Sepertinya stigma negatif telah mendarah daging pada pribadi seseorang ketika mendengar istilah “polisi”. Entah sebatas cerita yang beredar di masyarakat atau memang begitulah faktanya. Tapi, kita nggak bisa menilai hal itu secara subjektif bahwa setiap polisi memiliki citra negatif, toh kenyataannya masih banyak polisi baik. Mungkin pengalaman saya wawancara polisi ini bisa menjadi penilaian berbeda dalam memandang profesi penegak hukum.
Jadi gini, saya dan teman-teman LPM berangkat ke lokasi aksi 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) di Tugu Muda Semarang. Setibanya di sana, kami menjumpai beberapa massa yang tengah mempersiapkan aksi dan orasi sambil membawa flyer dan banner.
Setibanya di lokasi saya mencoba melakukan wawancara pada salah satu polisi. Namun, ia menolak dan memberi isyarat kepada saya untuk menemui komandannya langsung dan akhirnya saya memberanikan diri menemui komandan tersebut yang saat itu berada di lantai dua coffee shop Starbucks dekat Museum Mandala Bhakti.
Ketika datang menemui, saya berusaha berlagak sopan dan tenang walaupun sebenarnya hati ini menolak dan deg-degan. Bagaimana tidak, si Komandan bersama rekannya duduk melingkar, di depannya terdapat minuman berlabel Starbucks dan beberapa jenis rokok yang kalau saya beli pasti hanya sebatas ekspektasi. Mereka mirip crazy rich Asian yaaa….
Sambil memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan menemuinya yaitu untuk wawancara, Komandan tersebut mempersilakan saya untuk duduk join melingkar bersama polisi-polisi lainnya. Nah di sinilah saya mendapat pengalaman yang menggelikan dan sedikit ngawur saat berniat wawancara polisi.
Pasalnya, belum selesai menjawab pertanyaan yang saya suguhkan, salah satu rekan polisi yang juga turut duduk melingkar, seketika mengeluarkan cuan. Memberi dengan ramah uang seratusan satu lembar dengan modus buat beli kopi dan nanti kembali lagi biar lebih enak ngobrolnya.
Gobloknya saya malah mau menerima cuan tersebut dengan muka plonga-plongo kayak “kethek ketulop” kalau istilah Jawanya. Mana ada orang zaman sekarang yang tidak mata duitan, ketemu goceng di jalan aja langsung diambil tanpa pikir panjang. Apalagi ini uangnya merah yang bikin mata auto melek dan bergairah.
Akhirnya saya kembali menemui rekan-rekan di luar dan menceritakan aa yang terjadi. Mereka mengingatkan kalau seorang wartawan tidak boleh menerima suap sepeser pun di samping hal itu menyalahi kode etik jurnalistik. Tetapi, bagi saya uang seratus lumayan lah bisa buat beli minuman di Starbucks dan sisanya buat rokok satu bungkus. Wajar, orang desa tidak mampu buat beli minuman yang berlabel begituan, kopi dan rokok saja kadang joinan sama teman.
Tapi, saya menyadari memang menerima uang tersebut adalah keputusan spontan. Keputusan itu terasa makin keliru karena seharusnya saya melakukan wawancara polisi, melakukan sebuah kegiatan jurnalistik, bukan cari gratisan kopi mahal.
Uang yang sudah berada dalam saku celana tadi terpaksa saya kembalikan. Eh nggak terpaksa sih lebih tepatnya legowo memulangkan uang kepada empunya.Yang lebih menjengkelkan, ketika mengembalikan uang, saya justru ditertawakan sambil sedikit diejek, katanya ternyata saya nggak gablek duit.
Ealah Pak, Pak. Mau sih mau saya, tapi kayaknya saya agak ilfeel deh sama uang bapak. Rasanya ada yang salah gitu sama kegiatan wawancara polisi kali itu kalau saya benar-benar menerimanya. Mana itu terjadi di tengah aksi pula.
Bersamaan ketika saya hendak wawancara, kali ini wawancaranya beneran, di situlah terjadi peristiwa yang sedikit anomali. Massa yang hendak melakukan aksi terpaksa dibubarkan dan beberapa ditahan dan diamankan oleh aparat kepolisian. Ketika rekan-rekan mencoba mengonfirmasi kepada salah satu polisi ia mengatakan melakukan kegiatan berkerumun dan bergerombol yang membuat mereka ditahan.
Tetapi, alangkah anehnya kenapa para polisi yang berjaga dan mengamankan jalannya aksi juga bergerombol bahkan ada beberapa yang menyangsikan protokol kesehatan? Toh kenapa komandan polisi yang duduk enak-enakan menikmati dinginnya AC ruangan sambil menikmati sebat dan beberapa minuman tidak ikut serta mengamankan? Setidaknya memberi penjelasan lah kepada massa aksi daripada duduk santai sambil ketawa ketiwi.
Melihat tingkah para polisi rasanya ingin membantah tetapi apalah daya aing hanyalah mahasiswa semester pertama yang kalau terjadi apa-apa pasti yang khawatir mama dan papa. Walaupun sebenarnya mampu dan kuasa pastinya kalah dengan para polisi.
Nggak habis-habisnya kalau bicara mengenai kekonyolan yang terjadi ketika berniat melakukan wawancara polisi kala itu. Terkadang kita memang hanya bisa menerima suatu fenomena tanpa bisa melawan dan mengubah apa-apa. Setidaknya dari kekonyolan ini saya bisa belajar dan melatih mental untuk melakukan wawancara polisi di tengah aksi massa berikutnya.
BACA JUGA 4 Hal yang Mungkin Terjadi Ketika Jadi Anggota Keluarga Polisi