Penguasa remote TV di malam hari adalah emak saya. Dari zaman saya kecil sampe segede ini, doi hobi banget nonton sinetron dan bakal ngomel-ngomel kalau saya ganti salurannya. Bahkan, pas iklan sekalipun nggak boleh dipindah. Iya, seposesif itu doi sama sinetron.
Lucunya, emak saya nggak demen sinetron azab. Doi juga nggak demen sinetron pendekar-pendekar. Doi juga nggak suka yang religi-religi maupun yang lucu-lucuan kayak Preman Pensiun. Kalau ada paten seperti apa sinetron yang didemenin banget sama emak, ya pokoknya yang cinta-cintaan gitu, lah. Dulu sih gampang nentuinnya, pokoknya kalau ada Dude Herlino, Naysila Mirdad, atau Alyssa Soebandono, doi pasti bakal demen tuh sinetron. Sekarang ketika ketiga pesinetron kondang itu mulai jarang nongol di TV, saya jadi susah mengetahui secara pasti sinetron seperti apa yang doi suka.
Suatu malam saat saya pulang kampung, emak saya lagi nonton sinetron Dari Jendela SMP. Doi terlihat seneng banget sama sinetron itu. Terbukti dari beberapa kali ia kedapatan mengomentari adegan-adegannya. Pokoknya kalau udah mulai ngomentarin adegan, pasti sinetron tersebut disukai emak saya.
Setelah satu episode sinetron Dari Jendela SMP kelar, ternyata emak saya masih bertahan dan nungguin sinetron Anak Band. Iya, sinetron yang alih-alih kayak High School Musical atau Camp Rock karena ada unsur “band” di judulnya, tapi malah cinta-cintaan mulu.
Woy, anak band kan kudunya jamming seru gitu, atau seenggaknya nyanyi-nyanyi kek, itu kok malah drama-drama? Lagian Stefan William nggak keliatan kayak anak band, lebih mirip Boy dari sinetron Anak Jalanan yang saya lupa diperanin siapa. Seenggaknya, tampilan anak band itu kurang lebih kayak Mas Iqbal AR, penulis Terminal Mojok yang gondrong itu.
Oke, mari balik soal emak saya. Lantaran iseng, saya memutuskan ngobrol dan tanya alasan kenapa doi kecanduan banget sama sinetron. Dan sinetron seperti apa yang bakal doi tonton.
Sembari klekaran di amben doi menjawab, “Yang penting pemerannya ganteng-ganteng.”
Waduh, tidak saya duga sama sekali jawaban tersebut. Lantas saya mencoba mengulik lebih jauh, “Soal cerita sinetronnya sendiri gimana, Mak?”
“Ceritanya ya rata-rata gitu saja. Yang penting pemerannya. Cerita, sih, nomor sekian.” Doi mengambil pisang rebus dan memakannya sambil nungguin jeda iklan berakhir.
“Apabila dibandingkan dengan sinetron zaman dulu, bagaimana kualitas sinetron masa kini?” Saya merasa emak saya kudunya ngerti hal-hal kayak gitu, wong doi sudah menonton sinetron sejak dahulu kala.
“Lha embuh!” jawabnya dan bikin saya syok. Ternyata doi nggak tahu atau kayaknya nggak peduli tentang kualitas sinetron yang ditontonnya. “Yang penting pemerannya.” Sekali lagi itu yang ditegaskan.
“Memangnya tahu siapa pemeran sinetronnya?” Saya penasaran.
“Itu Stepen Williem sama Natasya Wilona. Mereka kan sudah sering main bareng dan sinetron yang dibintangi mereka bagus-bagus.”
“Definisi bagus itu gimana, Mak?”
“Ya yang dibintangi mereka. Koe ki mudeng ra, toh?”
Asem, muter-muter doang obrolan saya dengan emak soal sinetron. Sampai akhirnya saya punya pertanyaan lain, “Lah, sinetron Dari Jendela SMP kan yang main bukan Stefan William sama Natasha Wilona, Mak?”
“Lha iya emang bukan. Koe ki piye, toh?”
Asem, bukan gitu maksud saya. “Lah tadi kan katanya nonton karena pemerannya Stefan William sama Natasha Wilona. Lah Dari Jendela SMP kan bukan mereka berdua, kenapa emak tetep nonton?”
“Koe ki cen ra mudengan. Anak Band itu bintangnya Stepen Wiliem sama Natasya Wilona, kalau Dari Jendela SMP bukan.”
Lah itu sih saya juga tau. Lama-lama mangkel juga ngobrol sama emak kalau gitu caranya. “Terus kenapa emak suka nonton Dari Jendela SMP?”
“Soalnya sekolah-sekolah. Dari dulu kan emang suka sinetron yang anak sekolahan gitu.”
Oh iya. Itu adalah bagian yang dulu saya ingat betul dan entah bagaimana kelupaan. Emak saya emang seneng banget kalau ada sinetron yang ceritanya tentang anak sekolahan. Salah satu alasannya adalah karena emak saya nggak pernah ngerasain yang namanya SMP. SD saja emak saya nggak tamat, sama seperti semua emak-emak di kampung saya. Jadi, melihat sinetron yang ceritanya berkisar anak sekolahan, emak saya pasti membayangkan seperti apa rasanya sekolah di SMP dan SMA. Saya, yang sekolah sampai Universitas, barangkali nggak bisa bayangin seperti apa perasaan emak saya yang seumur hidupnya hanya bisa berandai-andai seperti apa rasanya sekolah.
Pun, cerita cinta di sinetron yang saya rasa aneh banget itu, mungkin tetap luar biasa di mata emak. Soalnya emak memang nggak punya pengalaman romansa seperti yang ada di sinetron-sinetron. Saya, yang bisa pacaran ke mal, nongkrong di kedai kopi, kehujanan bareng di motor, mana boleh menghakimi kesenangan emak saya itu? Jadi ya, meski saya nggak suka sinetron, mulai sekarang saya nggak bakal sewot lagi apabila emak menghabiskan waktu berjam-jam nontonin sinetron. Ah, kenapa saya malah jadi melankolis?
Tanpa saya sadari, selama saya merenung panjang tadi, sinetron Anak Band sudah berakhir. “Saya pindah ya, Mak!”
“JANGAN!” samber emak saya. “Masih ada satu sinetron lagi!”
BACA JUGA Serigala Terakhir The Series: Film Aksi yang Malah Lebih Mirip Sinetron! dan tulisan Riyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.