Siapa yang tidak trauma ketika keselamatan jiwanya terancam. Dari sekadar hampir kecelakaan, sampai terjebak dalam kerusuhan yang tidak menentu. Jangan bohong, sesangar-sangarnya Anda, pasti akan tetap deg deg serrr menghadapi situasi antara hidup dan mati. Salah satunya ketika mengikuti aksi demonstrasi.
Tidak terkecuali bagi para peserta aksi penolakan Omnibus Law. Aksi serentak pada 8 Oktober 2020 silam penuh dengan tekanan dan ancaman. Dari dentuman pelontar gas air mata, gebukan aparat, sampai terbakarnya beberapa fasilitas umum. Mungkin memar dan luka di tubuh bisa sembuh segera. Namun, trauma psikologis bisa bertahan sampai bertahun-tahun. Trauma ditolak gebetan saja bisa awet seumur hidup, apalagi trauma ditembaki gas air mata.
Dalam artikel ini, saya ingin membagikan kiat-kiat melawan trauma yang mungkin Anda alami setelah terlibat aksi penolakan Omnibus Law. Lebih dari itu, saya harap kiat-kiat ini bisa membantu Anda dalam menghadapi berbagai trauma psikologis. Dari masalah asmara, sampai luka batin akibat represi aparat.
Untuk memahami apa itu trauma, kita harus memahami bahwa setiap orang itu unik. Menurut Storr CL dalam American Journal of Psychiatry (2007; 164 (1)), karena trauma berbeda antara individu, berdasarkan pengalaman subjektif, individu akan bereaksi berbeda terhadap kejadian traumatis yang serupa. Dengan kata lain, tidak semua orang yang mengalami kejadian berpotensi trauma akan mengalami trauma.
Perlu diingat bahwa kejadian traumatis tidak hanya terjadi dalam aksi represif. Dan kemampuan menerima kejadian traumatis akan berbeda satu sama lain. Trauma masa kecil bisa menjadi momok ketika dewasa. Kejadian yang dipandang sepele oleh kebanyakan orang juga bisa menjadi trauma pada beberapa orang.
Namun, kita perlu mengingat keunikan setiap individu dalam menerima kondisi traumatis. Beberapa individu akan menggunakan jasa psikiater atau psikolog. Beberapa akan meminta bantuan kawan sekitar untuk menyembuhkan trauma. Sebagian lagi memutuskan untuk mengonsumsi substansi penenang.
Lalu, apa hubungannya dengan ego-resiliensi yang saya sebutkan di judul tulisan ini? Ego-resiliensi adalah salah satu alternatif dalam menghadapi dan menyembuhkan trauma. Ego-resiliensi menjadi alternatif paling tepat karena bisa dilakukan diri sendiri ataupun berkelompok. Dan mengamalkan ego-resiliensi ini bisa menjadi alternatif dari kecanduan substansi penenang.
Konsep ego-resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block dalam karya EC Klohnen yaitu conceptual analysis and measurement of the construct of ego-resiliency (1996). Ego-resiliensi diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Jika definisi di atas dirasa terlalu belibet (memang sih), saya bantu sederhanakan. Ketika Anda mengalami trauma, Anda terjebak dalam kondisi yang serba kaku menghadapi lingkungan. Anda bisa sangat takut dan paranoid pada hal-hal sederhana seperti suara ledakan sampai orang asing. Nah, ego-resiliensi adalah kemampuan agar Anda luwes dalam menghadapi hal-hal traumatis tadi.
Dengan keluwesan dalam menyesuaikan diri ini, diharapkan Anda tidak lagi terjebak dalam kondisi serba salah akibat trauma. Istilah sederhananya menerima kenyataan. Dan dengan kondisi menerima kenyataan ini, trauma yang Anda alami bisa berangsur-angsur berkurang. Inilah manfaat dari ego-resiliensi.
Lalu, bagaimana ego-resiliensi diterapkan? Menurut K. Reivich dan A. Shatte dalam The Resilience Factor; 7 Essential Skill For Overcoming Life’s Inevitable Obstacle (2002), resiliensi dibangun dari 7 kemampuan berbeda. Hampir tidak ada satu pun individu yang memiliki seluruh kemampuan ini dengan baik.
Kemampuan ini terdiri dari: regulasi emosi, yaitu penyaluran emosi personal; pengendalian impuls, yaitu kemampuan mengendalikan berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi traumatis; optimisme; empati; analisis penyebab masalah; efikasi Diri, yaitu membangun rasa percaya diri, dan; peningkatan aspek positif.
