Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Komunisme Berubah Jadi Kapitalisme kalau Soal Mengiklankan Partai

Irvan Hidayat oleh Irvan Hidayat
23 Oktober 2020
A A
Komunisme Berubah Jadi Kapitalisme kalau Soal Mengiklankan Partai terminal mojok.co

Komunisme Berubah Jadi Kapitalisme kalau Soal Mengiklankan Partai terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Citra komunisme di negara kita sudah tidak ada baik-baiknya. Narasi Orde Baru (Orba) berhasil membuat masyarakat Indonesia sangat membenci komunisme dalam hal ini adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal keduanya adalah entitas yang berbeda, komunisme adalah ideologi dan PKI adalah partai, tapi keduanya sering disatukan dalam keranjang yang sama.

Kebencian ditularkan lewat doktrin tunggal terhadap sejarah perkembangan PKI di Indonesia. Barulah setelah Orba runtuh banyak sejarawan berani menulis dengan perspektif yang berbeda dengan negara. Kendati begitu, masih banyak orang yang tutup mata, mereka ini termasuk golongan manusia yang melihat sejarah PKI secara terpisah atau tidak runtut dari awal kemunculan sampai pembubarannya. Padahal, kebencian akan menutup kemungkinan lain yang bisa dipelajari dari PKI.

Pada 2019 penulis melakukan penelitian tentang surat kabar Sinar Djawa dan Sinar Hindia edisi 1917-1918. Surat kabar tersebut adalah milik Sarekat Islam Semarang yang dikenal sebagai cikal bakal lahirnya PKI di Indonesia. Kedua koran itu sebenarnya sama, perubahan nama dari Sinar Djawa menjadi Sinar Hindia hanya menandai perubahan watak surat kabar tersebut. Singkatnya, Sinar Djawa lebih lembek sedangkan Sinar Hindia lebih keras dalam menyuarakan hak-hak pribumi.

Meski secara resmi PKI belum muncul pada 1918, ideologinya sudah menjalar ke anak-anak muda yang di dalamnya termasuk orang-orang redaksi Sinar Hindia. Bahkan mereka lah tokoh generasi awal dari PKI yaitu, Semaun dan Darsono. Saat mengkaji dengan serius lembar demi lembar koran-koran tersebut, penulis menemukan hal janggal. Kita tahu komunisme lawannya adalah kapitalisme.

Komunisme menolak adanya kepemilikan modal dan alat produksi oleh individu, melarang eksploitasi manusia akibat jam kerja dan gaji yang tidak sebanding dengan kerja yang dilakukan. Namun, alih-alih menerapkannya secara total, komunisme di masa lalu tidak seperti itu. Sinar Hindia memasang banyak iklan di halaman tengah dan halaman belakang yang isinya adalah iklan-iklan dari perusahaan mobil, sepeda, obat-obatan, dan makanan.

Menjadi hal yang kontradiktif bukan? Komunisme musuh kapitalisme, tapi dia melancarkan jalan kapitalisme melalui iklan. Apalagi generasi awal komunisme sangat kental dengan jargon “sama rata sama rasa” yang diperkenalkan Mas Marco. Awalnya penulis menduga, mungkin karena PKI belum resmi berdiri jadi hal yang demikian tidak menjadi persoalan.

Kemudian penulis berubah pikiran saat membaca koran Harian Rakyat yang diterbitkan PKI pada 1955. Di balik keberaniannya mengkritik pemerintah dan semangat yang menggelora berkampanye untuk partainya demi memenangkan Pemilu pertama 1955, ada iklan-iklan kapitalis yang bercokol di halaman tengah dan halaman belakang Harian Rakyat.

Tidak tanggung-tanggung, merek-merek terkenal seperti Vespa, Bintang Toedjoe, Anggur Kolesom Cap Lonceng, Blue band, Obat Anak Sumeng Tjap Pedang, Pomade, Anggur Beranak, dan iklan judi pun ada di koran Harian Rakyat. Iklan-iklan tersebut berbentuk gambar hitam putih dengan copywriting yang kalau kita baca sekarang bikin ketawa karena kita menganggap bahasanya jadul banget.

