7 Oktober 2020. Pagi hari, pukul 06.00 WIB, buruh pabrik PT Chang Shin Reksa Jaya menggelar aksi menolak pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja. Aksi diorganisir Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan Serikat Pekerja Jaya Mandiri (SPJM). Aksi ini berlangsung ramai di depan pabrik. Ribuan buruh mogok kerja dan memblokade jalur utama Garut-Bandung via Kecamatan Leles.
Meski diorganisir serikat buruh, saya menemukan sejumlah buruh nonserikat ikut bergabung. Salah satunya adalah Taufik. Ia mengatakan, ini aksi terbesar sepanjang didirikannya pabrik tersebut.
PT Changshin Reksa Jaya merupakan pabrik terbesar di Kabupaten Garut yang memproduksi sepatu. Ada 10 ribu buruh bekerja di sana. Mayoritas gender dari 10 ribu buruh itu adalah perempuan. Buruh-buruh perempuan ini ikut berorasi ketika demo berlangsung.
Kepada Taufik saya bertanya, apa keresahannya dan kawan-kawan sehingga ikut demo? Padahal mereka bukan bagian dari serikat.
“Sebab saya merasa UU ini merugikan, jadi saya dan kawan-kawan emang harus turun aksi. Tidak ada ajakan atau paksaan dari siapa pun, tetapi murni dari saya pribadi ingin ikut menyuarakan bahwa UU ini merugikan buat saya.”
“Bagaimana respons manajemen pabrik?” tanya saya lagi.
“Respon mereka hanya mengingatkan kepada kami bahwa kami harus ingat tanggung jawab masing-masing. Jangan sampai karena ikut aksi, lalu lupa sama tanggung jawab.”
“Saya mendengar ketika manajemen pabrik menemui massa aksi, mereka berjanji tidak akan ada karyawan yang di-PHK serta sistem kontrak akan dihilangkan. Apakah karyawan nonserikat percaya dengan janji itu?”
“Yang disampaikan manajemen pabrik itu datangnya dari PKB (Perjanjian Kerja Bersama) dengan karyawan serta serikat-serikat lainnya. Nah, mungkin yang disampaikan oleh mereka masih berpatokan dari situ, dari UU (Tenaga Kerja) yang lama. Saya tidak tahu bakal diubah atau tidak (setelah ada UU Cipta Kerja).”
“Selama pihak PT Chang Shin kan tidak mem-PHK pekerja dan pekerja yang hamil pun masih dapat cuti melahirkan?”
“Sekarang faktanya tidak ada yang di-PHK. Juga ibu hamil masih dapat cuti melahirkan. Lalu karyawan, masih berstatus karyawan tetap. Udah sesuai ucapan. Tapi kan itu sebelum adanya UU Cipta Kerja. Nah, kami takutnya setelah UU Cipta Kerja ini fiks, tiba-tiba pabrik ikut berubah gitu aturannya.”
“Apakah kalian akan melakukan aksi lain yang lebih besar lagi?”
“Ya, karena emang sekarang udah disahkan nih UU, ya kami bakal nuntut sesuai yang kami lakukan sekarang. Melakukan mogok kerja, besok melakukan aksi ke depan gedung DPRD, karena kami sangat-sangat tidak setuju oleh RUU Cipta Kerja ini.”
“Harapan kalian sendiri terhadap pihak manajemen pabrik? Karena UU Cipta Kerja sudah disahkan, apa bermaksud ngasih masukan, semacam ‘Udah lah, ngikut PKB yang lama aja’?”
“Benar. Harapan yang kami pengin mah ke pihak manajemen, ya udah lah tetap menggunakan aturan PKB yang lama. (Buruh) masih berstatus karyawan tetap, ada cuti melahirkan, tidak harus sama dengan UU yang ada (UU Cipta Kerja). Udah lah, saya berharap pabrik kami mah patokannya PKB lama aja gitu. Kami kecewa banget jika pabrik menggunakan UU (baru) ini.”
Butuh waktu tujuh jam sampai aksi mereka direspons manajemen pabrik. Itu pun setelah Bupati Garut Rudy Gunawan datang menemui massa aksi. Saya pikir alasan Bupati menemui demonstran karena aksi ini merupakan salah satu aksi paling besar sepanjang sejarah kota kami. Terlebih, berita aksi memang sudah viral di media lokal dan nasional.
Saya tidak tahu apa yang disampaikan Rudy Gunawan. Di depan massa aksi, ia tampak gugup dan hanya berbicara sekitar lima belas menit lalu pulang. Memang tidak jelas maksud kedatangannya. Saya bertanya kepada salah satu peserta aksi yang paling depan, jawaban mereka: tidak jelas.
Keesokan harinya, Kamis, 8 Oktober, massa aksi kembali berkumpul di depan gedung DPRD Kabupaten Garut. Selain karyawan PT Chang Shin Reksa Jaya, ada aliansi mahasiswa Garut yang bergabung.
Saya menangkap dua poin tuntutan aliansi mahasiswa Garut ke DPRD. Pertama, mereka mendesak DPRD Kabupaten Garut menyatakan sikap penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Kedua, mendesak DPRD Kabupaten Garut membuat surat pernyataan penolakan UU Cipta Kerja.
Saya bertanya kepada Rifki, salah satu pengunjuk rasa, mengapa ia bergabung dalam aksi ini.
“Bahwasannya ada kejanggalan regulasi yang ada di dalam poin-poin omnibus law ini. Pertama, omnibus law ini hanya mementingkan para investor dengan dalih perizinan ketenagakerjaan asing dipermudah. Kedua, regulasi omnibus law ini tidak sama sekali berpihak kepada rakyat kecil terutama buruh,” jawab Rifki.
“Alasan kami melakukan demonstrasi dikarenakan hak-hak rakyat kecil dikebiri oleh para korporat yang mengatasnamakan Dewan Perwakilan Rakyat, dan rakyat hanya dijadikan monopoli demi kepentingan oligarki,” tambahnya.
Beberapa mahasiswa lain dari Universitas Garut dan STIE Yasa Anggana ikut berdemonstrasi karena orang tua mereka adalah buruh. Kata mereka sih, orang tua mendukung. Sedangkan sejumlah siswa STM yang juga hadir beralasan sedang memperjuangkan masa depan mereka.
Dari aksi Kamis ini, sepuluh anggota DPRD Kabupaten Garut menerima aspirasi demonstran dan menandatangani penolakan UU Cipta Kerja untuk nantinya disampaikan kepada DPR RI. Dari pemerintah daerah, Wakil Bupati Garut Helmi Budiman ikut menandatangani juga.
BACA JUGA Sok Edgy di Tengah Isu Omnibus Law biar Apa, Bos? dan tulisan Muhammad Ridwansyah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.