Kok terkesan gampang, ya? Seperti kata motivator yang hobi muncul di beranda media sosial Anda. Lah, memang gampang kok teorinya. Yang membuat sulit adalah penerapannya. Kemampuan dalam ego-resiliensi ini tidak bisa dibangun secara mendadak seperti mengesahkan Omnibus Law. Perlu geladi diri secara intens, dan mungkin melibatkan lingkungan. Terutama sesama peserta demonstrasi.
Menurut The Jane Addams Collective dalam theanarchistlibrary.org, setiap individu memiliki kemampuan ego-resiliensi dalam dirinya, sesuai dengan karakteristik dan keunikan personal. Kemampuan ini sering disebut sebagai faktor resiliensi. Dengan mengidentifikasi faktor resiliensi, maka ego-resiliensi bisa dibentuk secara individu maupun kelompok.
Mari kita mulai dari identifikasi faktor resiliensi dalam diri sendiri. Sebenarnya ada 17 faktor resiliensi individu. Namun, praktisnya dimulai dari pemaknaan setiap peristiwa yang menyebabkan trauma. Seperti saat menghadapi represi aparat. Kita bisa menemukan makna bahwa represi dari aparat adalah bukti bahwa aksi demonstrasi yang terjadi memang memberi dampak nyata.
Keteguhan hati juga merupakan faktor resiliensi. Dengan berpegang teguh bahwa demonstrasi yang dilakukan demi kebaikan bersama, kita bisa yakin bahwa kejadian traumatis adalah bagian dari perjuangan yang baik. Tetap bersikap dan berpikir positif juga membebaskan diri dari trauma pasca aksi. Percayalah, Anda sedang memperjuangkan sesuatu yang baik.
Namun, tidak ada hal terbaik dalam menghadapi trauma selain humor. Memandang kejadian traumatis dari sisi lelucon selalu bisa menerbitkan senyum dan tawa. Untuk apa terlalu overthinking menghadapi kecaman dan ancaman? Anggap saja itu bumbu kehidupan yang pantas ditertawakan. Toh, yang menyerang Anda juga bisa ikut bahagia jika Omnibus Law dibatalkan.
Pola pikir di atas adalah faktor resiliensi individu yang saya maksud. Lalu, bagaimana membangun ego-resiliensi secara kolektif? Ini lebih mudah karena melibatkan sesama demonstran yang ingin bebas dari trauma pasca aksi. Seperti kata pepatah, satu lidi mudah patah tapi segenggam lidi akan tetap bertahan.
Faktor resiliensi secara kolektif dimulai dari penerimaan pada dukungan sosial. Ingat, teman-teman Anda juga merasakan apa yang Anda rasakan. Untuk apa tenggelam dalam kekhawatiran sendiri, jika Anda memang tidak sendiri. Bukalah diri kepada dukungan teman-teman Anda. Jika perlu, carilah dukungan dari lingkungan Anda. Tapi Anda jangan terjebak budaya adu nasib ya, Mylov.
Curhat juga merupakan faktor resiliensi. Dengan bercerita kepada orang yang tepat, Anda bisa membebaskan pikiran dari tekanan dan trauma saat demo. Anda juga bisa membangun ikatan dan interaksi dengan sesama demonstran. Siapa lagi yang bisa memahami trauma Anda selain mereka yang ikut merasakan peristiwa yang sama?
Hal tersebut adalah faktor resiliensi secara kolektif. Gampang, kan? Mungkin Anda sudah mengamalkan poin-poin di atas. Jika sudah, selamat! Anda telah dalam proses membebaskan diri dari trauma pasca aksi.
Namun, melawan trauma sering diremehkan bahkan diabaikan. Padahal, menjaga kesehatan mental dari trauma berdampak positif di masa depan. Jangan lupa, penolakan Omnibus Law bukanlah puncak kehidupan kita. Hidup masih harus berlanjut sampai akhir.
Jadi, tetaplah menjaga kesehatan, terutama kesehatan mental. Selamat memperingati hari kesehatan mental internasional, dan selamat melawan undang-undang yang menyebalkan.
BACA JUGA Menertawakan Buzzer Pendukung UU Cipta Kerja Adalah Kemewahan Terakhir Kita Bersama dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.