Berbicara tentang sepak bola, banyak sekali hal di dalamnya yang bisa menjadi bahan pergibahan duniawi. Mulai dari klub lawak yang langganan kena bully, tingkah federasi yang kerap memancing emosi, drama di lapangan pada jalannya laga, sampai tingkah laku fans sepak bola yang beraneka ragam.
Di antara semua komponen yang bergerak di sepak bola, suporter atau penggemar atau bahasa simpelnya adalah fans sepak bola, memiliki peran paling besar. Fans merupakan tersangka utama terjadinya berbagai drama yang meramaikan sepak bola. Selain itu, fans sepak bola adalah tulang punggung klub sepak bola untuk tetap berdiri.
Bayangkan, dari mana klub-klub ini akan mendapatkan pundi-pundi poundsterling jika fans mereka memboikot pembelian merchandise ataupun barang-barang sponsor? Kecuali jika semua pemilik klub memiliki jiwa dermawan yang kelewatan macam Sheikh Mansour dan Nasser Al-Khelaifi, tidak masalah sepertinya karena dua sultan ini sudah kebingungan bagaimana cara menghabiskan uang mereka.
Fans sepakbola juga mempunyai jenisnya sendiri. Ada yang suka koar-koar macam fans Liverpool, ada yang sombong seperti fans MU, yang pasrah layaknya fans Arsenal, ada yang setia tiada hingga seperti fans Milan, ada pula yang tiba-tiba muncul entah darimana seperti fans PSG dan Manchester City.
Biasanya, fans yang hanya memunculkan wujudnya kala klub mereka berjaya disebut glory hunter. Manusia-manusia semacam glory hunter hanya menuntut klub idolanya untuk selalu berjaya, jika berada di fase ampas mereka entah hilang kemana. Masa transisi klub seperti yang sudah dilewati Liverpool dan sedang dijalani MU cukup membantu mereka untuk menyaring mana fans yang masih setia dan mana yang masuk kategori glory hunter.
Kemudian ada juga yang disebut fans plastik. Ini tidak ada hubungannya dengan ledekan haters K-Pop ya, Gaes. Sebab, di dunia sepak bola juga tidak asing dengan istilah tersebut. Penggunaan julukan fans plastik biasanya merujuk pada mereka yang hanya menyukai sepak bola untuk eksistensi belaka. Mereka ini sebetulnya tidak terlalu paham betul dunia perbolaan.
Seperti contohnya saat jalannya laga, bukannya fokus menyaksikan pertandingan fans plastik malah sibuk memvideokan untuk kebutuhan insta story tanpa menjiwai sakralnya pertandingan itu sendiri. Ya, kalau mainnya seperti MU yang sering amburadul nggak karuan dan bikin ngantuk sih sah-sah saja, namun akan sangat bodoh apabila menyaksikan laga menegangkan masih juga memikirkan eksistensi dunia maya.
Kemunculan fans plastik bisa disebabkan oleh banyak hal. Entah mereka ingin mencari perhatian pada khalayak utamanya kaum cowok sehingga bisa dianggap sebagai anomali atau cewek yang berbeda dengan cewek lainnya, atau sekadar melihat pemain ganteng di lapangan untuk kemudian mendeklarasikan diri mencintai sepakbola dengan segenap hati. Tapi, ya terserah, itu hak mereka.
Satu lagi yang tak ketinggalan adalah fans karbit. Ini bukan karbit yang biasa digunakan dalam proses pematangan buah pisang ya, Gaes. Beda. Fans karbit identik dengan mereka yang mendukung kesebelasan yang baru berjaya.
Mereka yang sering disebut karbit biasanya datang dari pendukung klub Manchester biru dan Paris Saint-Germain. Bukan tanpa alasan sebutan fans karbit disematkan pada dua tim ini. Pasalnya mereka yang mengaku pendukung City dan PSG kebanyakan muncul di atas 2012. Berbeda kasus dengan Gallagher bersaudara, mereka tidak akan dicap sebagai karbitan karena sudah mendeklarasikan diri sebagai Cityzen jauh sebelum Sheikh Mansour menginvasi Kota Manchester.
Disebut fans karbitan tidak hanya karena kemunculan mereka yang terkesan super tiba-tiba, tapi juga latar belakang mengapa mereka menyukai klub instan tersebut. Tak ayal tudingan bahwa mereka sebenarnya tidak paham sepak bola selalu diarahkan tanpa ampun.
Menurut saya tidak ada yang salah dari semua jenis fans sepak bola selagi mereka tidak menimbulkan kekacauan yang merugikan orang lain.
Toh cara setiap orang dalam mengekspresikan kecintaan terhadap kesebelasannya selalu berbeda-beda. Ada yang dengan loyalitas tanpa batas datang langsung ke stadion, membeli pernak-pernik klub kebanggaan yang original, sampai yang rela begadang tengah malam untuk menonton siaran langsung, meskipun besoknya ada ulangan.
