Aksi Cepat Tanggap jadi bulan-bulanan setelah skandal mereka akhirnya terkuak
Apa saja profesi berpenghasilan 250 juta per bulan yang Anda ketahui?
Sebagai mahasiswa yang akrab dengan UMR Jogja dan bayaran menulis seadanya, saya pribadi hanya mengenal segelintir profesi yang menghasilkan gaji dua digit. Gaji tiga digit? Makin susah, apalagi yang mencapai tiga digit. Setahu saya profesi yang bisa tiga dikit itu dikit banget, seperti programmer, wirausahawan, atau perampok.
Ternyata, di zaman yang makin sulit dengan harga sembako terus melangit, kreativitas orang dalam meraup keuntungan menjadi gila-gilaan. Atau bahkan nggak perlu pusing-pusing berkreativitas, cukup mematut diri dengan citra agamis atau memposting foto korban bencana dengan copywriting tingkat tinggi agar orang-orang tergerak untuk berdonasi. Dunia memang sudah edyan, rasa-rasanya figur seperti ini memang lagi marak bermunculan.
Di antara berbagai profesi yang menjanjikan gaji ratusan juta, tak pernah terbayangkan bila menjadi petinggi di sebuah lembaga kemanusiaan bisa jadi salah satunya. Rumah gedongan, mobil mewah terbaru, hingga perjalanan dinas kualitas nomor satu. Gambaran tersebut tentu berbanding terbalik dengan gambar-gambar yang menghiasi poster di sosial media resmi lembaga tersebut: anak yang kehilangan orang tua, tangisan korban bencana, hingga kelaparan yang menyebar di medan peperangan.
Lembaga kemanusiaan tersebut adalah ACT atau, Aksi Cepat Tanggap, yang kini menjadi trending di mana-mana setelah jadi berita utama majalah Tempo keluaran terbaru dengan tagline “Kantong Bocor Dana Umat”. Ada puluhan lembar artikel liputan yang secara tersirat maupun tersurat menggambarkan betapa naif dan tidak transparannya perputaran uang donatur di lembaga yang sudah berdiri belasan tahun tersebut akibat ulah oknum petinggi.
Dimulai dari pemberian fasilitas fantastis untuk para petinggi lembaga yang terdiri dari president, senior vice president, vice president, direktur eksekutif, dan direktur berupa mobil mewah dan gaji tinggi. Dalihhnya adalah, pasang tinggi gajinya, paksa kerja habis-habisan, agar ACT bisa mempersembahkan program terbaik. Di sini saja saya sudah dibikin agak mikir dengan skala prioritas yang diatur lembaga tersebut: apakah semata-mata hanya mencari harta?
Mungkin sah-sah saja jika instansi yang menaungi memang berfokus meningkatkan laba dan mengejar dunia. Tapi, untuk sebuah lembaga yang nyata-nyata menjual agama dan janji akhirat, rasanya kok sangat kontradiktif, yha.
Sekarang mari kita lihat apakah “program-program terbaik” Aksi Cepat Tanggap benar-benar terlaksana setelah miliaran dana terkucur untuk menggaji para petinggi tersebut. Berdasarkan laporan Tempo, ternyata mlempem juga.
Salah satunya untuk proyek kemanusiaan yang bekerjasama dengan Boeing sebagai bentuk kompensasi kepada keluarga korban atas jatuhnya pesawat Lion Air 2018 silam. Dana sejumlah Rp131 miliar telah diserahkan Boeing kepada pihak ACT untuk membangun fasilitas sekolah di tempat yang ditentukan pihak keluarga korban.
Namun, eksekusi pembangunan gedung sekolah tersebut berjalan tidak maksimal. Sebab, dana yang diberikan sebagian digunakan untuk menutup program ACT lain yang mangkrak karena manajemen uang yang ugal-ugalan.
Dalam hal tersebut, poin yang bisa saya ambil hampir selalu serupa di setiap kasus penyaluran dana yang mengalami gangguan. Pihak relawan dan pengurus Aksi Cepat Tanggap daerah cenderung tidak tahu-menahu karena baik nominal donasi secara konkret dan persentase dana yang dicairkan hanya Tuhan dan pihak ACT pusat yang mengetahui.
Oleh karena itu, meski gondok setengah mati, sebagai seorang awam, saya masih menyarankan agar pengawalan kasus penyelewengan dana ACT ini tidak dilakukan dengan anarkis dan membabi buta. Sebab, tidak semua unsur karyawan dan relawan menjadi pihak yang menilep dana.
Toh pimpinannya yang disinyalir meraup keuntungan 250 juta itu sudah lengser 11 Januari silam dan diganti oleh seseorang yang katanya berkomitmen untuk membangun kepercayaan publik. Tapi, ya nggak semudah itu lah, ya. ACT harus benar-benar melakukan muhasabah, atau sekalian ganti nama dari Aksi Cepat Tanggap menjadi Aksi Cepat Tobat.
Penulis: Salma Fauziah Khairunnisa
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Betapa Ngawurnya Open Donasi Bodong dengan Mengeksploitasi Kemiskinan