Ahmadiyah kembali dirisak, dan kita kembali dipaksa menelan kenyataan yang pahit.
“Diserang, Cak, dirobohkan!!! Polisinya cuma diam. Sekarang ditangkapi.” ujar Solikin dengan nafas memburu. Ia nampak tergesa, menembus rinai hujan dengan kepala terbenam jaket jin buluk penuh emblem yang entah berapa tahun tak pernah dicuci itu.
“Duduk dulu, Kin. Siapa yang diserang? Apa yang dirobohkan?”, Solikin tidak menjawab, Ia merangsek ke dalam warung Yu Marmi. Sejurus kemudian Ia keluar dengan menenteng segelas jahe panas dan beberapa kerat tempe menjes pada piring lurik. Ia menyeruak ke dalam lingkaran forum di teras warung itu. Tak mengindahkan wajah-wajah keheranan di sana.
“Masjid umat Ahmadiyah di Sintang, Cak. Dirobohkan oleh sekelompok orang. Di depan ratusan personel polisi yang mengamankan.” Ujar Solikin diiringi seruputan wedang jahe. Mendengar itu Pardi dan Kanapi segera menyereti layar gawai, mencari informasi. Cak Narto melengos, kepalanya disandarkan pada tiang bambu warung. Tatapannya nanar menerawang. Asap yang keluar dari lubang hidungnya deras, berhamburan diterpa angin petang.
“Gimana, Cak?”
“Apanya?”
“Ya ini, tho. Penghancuran masjid Ahmadiyah ini lhooo…”
“Sudah hancur, kan? Mau diapain lagi?”
Cak Narto kembali bergeming. Air mukanya ndlewer, sejenis gombal yang digunakan untuk menutup borok. Segaris air mengembang di ujung matanya. Ia menengadah, menahan alirannya. Topik seperti ini kerap menggerogoti dirinya yang melankolis. Dan semua orang di situ tahu itu.
“Seperti nggak habis-habis ya, Cak.” Kanapi menghibur. Tak ada suara keluar dari kerongkongan temannya itu.
“Kalau menurut Sampean pangkalnya di mana, Cak? Kenapa masih saja ada kasus semacam ini di Nusantara?” Pardi ikut memancing. Jelas Ia tak nyaman dengan suasana penuh keheningan seperti itu.
“Ini karena para pemakan tempe menjes merasa bahwa tempe lain di muka bumi tak pantas dimakan. Dan para penikmat-tempe-selain-tempe-menjes harus dibabat. Dimusnahkan.” Ujar Cak Narto malas. Solikin berhenti memamah tempe di mulutnya. Ia nampak bingung. Matanya beredar. Disesapnya kembali wedang jahe, menghalau kikuk.
“Maksudnya, Cak?” Solikin penasaran.
“Kejadian seperti ini dan tragedi-tragedi kemanusiaan sejenisnya, Kin, ya karena ada orang-orang yang merasa benar lantas memaksakan kebenarannya ke orang lain.” Cak Narto menggerus kreteknya yang tinggal beberapa hisap lantas membakar satu lagi dengan cepat.
“Iya, aku tahu, Cak. Terus hubungannya sama tempe menjes ini apaaa?” kejar Solikin kesal.
“Gini, Kin. Misalnya kamu yakin, seyakin-yakinnya, bahwa tempe menjesnya Yu Marmi yang kamu makan itu terbaik, yang paling enak, yang paripurna cara memasaknya dan paling banyak gizinya, apa lantas tempe mendoan yang dijual Kang Patekur di seberang pasar itu buruk, nir-gizi, dan tak pantas dijual?”. Solikin menggeleng, menyeruput lagi Jahenya.
“Itulah yang terjadi di Sintang. Di Cikeusik dan di Sampang. Juga di tempat-tempat lain.” Nada Cak Narto tinggi. Kreteknya nyaris meluncur dari jepitan jari. “Semua orang memang berhak meyakini kebenaran, mengamalkannya, memberikan tempat istimewa dalam hati masing-masing. Tapi, kalau kebenaran yang Ia yakini mulai dipaksakan kepada orang lain…” Seolah tak butuh tanggapan kata-katanya tak dilanjutkan.
Desir bayu senja membawa tempias, membasahi sandal-sandal mereka di bawah dipan bambu.
“Tapi, Cak, kaum yang menyerang dan merobohkan masjid Ahmadiyah itu kan punya dalih, punya pembenaran, bahwa keyakinan orang-orang Ahmadiyah itu merupakan bentuk penistaan terhadap keyakinan mereka? Dan ada dalih hukumnya juga, SKB itu, Cak.” Solikin menggugat.
