Banyak orang menganggap Squidward dalam animasi SpongeBob Squarepants sebagai dirinya. Bahasa gaulnya, “Gila, Squidward itu gue banget!” Apakah realita orang-orang ini sama dengan Squidward? Saya akan coba mengulasnya dalam perspektif absurdisme.
Sebelum masuk ke pembahasan, alangkah lebih baik pasang sabuk pengaman kalian kencang-kencang ya. Jangan lupa juga siapkan kopi dan beberapa camilan lainnya—karena jujur saja tulisan ini akan membuat kalian dan saya sendiri pusing tujuh keliling persegi panjang.
Absurdisme adalah suatu paham filsafat dari Albert Camus yang mempunyai pandangan bahwa usaha manusia untuk mencari arti dari kehidupan akan berakhir dengan kegagalan—dan bahwa kecenderungan manusia untuk melakukan hal itu sebagai suatu yang absurd.
Berangkat dari pengertian di atas, secara singkat, sepertinya saya sepakat bahwa kita adalah Tuan Squidward versi dunia nyata.
Kita mestinya paham Tuan Squidward ini bekerja di Krusty Krab karena terpaksa. Selama enam hari dia berangkat kerja, bertemu dengan orang-orang yang menurutnya membosankan, ditambah bos dan partner kerjanya yang menyebalkan. Setiap hari di rumah dia harus menghadapi kedua tetangganya. Dan itu terjadi berulang-ulang.
Bukankah itu sebuah kesia-siaan? Kenapa Squidward tidak resign kemudian pindah?
Di dalam buku Le Mythe de Sisyphe Albert Camus, kita akan melihat kejadian serupa. Sisifus merupakan raja yang bijak dari Korintus. Suatu hari, dia memberitahukan Asofus bahwa putrinya telah diculik oleh Zeus. Zeus pun marah atas pengaduan Sisifus, lalu mengutuknya untuk mengangkat batu hingga ke puncak gunung. Namun, ketika sampai di puncak, batu tersebut menggelinding. Sisifus harus membawanya kembali ke puncak, sampai puncak menggelinding lagi. Hal itu tiada henti, berulang-ulang.
Melihat kedua kisah tersebut, kita bisa menertawakannya dan menganggap yang dilakukan Sisifus dan Squidward adalah tindakan bodoh nan konyol. Namun, tanpa disadari, kita pun terjebak di lingkaran kesia-siaan ini. Ada yang terpaksa bekerja sampai ada yang masih berusaha mendapatkan kekasihnya lagi meskipun kekasihnya sudah berbahagia bersama orang lain (itu saya).
Di salah satu episode, Squidward pindah rumah karena sudah tidak kuat lagi oleh kelakuan tetangganya, yaitu SpongeBob dan Patrick. Di sini ia menemukan tempat yang cocok untuk dirinya—dengan rumah yang mirip seperti rumahnya yang ada di Bikini Bottom, juga para warga yang mirip dengan dirinya.
Squidward merasa nyaman berada di tempat barunya. Dia mulai bersenang-senang seperti senam, bersepeda, berjemur, dan main klarinet tanpa diganggu tetangganya. Dia melakukan itu setiap hari, sampai suatu ketika dia melakukan kesalahan hingga digeruduk massa. Di tempat ini, ternyata ada Spongebob dan Patrick yang mencari tetangganya itu. Namun, tidak ketemu. Kemudian, tiba-tiba Squidward meluncur menggunakan roket dan jatuh ke tempat asalnya: Bikini Bottom.
Hal tersebut sangat mirip dengan realita kita. Di mana kita akan mencari kesenangan sementara ketika ada yang mengganggu hidup kita, mencoba melarikan diri dari masalah—yang sebetulnya masalah itu akan tetap mengikuti hingga pada akhirnya, mau tidak mau, kita akan menghadapinya lagi. Entah gagal atau berhasil. Lebih sering gagal sih. Eh.
Pembaca yang budiman, meskipun Tuan Squidward selalu ditimpa penderitaan-kemalangan-kesialan-kesia-siaan dan lainnya, tetapi dia mengajari kita beberapa hal. Salah satunya kesabaran. Termasuk kesabaran menghadapi tetangga. Terkadang omongan tetangga memang bikin emosi. Lebih panas dari api. Lebih mematikan dari racun. Astagfirullah maaf, saya kelepasan.
Selain itu, Squidward juga memberi kita contoh baik akan sesuatu yang penting. Itu ada di dalam perkataannya, “Hari kebalikan?! Lain kali aku akan buat hari melompat dari tebing!” Apa maksudnya? Kalau saya ambil kesimpulan secara cepat, mungkin maksudnya Squidward akan mengakhiri kehidupannya, tentu saja dengan cara melompat dari tebing. Namun, kita tahu sendiri, itu tidak terjadi. Squidward masih ada dengan segala usahanya menghadapi hidup yang absurd ini.
Squidward mengajari kita—seperti kata Albert Camus di bukunya yang sudah saya singgung di awal—sebesar apa pun penderitaan yang dialami, keabsurdan hidup, kesia-siaan yang teramat dalam, mengakhirinya bukanlah sebuah solusi. Justru, kita harus memberontak, melawannya, dan hidup tanpa rasa takut.
BACA JUGA Pembangunan Jalan Raya Super Selly di Kartun SpongeBob Adalah Gambaran Buruk Investasi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.