Begitu pun dengan latar belakang bagaimana dia tertarik dengan sepak bola. Kita tidak bisa seenaknya menilai jika fans Manchester City dan PSG adalah sekumpulan orang yang tidak paham apa itu olahraga si kulit bundar yang diperebutkan oleh 22 manusia di lapangan.
Dari yang paling sederhana, ada yang mulai mendukung klub karena faktor pemain. Seperti contohnya saya yang dulu menyukai Ronaldo hingga berakhir menjadi bucin klub medioker asal Manchester. Tapi, di sini saya cukup bangga karena kala itu, di saat banyak yang ikut CR7 menjadi dedemit, saya masih saja setia dengan klub lawak yang jaraknya belasan ribu mil dari rumah saya.
Tipe penggemar karena pemain pun ada pula macamnya. Jika sebelumnya ada yang tetap setia mendukung klub meski pemain favoritnya pindah, ada pula yang berwujud seperti teman saya. Dia tidak mempunyai klub paten untuk didukung, pokoknya ngikut saja dukung klub di mana pemain kesukaannya mencari nafkah. Singkat cerita dia seorang fans Zlatan Ibrahimovic, dari zaman menjadi Interisti, Decul, Milanisti, fans PSG yang saya juga tidak tahu apa sebutannya, terus tiba-tiba sama dengan saya menjadi pendukung MU, pindah lagi ke LA Galaxy sampai akhirnya kembali menjadi Milanisti seperti sekarang. Sungguh saya juga sulit mencerna jalan pikirannya.
Selain faktor pemain, ada lagi yang menyukai sebuah klub karena gaya mainnya. Siapa sih penggemar sepakbola awal 2010 yang tidak jatuh hati dengan gaya Tiki Taka ala Barcelona? Mereka yang baru mengenal sepak bola di tahun tersebut sudah bisa dipastikan akan menjadi barisan para Decul.
Sama kasusnya dengan generasi senior yang pertama kali melabuhkan hatinya pada klub era 90-an sampai awal abad ke-21, sebagian dari mereka pastilah memilih menjadi penggemar salah satu klub Serie-A. Sebab, di era tersebut memang Liga Italia sedang jaya-jayanya dengan Magnificent 7.
Ada pula fans sepak bola yang paling gokil seperti menyukai klub karena warna baju dan juga PS. Seperti teman saya yang satunya lagi, dia penggemar Chelsea garis keras yang ternyata awal mula suka Chelsea karena jerseynya yang berwarna biru. Jujur saja saya hampir mengumpat pada saat itu. Eh Jaenudin, kenapa nggak elu dukung aja noh Everton kek, atau Leicester City, atau apalah kan banyak klub yang pakai warna biru.
Jadi di era saat ini, saat sepak bola tidak hanya menjadi olahraga pemersatu umat, namun juga mulai merambah menjadi bisnis, tidak ada yang salah bagi mereka menyukai Manchester City, PSG, ataupun klub instan lainnya. Memang awalnya terlihat menjengkelkan dan menganggap mereka mendukung karena klub itu baru bangkit dan tidak tahu sejarah klub sepak bola tersebut. Tapi, hey, kalian pun dulunya sama seperti mereka. Mendukung klub yang sedang di puncak kejayaan. Kalian boleh sombong jika dulu mendukung dari medioker menjadi pesaing juara seperti Leicester City.
Urusan sejarah dan semacamnya bukanlah faktor awal bagi seorang bocah untuk menyukai sepak bola. Sejarah dan prestasi yang diraih oleh klub terkadang hanyalah sebuah bonus untuk semakin menguatkan keyakinan dalam mendukung klub tersebut.
Omong kosong lah menurut saya jika mereka menyaksikan pertandingan antartim kemudian langsung mencari tahu sejarah berdirinya klub yang sedang berlaga, kemudian dia mendeklarasikan diri suka karena sejarah.
Banyak cara dan motif awal yang mengantarkan mereka akhirnya menjadi fans sepak bola. Jadi tidak usah lah merasa diri paling iye, seolah-olah paling sejati sehingga merendahkan pendukung yang lain. Malu kali, Bos, diketawain sama mereka yang menonton langsung di stadion.
At the end saya hanya ingin menyampaikan, terkadang jika kita mendukung sebuah klub sepak bola itu bukan karena prestasi, label pemain, sejarah, ataupun dramanya. Melainkan karena kita merasa sebagian jiwa kita disana.
BACA JUGA Pesona Mas Aldebaran di Sinetron ‘Ikatan Cinta’ Memang Sulit Terbantahkan, Bund dan tulisan Yunita Devika Damayanti lainnya.