menjadi golongan yang terakhir, yaitu merugikan diri sendiri dan orang lain. Meski berorganisasi tapi kamu tidak serius dan malah merugikan anggota lainnya, lebih lebih melalaikan kuliahmu maka kamu sama saja merugikan dirimu sendiri dan orang lain. Begitu juga meski kamu takut keberadaanmu merugikan orang lain dalam organisasi lalu memilih menjadi mahasiswa kupu-kupu tapi kamu malah tidak serius kuliahnya dan hanya senang-senang saja menghabiskan uang, maka hal itu akan jadi sama saja. Hmmm, istighfar ya beb …

So, sudah seberapa bermanfaat dirimu bagi dirimu sendiri dan bagi orang lain?

Exit mobile version