Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Pojok Tubir

Ahmadiyah, Tempe Menjes, dan Kebenaran yang Dipaksakan

Suwatno oleh Suwatno
10 September 2021
A A
Sumber gambar Pixabay

Sumber gambar Pixabay

Share on FacebookShare on Twitter

Ahmadiyah kembali dirisak, dan kita kembali dipaksa menelan kenyataan yang pahit.

“Diserang, Cak, dirobohkan!!! Polisinya cuma diam. Sekarang ditangkapi.” ujar Solikin dengan nafas memburu. Ia nampak tergesa, menembus rinai hujan dengan kepala terbenam jaket jin buluk penuh emblem yang entah berapa tahun tak pernah dicuci itu.

“Duduk dulu, Kin. Siapa yang diserang? Apa yang dirobohkan?”, Solikin tidak menjawab, Ia merangsek ke dalam warung Yu Marmi. Sejurus kemudian Ia keluar dengan menenteng segelas jahe panas dan beberapa kerat tempe menjes pada piring lurik. Ia menyeruak ke dalam lingkaran forum di teras warung itu. Tak mengindahkan wajah-wajah keheranan di sana.

“Masjid umat Ahmadiyah di Sintang, Cak. Dirobohkan oleh sekelompok orang. Di depan ratusan personel polisi yang mengamankan.” Ujar Solikin diiringi seruputan wedang jahe. Mendengar itu Pardi dan Kanapi segera menyereti layar gawai, mencari informasi. Cak Narto melengos, kepalanya disandarkan pada tiang bambu warung. Tatapannya nanar menerawang. Asap yang keluar dari lubang hidungnya deras, berhamburan diterpa angin petang.

“Gimana, Cak?”

“Apanya?”

“Ya ini, tho. Penghancuran masjid Ahmadiyah ini lhooo…”

“Sudah hancur, kan? Mau diapain lagi?”

Cak Narto kembali bergeming. Air mukanya ndlewer, sejenis gombal yang digunakan untuk menutup borok. Segaris air mengembang di ujung matanya. Ia menengadah, menahan alirannya. Topik seperti ini kerap menggerogoti dirinya yang melankolis. Dan semua orang di situ tahu itu.

“Seperti nggak habis-habis ya, Cak.” Kanapi menghibur. Tak ada suara keluar dari kerongkongan temannya itu.

“Kalau menurut Sampean pangkalnya di mana, Cak? Kenapa masih saja ada kasus semacam ini di Nusantara?” Pardi ikut memancing. Jelas Ia tak nyaman dengan suasana penuh keheningan seperti itu.

“Ini karena para pemakan tempe menjes merasa bahwa tempe lain di muka bumi tak pantas dimakan. Dan para penikmat-tempe-selain-tempe-menjes harus dibabat. Dimusnahkan.” Ujar Cak Narto malas. Solikin berhenti memamah tempe di mulutnya. Ia nampak bingung. Matanya beredar. Disesapnya kembali wedang jahe, menghalau kikuk.

“Maksudnya, Cak?” Solikin penasaran.

“Kejadian seperti ini dan tragedi-tragedi kemanusiaan sejenisnya, Kin, ya karena ada orang-orang yang merasa benar lantas memaksakan kebenarannya ke orang lain.” Cak Narto menggerus kreteknya yang tinggal beberapa hisap lantas membakar satu lagi dengan cepat.

“Iya, aku tahu, Cak. Terus hubungannya sama tempe menjes ini apaaa?” kejar Solikin kesal.

“Gini, Kin. Misalnya kamu yakin, seyakin-yakinnya, bahwa tempe menjesnya Yu Marmi yang kamu makan itu terbaik, yang paling enak, yang paripurna cara memasaknya dan paling banyak gizinya, apa lantas tempe mendoan yang dijual Kang Patekur di seberang pasar itu buruk, nir-gizi, dan tak pantas dijual?”. Solikin menggeleng, menyeruput lagi Jahenya.

“Itulah yang terjadi di Sintang. Di Cikeusik dan di Sampang. Juga di tempat-tempat lain.” Nada Cak Narto tinggi. Kreteknya nyaris meluncur dari jepitan jari. “Semua orang memang berhak meyakini kebenaran, mengamalkannya, memberikan tempat istimewa dalam hati masing-masing. Tapi, kalau kebenaran yang Ia yakini mulai dipaksakan kepada orang lain…” Seolah tak butuh tanggapan kata-katanya tak dilanjutkan.

Desir bayu senja membawa tempias, membasahi sandal-sandal mereka di bawah dipan bambu.

“Tapi, Cak, kaum yang menyerang dan merobohkan masjid Ahmadiyah itu kan punya dalih, punya pembenaran, bahwa keyakinan orang-orang Ahmadiyah itu merupakan bentuk penistaan terhadap keyakinan mereka? Dan ada dalih hukumnya juga, SKB itu, Cak.” Solikin menggugat.

