Memiliki pengalaman usaha fotocopy merupakan sejarah hidup yang fantastis menurut saya. Kenapa fantastis? Sebab banyak hal-hal baru di luar ekspektasi saya mengenai jadi tukang fotocopy. Memang sih saya nggak punya pengalaman sama sekali mengenai dunia percetakan, nggak kuliah di jurusan yang berhubungan dengan desain, teknik, maupun lainnya yang berhubungan dengan percetakan. Terlebih yang paling utama, yakni nggak memiliki pengalaman lebih mengenai dunia usaha. Paling mentok dapat mata kuliah kewirausahaan satu semester yang isinya cuma numpang nama dan promosi jualan saja. Padahal, asal kalian tahu, saya yang dari jurusan sosiologi ini justru memiliki visi mengkritik kapitalisme.
Justru karena nggak punya latar belakang mengenai usaha percetakan fotocopy maupun menjadi pengusaha, saya malah menemukan pengalaman unik cenderung absurd ketika sedang melayani pelanggan fotocopy.
#1 Fotocopy KTP
Sependek pengetahuan saya, fotocopy KTP itu modelnya bolak-balik layaknya bentuk KTP itu sendiri, hanya saja warnanya hitam putih. Namun, sejak jadi tukang fotocopy, saya menemui beberapa pelanggan yang meminta fotocopy KTP, tapi bagian depan dan belakang KTP ditaruh dalam satu halaman kertas fotocopy. Jadi nggak bolak-balik dan nggak perlu dipotong.
Saya sempat heran dengan model fotocopy KTP yang seperti itu, bahkan menganggap aneh pelanggan saya. Menurut saya, keanehan fotocopy KTP tersebut, selain nggak praktis karena nggak perlu dipotong seukuran KTP, tapi juga agak kurang estetis lantaran nggak mirip dengan model KTP sebagaimana mestinya.
Namun, nggak lama berselang mendapati permintaan fotocopy yang seperti itu, saya teringat pengalaman saya saat magang di bagian administrasi di sebuah instansi pemerintah. Ternyata instansi pemerintah tempat saya magang menggunakan model fotocopy KTP yang bagian depan dan belakang KTP menjadi satu halaman di kertas fotocopy. Tujuannya tidak lain untuk mempermudah melihat dua wajah KTP secara sekaligus tanpa membolak-baliknya terlebih dahulu.
Tambah lagi kebanyakan fotocopy model seperti itu tanpa dipotong, sehingga ukuran kertasnya sama dengan ukuran berkas surat lainnya. Jadi, fotocopy KTP tadi nggak mudah terselip berkas lain yang bertumpuk.
Setelah menerima permintaan fotocopy KTP satu halaman tanpa bolak-balik tersebut, secara nggak langsung memaksa saya untuk belajar lagi mengenai keterampilan fotocopy yang cukup beragam bentuknya. Lantaran nggak punya guru atau pembimbing layaknya di sekolah, maka saya belajar secara autodidak dengan melihat tutorial yang ada di YouTube.
#2 Dikira tukang foto/fotografer
Kejadian dikira tukang foto ini bermula dari saat saya memasang neon box yang bertuliskan “Canon”. Banyak pelanggan yang mengira saya tukang foto gara-gara neon box yang saya pasang. Mereka beranggapan bahwa toko yang memasang neon box bertuliskan “Canon” merupakan tukang foto.
Saya sedikit gemas dengan pelanggan yang seperti ini. Gimana nggak gemas coba? Mereka seolah-olah memukul rata bahwa neon box yang bertuliskan “Canon” itu merupakan tukang foto. Memang sih beberapa tukang foto ada yang memasang neon box bertuliskan “Canon” juga, tapi nggak berarti semua toko yang memasang neon box bertuliskan “Canon” itu merupakan tukang foto, dong!
Jadi begini, neon box yang saya pasang di depan toko saya merupakan media promosi dari salah satu produk Canon yang saya gunakan, yakni mesin fotocopy. Sedangkan, produk Canon sendiri itu banyak, nggak hanya kamera yang sering digunakan tukang foto saja.
Oleh karena itu, tolonglah jangan memukul rata toko yang memasang neon box bertuliskan “Canon” merupakan tukang foto.
#3 Disangka toko pertanian
Pelanggan yang satu ini menurut saya yang paling absurd dibandingkan sebelumnya, bahkan sukses membuat saya melongo seketika layaknya menjadi orang paling bodoh sedunia.
Jadi, saat sedang melayani pelanggan lain yang normal-normal saja, tiba-tiba datang seorang bapak yang agak terburu-buru ke toko saya. Sesampainya di depan saya, ia bertanya, “Ada pupuk padi, Mas?”
Seketika itu juga saya melongo, kemudian membalas dengan senyum, “Mohon maaf, Pak, saya nggak sedia pupuk padi. Mungkin bapak bisa ke tokonya Haji Asikin.”
Bapak itu hanya membalas, “Oalah, ya sudah kalau begitu, Mas” dan langsung pergi ke toko pertanian yang saya maksud.
Usai kejadian tersebut saya sedikit berpikir, ada apa dengan usaha fotocopy saya? Apakah usaha fotocopy saya nampak seperti toko pertanian? Apakah tumpukan kertas nampak seperti tumpukan pupuk?
Setelah memikirkan berbagai dugaan, saya baru sadar bahwa memang pada saat itu sedang lagi musim tanam padi, sehingga banyak orang mencari pupuk padi. Terlebih pada saat itu toko saya masih baru buka beberapa bulan dan masih belum dikenal banyak orang juga.
Berdasarkan beberapa pengalaman menjadi tukang fotocopy tersebut, saya memetik dua poin penting yang harus dipegang dengan teguh oleh setiap mereka yang jadi pengusaha, terutama menjadi tukang fotocopy.
Pertama, pembeli adalah raja, pembeli layaknya tamu, dan seperti sebuah pepatah “tamu adalah raja.” Sehingga, apa pun permintaan pembeli harus dilayani secara penuh. Kedua, pembeli selalu benar. Pembeli itu seperti cewek yang selalu benar, meskipun ungkapannya keliru. Oleh karena itu, jika penjual nggak mampu menuruti kebenaran pembeli, penjual harus meminta maaf atas ketidakmampuannya. Jika perlu, berikan solusi lain kepada pembeli atas permintaannya yang nggak bisa dipenuhi penjual~
BACA JUGA Nggak Ada Larangan Punya Lebih Banyak Following di Akun Instagram atau tulisan-tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.