“Penistaan itu apa sih, Kin? Pada dasarnya setiap keyakinan itu ya menistakan keyakinan lain. Orang yang yakin bahwa tempe menjes ini yang terbaik…,” Cak Narto meraih sehelai tempe dari piring, mengangkatnya, “…diam-diam pasti menganggap tempe ini tiada lawan. Tapi, para pemakan tempe mendoan, tempe tepung, tempe orek, dan varian tempe yang lain juga punya hak yang sama: merasa bahwa tempe itu merupakan yang terbaik baginya. Dan kaum-tempe-menjes boleh saja menganggap bahwa kaum-tempe-lain menistakan keyakinannya…” Cak Narto terengah-engah.
“…kita-kita ini, yang penikmat tempe menjesnya Yu Marmi, yang yakin dan sepakat bahwa tempe ini the best, boleh saja mengolok-olok tempe mendoannya Kang Patekur, sambil haha-hihi di sini. Kaum-tempe-mendoan juga boleh melakukan hal yang sama di teras warung Kang Patekur. Menjadi tidak benar ketika, misalnya, kamu, aku, dan bedhes-bedhes ini mendatangi warung Kang Patekur sambil teriak-teriak ‘Tempe Mendoan Kang Patekur nir-gizi, tidak higienis, menyalahi hakikat penciptaan tempe, penistaan tempe menjes dan harus dibasmi!!’, lantas warungnya kita robohkan…”
Solikin tercekat. Desis air yang mendidih dari teko Yu Marmi terdengar menyayat. Bau tanah yang basah bercampur dengan bau bebumbuan dari arah dalam warung berlompatan di tengah mereka.
“Bangsa ini paling suka mengumbar jargon. Punya slogan ngedhap-ngedhapi, ‘Bhineka Tunggal Ika’, tapi urusan keyakinan aja bisa bakar-bakaran, roboh-robohan, bunuh-bunuhan…!! Ra uwis-uwis.” Gurat kesal, putus asa dan kesedihan berpilin, bergelayut di wajah Cak Narto.
“Ngggg…tapi kok bisa ya, Cak, orang-orang itu menjadi begitu barbar seketika. Maksudku, masjid itu kan ya nggak sekonyong-konyong berdiri di tengah-tengah mereka, pasti ya sudah lama. Kenapa sekarang, gitu? Apa pemantiknya sampai orang-orang itu menjadi beringas seperti itu?” Keheranan Kanapi tampak orisinal.
“Naluri kebersamaan, Pi. Collective behavior. Itu naluri purba manusia. Naluri semacam itu bekerja secara spontan, tak terstruktur, emosional, dan cenderung ndak rasional. Dan…” Cak Narto mengatur duduknya, “…ketika keyakinan kolektif atas suatu kepercayaan, dibumbui dengan narasi keterancaman oleh liyan, dan dipupuk dengan rasa curiga yang menahun itulah yang terjadi. Destruksi. Penghancuran. Penumpasan.” Penjelasannya macam betul kali ini.
“Maksudku gini, Ndes, secara naluriah, kita-kita ini ya sudah ngerti bahwa tempe-tempe itu tadi adalah keyakinan yang sifatnya personal. Privat. Dan semua kaum tempe dari berbagai varian secara purba bisa hidup harmonis seperti itu. Tapi, entah bagaimana dan siapa yang memulainya, salah satu kaum tempe ini mulai merasa terancam dengan keberadaan kaum tempe yang lain. Dan perasaan terancam itu terus dipupuk, disirami oleh entah siapa, dan dengan agenda entah apa, selama bertahun-tahun, maka itulah yang terjadi: perobohan salah satu warung penjaja tempe.”
“Walaupun…” belum tuntas rupanya kalimat itu, “…aku yakin setelah masjid Ahmadiyah itu roboh, air mata tumpah, dan trauma-trauma akhirnya terlanjur mengendap, ketika mereka sampai rumah dan kembali ke kehidupannya, dalam keheningan malam, orang-orang yang telah dengan beringas merobohkan masjid itu akan dihinggapi rasa bersalah dan bertanya-tanya ‘mengapa aku begitu tolol dan dungu?’” Cak Narto tersenyum simpul, menarik nafas dalam.
“Sebelum aku pulang nih, Cak, terus kesimpulannya apa?” Pardi berdiri, mengibaskan sarungnya, membuang abu rokok yang tak sengaja berjatuhan di sana.
“Kesimpulannya? Nggg… Tempe mendoan Kang Patekur lemes-lemes dan terlalu berminyak, kebanyakan kolesterol jahat. Dan tempe menjes Yu Marmi paling enak sedunia, apa lagi bisa dibayar seingatnya.” Ia berdiri, melongok ke dalam warung, “Yu…kopi jahe, Samsu, sama menjesnya delapan. Ngebon sik yaaa…”
Cak Narto menerobos gerimis berkerudung sarung. Berlari kecil, melompati genangan-genangan air. Di dalam warung Yu Marmi khusyuk menghadap kompor dan penggorengan, membolak-balik tempe menjes yang terapung di permukaan minyak mendidih. Ia tak pernah peduli dengan tempe mendoan Kang Patekur.