Setelah rutin mendengarkan Podcast, saya antusias untuk kemudian memulai bikin Podcast juga. Hasrat ini sudah saya pendam cukup lama. Namun, karena alat-alat yang mahalnya setengah mampus, saya pun tak kunjung memulainya.
Bagai menemukan mutiara di lautan yang dalam, datanglah seorang kawan saya. Kebetulan dia pengin bikin Podcast juga. Dia mengajak saya, mungkin karena background saya mahasiswa Ilmu Komunikasi dengan embel-embel Islam, dia pikir saya adalah orang yang tepat diajak bikin Podcast.
Sontak saya langsung mengiyakan ajakan. Lagipula dia bilang cuma saya yang mau diajak bikin Podcast. Nggak sampai hati saya untuk menolaknya.
Toh, saya juga memang mau bikin Podcast. Lumayan alatnya sudah tersedia. Saya tinggal cuap-cuap saja. Well, jadilah saya dan kawan saya itu bikin sebuah Podcast.
Kawan saya itu tampak bersemangat sekali bikin Podcast. Kelihatan dari keseriusan dia untuk membeli segala perlengkapan yang dibutuhkan. Mulai dari mikrofon, meja, mixer, dan perlengkapan lain yang diperlukan.
Kawan saya itu tampak semangatnya menggebu-gebu. Mungkin saja dalam benaknya bikin Podcast itu asyik. Kita bisa terkenal dan memperoleh pundi-pundi rupiah hanya bermodal cangkem. Yhaaa, memang jika dibayangkan bakal seindah itu.
Apalagi kalau kita bercermin pada kesuksesan Podcast Close The Door-nya Deddy Corbuzier, Podcast Malam Kliwon, Podcast Mendoan, BKR Brothers, hingga Podkesmas. Memang Podcast yang saya sebutkan itu golongan Podcast yang sudah punya nama. Tentu juga sudah bisa menghasilkan.
Tapi, itu mereka. Nyatanya bikin Podcast nggak seindah apa yang dibayangkan. Apalagi kalau kita bukan publik figur, bukan orang terkenal, atau minimal punya follower lebih dari seribu.
Saya dan kawan saya ini merasakan betapa susahnya mendulang audiens. Padahal, Podcast sudah saya unggah ke Spotify. Sudah saya share ke banyak media sosial pula. Tapi hasilnya nihil. Satu episode Podcast pun nggak sampai 20 pemutaran.
Bahkan, jika ditotal sampai hari ini, di Podcast yang saya dan kawan saya kelola itu, jumlah pemutarannya saja belum sampai seratus. Sedangkan episodenya sudah mencapai 10 episode.
Jelas ini bikin saya dan kawan saya bingung. Kami pun lantas mencoba mencari tahu apa yang membuat pemutaran Podcast kami masih terbilang sedikit. Sampai-sampai saya mengikuti kelas Podcast yang diadakan Kaskus.
Pengisinya Mas Bimoky dan Danu dari Podcast Malam Kliwon. Dalam kelas tersebut, Mas Bimoky dan Danu ngasih tahu tips dan trik mendulang pendengar Podcast. Saya mencoba memahami apa yang mereka sampaikan. Rencananya, saya akan mendiskusikan kembali bareng teman saya itu.
Okelah, akhirnya saya praktikkan tips-tips yang disampaikan pemandu Podcast Malam Kliwon itu. Saya dan kawan saya sudah bikin Podcast yang tema obrolannya kami pikir jarang dibahas. Kami juga bikin media sosial. Namun, hasilnya tak ada pergerakan kurva pemutaran yang signifikan.
Dari situ saya pikir bikin Podcast itu memang susah, nggak seindah dan segampang kelihatannya. Kita bisa saja punya alat-alatnya, punya konsep yang matang, serta semangat yang berapi-api. Tapi, kalau Podcast pendengarnya sedikit pakai banget, ya lama-lama semangat bikin Podcast mungkin bakal meredup juga.
Boleh-boleh saja narasumber kelas Podcast itu ngomong berbusa-busa tips dan trik mendapatkan banyak pendengar. Akan tetapi, kenyataannya lain, mendulang pendengar tak semudah mendulang bayi dengan bubur Promina. Podcast rintisan bakal kalah sama Podcast yang telah lebih dulu mengudara.
Belum lagi jika dibenturkan dengan artis, influencer, atau orang terkenal yang bikin Podcast. Orang yang bukan artis dan tak punya pengaruh apa-apa, seperti saya tak bisa berbuat banyak. Hanya dapat menunggu keajaiban Podcast saya akan viral.
Jika dibandingkan dengan blog misalnya. Satu tulisan di blog saya lebih banyak pembacanya ketimbang dua atau tiga episode Podcast saya. Dari situ saya berpikir bahwa Podcast bukan cara terbaik untuk menaikan popularitas apalagi ladang mencari nafkah. Mungkin berkarya dalam bentuk Podcast hanya cocok untuk dikonsumsi pribadi.
Sama halnya dengan YouTube. Kalau kamu orang yang terkenal atau berpengaruh, konten bentuk apa pun itu akan laris manis. Entah itu konten yang bermanfaat atau justru konten-konten yang cuma mengundang mudarat.
Selama saya mendengarkan beragam Podcast, saya mengamati, ternyata Podcast yang selalu muncul di halaman utama Spotify atau di peringkat masing-masing genre Podcast, punya nama besar di belakangnya.
Sebutlah Podkesmas yang dimotori oleh Omesh dan kawan-kawan. Atau Podcast Mendoan yang belakangan baru saya ketahui kalau si Dono adalah seorang komika. Atau Podcast Malam Kliwon, siapa sih yang nggak kenal Bimoky?
Mungkin kamu-kamu akan bilang, “Iri bilang, Buos!’ Maka saya terang-terangan akan menjawab: iya. Saya betul-betul iri pada mereka. Sebab tanpa sebuah kreativitas atau apalah-apalah itu namanya, mereka—para publik figur itu—bisa dengan mudah meraih viewers banyak.
Mereka orang-orang terkenal itu, kok, mulus banget gitu jalannya buat berkarya. Contohnya Deddy Corbuzier, saya lebih suka blio bikin video sulap, daripada Podcast. Apalagi isinya cuma wawancara dengan publik figur dengan gaya wartawan. Yhaaa, jelas bisa menarik perhatian. Lah wong yang diundang itu artis dan yang diangkat itu sisi yang belum kelihatan dari sang artis.
BACA JUGA Rekomendasi Podcast Seru yang Bisa Didengar di Sela-sela Kesibukan dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.