“Penistaan itu apa sih, Kin? Pada dasarnya setiap keyakinan itu ya menistakan keyakinan lain. Orang yang yakin bahwa tempe menjes ini yang terbaik…,” Cak Narto meraih sehelai tempe dari piring, mengangkatnya, “…diam-diam pasti menganggap tempe ini tiada lawan. Tapi, para pemakan tempe mendoan, tempe tepung, tempe orek, dan varian tempe yang lain juga punya hak yang sama: merasa bahwa tempe itu merupakan yang terbaik baginya. Dan kaum-tempe-menjes boleh saja menganggap bahwa kaum-tempe-lain menistakan keyakinannya…” Cak Narto terengah-engah.

“…kita-kita ini, yang penikmat tempe menjesnya Yu Marmi, yang yakin dan sepakat bahwa tempe ini the best, boleh saja mengolok-olok tempe mendoannya Kang Patekur, sambil haha-hihi di sini. Kaum-tempe-mendoan juga boleh melakukan hal yang sama di teras warung Kang Patekur. Menjadi tidak benar ketika, misalnya, kamu, aku, dan bedhes-bedhes ini mendatangi warung Kang Patekur sambil teriak-teriak ‘Tempe Mendoan Kang Patekur nir-gizi, tidak higienis, menyalahi hakikat penciptaan tempe, penistaan tempe menjes dan harus dibasmi!!’, lantas warungnya kita robohkan…”

Solikin tercekat. Desis air yang mendidih dari teko Yu Marmi terdengar menyayat. Bau tanah yang basah bercampur dengan bau bebumbuan dari arah dalam warung berlompatan di tengah mereka.

“Bangsa ini paling suka mengumbar jargon. Punya slogan ngedhap-ngedhapi, ‘Bhineka Tunggal Ika’, tapi urusan keyakinan aja bisa bakar-bakaran, roboh-robohan, bunuh-bunuhan…!! Ra uwis-uwis.” Gurat kesal, putus asa dan kesedihan berpilin, bergelayut di wajah Cak Narto.

“Ngggg…tapi kok bisa ya, Cak, orang-orang itu menjadi begitu barbar seketika. Maksudku, masjid itu kan ya nggak sekonyong-konyong berdiri di tengah-tengah mereka, pasti ya sudah lama. Kenapa sekarang, gitu? Apa pemantiknya sampai orang-orang itu menjadi beringas seperti itu?” Keheranan Kanapi tampak orisinal.

“Naluri kebersamaan, Pi. Collective behavior. Itu naluri purba manusia. Naluri semacam itu bekerja secara spontan, tak terstruktur, emosional, dan cenderung ndak rasional. Dan…” Cak Narto mengatur duduknya, “…ketika keyakinan kolektif atas suatu kepercayaan, dibumbui dengan narasi keterancaman oleh liyan, dan dipupuk dengan rasa curiga yang menahun itulah yang terjadi. Destruksi. Penghancuran. Penumpasan.” Penjelasannya macam betul kali ini.

“Maksudku gini, Ndes, secara naluriah, kita-kita ini ya sudah ngerti bahwa tempe-tempe itu tadi adalah keyakinan yang sifatnya personal. Privat. Dan semua kaum tempe dari berbagai varian secara purba bisa hidup harmonis seperti itu. Tapi, entah bagaimana dan siapa yang memulainya, salah satu kaum tempe ini mulai merasa terancam dengan keberadaan kaum tempe yang lain. Dan perasaan terancam itu terus dipupuk, disirami oleh entah siapa, dan dengan agenda entah apa, selama bertahun-tahun, maka itulah yang terjadi: perobohan salah satu warung penjaja tempe.”

“Walaupun…” belum tuntas rupanya kalimat itu, “…aku yakin setelah masjid Ahmadiyah itu roboh, air mata tumpah, dan trauma-trauma akhirnya terlanjur mengendap, ketika mereka sampai rumah dan kembali ke kehidupannya, dalam keheningan malam, orang-orang yang telah dengan beringas merobohkan masjid itu akan dihinggapi rasa bersalah dan bertanya-tanya ‘mengapa aku begitu tolol dan dungu?’” Cak Narto tersenyum simpul, menarik nafas dalam.

“Sebelum aku pulang nih, Cak, terus kesimpulannya apa?” Pardi berdiri, mengibaskan sarungnya, membuang abu rokok yang tak sengaja berjatuhan di sana.