Baca Juga:

Desa Nglopang Magetan, Desa yang Menyimpan Sejarah Kelam Indonesia

Menonton Film Eksil sebagai Cucu Jenderal Zaman Orde Baru Bikin Hati Saya Remuk Tak Berbentuk

Iklan dari merek-merek terkenal itu adalah sebuah kontradiksi yang bikin bingung, penulis bertanya-tanya apakah ini sebuah pengkhianatan terhadap ideologi, penyesuaian diri, atau memang tidak ada jalan lain untuk mencari uang. Bukankah uang sangat penting untuk keberlanjutan hidup dari sebuah surat kabar.

Pada masa itu teknologi digital belum secanggih sekarang, media yang paling efektif adalah koran. Sementara itu, koran harus dicetak, untuk mencetak tentu butuh banyak sekali uang apalagi kalau korannya skala nasional. Biaya cetak belum termasuk dengan gaji pegawai dan redaksi, sewa gedung kantor, tagihan listrik, tagihan air, dan lain-lain.

Semuanya harus dibayar pakai uang, oleh karena itu komunisme di Indonesia telah mengalami penyesuaian atau dengan kata lain, tidak ada yang benar-benar komunis. Mungkin kita tidak akan pernah tahu hal-hal seperti ini kalau bencinya tidak beralasan, dan tidak mau belajar mencari hal-hal yang menarik dari apa yang banyak orang benci.

Tentunya Anda tidak akan menemukan yang seperti ini di buku-buku sejarah sekolah, karena tahu sendirilah di negeri ini PKI adalah hantu yang terus dipelihara untuk menebar ketakutan. Kalau teman penulis bilang semua ini serupa “gorengan yang diangetin”. Selalu laku dan banyak yang beli.

BACA JUGA Jurusan Sastra Rusia dan Stereotip Komunis yang Melekat di Dalamnya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 22 Oktober 2020 oleh

Tags: komunispki
Irvan Hidayat

Irvan Hidayat

Penulis lepas, suka bertani, masak, dan traveling ke pelosok.

ArtikelTerkait

Berbahayakah Kalau Anak PKI Bisa Jadi Tentara Terminal Mojok

Berbahayakah Kalau Anak PKI Bisa Jadi Tentara?

2 April 2022
PKI Oktober 65 mojok

Jas Merah, Baju Putih, dan Romantisisasi Kengerian PKI

30 September 2021
takhayul

Takhayul yang Masih Banyak Dipercaya: Sukanya Kok Membatasi Ruang Gerak

16 Oktober 2019
anti-kapitalisme buku kiri komunis oktober PKI Orba Lenin mojok

Kenapa Kita Butuh Membaca Buku Kiri?

2 November 2020
anti-kapitalisme buku kiri komunis oktober PKI Orba Lenin mojok

Nyatanya, Kita Tidak Lebih Baik daripada PKI

2 Oktober 2020
letnan kolonel untung pemberontakan kudeta mojok

Nasib Buntung Letnan Kolonel Untung

28 September 2020
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Alasan Orang Solo Lebih Hafal Jalan Tikus daripada Jalan Utama

Alasan Orang Solo Lebih Hafal Jalan Tikus daripada Jalan Utama

30 November 2025
Indomaret Tidak Bunuh UMKM, tapi Parkir Liar dan Pungli (Pixabay)

Yang Membunuh UMKM Itu Bukan Indomaret atau Alfamart, Tapi Parkir Liar dan Pungli

6 Desember 2025
4 Hal yang Membuat Orang Solo seperti Saya Kaget ketika Mampir ke Semarang Mojok.co

4 Hal yang Membuat Orang Solo seperti Saya Kaget ketika Mampir ke Semarang

3 Desember 2025
Nasi Goreng Palembang Nggak Cocok di Lidah Orang Jogja: Hambar!

Nasi Goreng Palembang Nggak Cocok di Lidah Orang Jogja: Hambar!

1 Desember 2025
Feeder Batik Solo Trans, Angkutan yang Bikin Iri Orang Magelang Mojok.co

Feeder Batik Solo Trans, Angkutan yang Bikin Iri Orang Magelang

2 Desember 2025
Mahasiswa UIN Nggak Wajib Nyantri, tapi kalau Nggak Nyantri ya Kebangetan

Mahasiswa UIN Nggak Wajib Nyantri, tapi kalau Nggak Nyantri ya Kebangetan

30 November 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lagu Sendu dari Tanah Minang: Hancurnya Jalan Lembah Anai dan Jembatan Kembar Menjadi Kehilangan Besar bagi Masyarakat Sumatera Barat
  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.