“Kesimpulannya? Nggg… Tempe mendoan Kang Patekur lemes-lemes dan terlalu berminyak, kebanyakan kolesterol jahat. Dan tempe menjes Yu Marmi paling enak sedunia, apa lagi bisa dibayar seingatnya.” Ia berdiri, melongok ke dalam warung, “Yu…kopi jahe, Samsu, sama menjesnya delapan. Ngebon sik yaaa…”

Cak Narto menerobos gerimis berkerudung sarung. Berlari kecil, melompati genangan-genangan air. Di dalam warung Yu Marmi khusyuk menghadap kompor dan penggorengan, membolak-balik tempe menjes yang terapung di permukaan  minyak mendidih. Ia tak pernah peduli dengan tempe mendoan Kang Patekur.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 9 September 2021 oleh

Tags: AhmadiyahKeyakinanperusakanSKB 3 menteri
Suwatno

Suwatno

Penulis adalah bapak (muda) dengan tiga orang anak. Tinggal di Palangka Raya.

ArtikelTerkait

menganut lebih dari satu agama, mbel-Embel Garis Lucu dan Tahun-tahun yang Tidak Ramah Bagi Umat Beragama

Memperbesar Peluang Masuk Surga dengan Menganut Lebih dari Satu Agama

30 Mei 2020
Ma’ruf Amin Mau Ajarkan India Soal Toleransi, Itu Ahmadiyah Apa Kabarnya Pak?

Ma’ruf Amin Mau Ajarkan India Soal Toleransi, Itu Ahmadiyah Apa Kabarnya Pak?

6 Maret 2020
Jaga Tangan Kalian, Jangan Rusak Wikipedia!

Jaga Tangan Kalian, Jangan Rusak Wikipedia!

22 Juli 2022
konflik ahmadiyah minoritas dihina mojok

Masjid Ahmadiyah Dibakar, Prosesi Ibadah Agama Lain Dihina, Selanjutnya Apa Lagi?

7 September 2021
intoleransi

Intoleransi dan Betapa Ngerinya Ujaran Kebencian

3 September 2019
Kok Bisa Sudah Tanggal Segini tapi di Sosmed Masih Sepi Orang Berpolemik soal Natal?

Kok Bisa Sudah Tanggal Segini tapi di Sosmed Masih Sepi Orang Berpolemik soal Natal?

13 Desember 2019
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

3 Proker KKN yang Terlihat Bermanfaat, tapi Aslinya Menyimpan Persoalan Mojok.co

3 Proker KKN yang Terlihat Bermanfaat, tapi Aslinya Menyimpan Persoalan 

14 Juli 2025
4 Hal Sederhana yang Bikin Orang Semarang Kesal, Jangan Lakukan di Depan Mereka

4 Hal Sederhana yang Bikin Orang Semarang Kesal, Jangan Lakukan di Depan Mereka!

14 Juli 2025
Ambil KPR di Tanah Rantau: Sebuah Keputusan Berujung Penyesalan

Ambil KPR di Tanah Rantau: Sebuah Keputusan Berujung Penyesalan

16 Juli 2025
3 Jasa Unik yang Tidak Saya Sangka Dijual di Threads, dari Jaga Orang Sakit sampai Gendong Anak

3 Jasa Unik yang Tidak Saya Sangka Dijual di Threads, dari Jaga Orang Sakit sampai Gendong Anak

17 Juli 2025
4 Hal Sepele yang Bisa Bikin Orang Salatiga Marah

4 Hal Sepele yang Bisa Bikin Orang Salatiga Marah

13 Juli 2025
Kisah Pilu Kudus-Semarang: Macet 4 Jam Akibat Banjir Rob yang Tak Kunjung Ditangani dan Terkesan Dianggap Sepele

Kisah Pilu Kudus-Semarang: Macet 4 Jam Akibat Banjir Rob yang Tak Kunjung Ditangani dan Terkesan Dianggap Sepele

14 Juli 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=GyP2I7Gxgvg

DARI MOJOK

  • Potensi Kerja Sama Jateng dan Universiti Teknikal Malaysia Melaka (UTem), Pertukaran Pelajar hingga Bantuan Peralatan
  • 4 Penjual Ayam Geprek Red Flag yang Sebaiknya Dihindari Pembeli daripada Nyesek
  • Warga Sidoarjo Muak dengan “Jalan Neraka” Perempatan Gedangan, Hanya Bisa Ngeluh Bertahun-tahun karena Flyover Hanya Wacana
  • Dana Operasional Rp25 Juta Per RT, Angin Segar untuk Masyarakat Kota Semarang
  • Saya Malu Menjadi Orang Tasikmalaya, Kota yang Menolak Hindia karena Tuduhan Pemuja Setan tapi Membiarkan Oknum Kiai Cabul ke Santriwati
  • Pameran Flora Indonesia: Menghargai Kembali Kehadiran Tumbuhan di Kehidupan Lewat Lukisan

AmsiNews

  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.