Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Panduan Memahami Toxic Masculinity, Waham yang Merugikan Laki-laki dan Perempuan

Dewi Perceka Sari oleh Dewi Perceka Sari
6 September 2020
A A
panduan memahami toxic masculinity feminin maskulin ketimpangan gender mojok.co

panduan memahami toxic masculinity feminin maskulin ketimpangan gender mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Bagi penonton channel YouTube Deddy Corbuzier, pasti sudah tahu beberapa waktu lalu Om Deddy mengundang Ivan Gunawan ke acaranya. Video yang ditonton jutaan orang itu langsung menjadi trending topic di Twitter. Penyebabnya, Ivan Gunawan melontarkan kata-kata yang dianggap sudah melunturkan toxic masculinity (maskulinitas beracun) yang ada selama ini.

Sebenarnya apa sih toxic masculinity? Sebelum menjawab itu, kalian pasti pernah mendengar kata maskulin dan feminin. Maskulin diidentikkan dengan bagaimana seseorang bersikap rasional, berani, tangguh, kuat, dan mendominasi. Sedangkan feminin diidentikkan dengan sifat penyayang, sabar, keibuan, dan pesolek. Sebetulnya setiap manusia mempunyai kedua sisi tersebut, maskulin dan feminin. Tapi, sering kali maskulin dan feminin ini dipisahkan dan dianggap sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.

Seperti yang dikatakan Ivan Gunawan di podcast Deddy tersebut, kadang orang terlalu mengotak-ngotakkan antara perempuan dan laki-laki berikut karakter yang melekat padanya. Laki-laki dianggap hanya memiliki sisi maskulin dan perempuan hanya memiliki sisi feminin. Padahal kita semua punya kedua sisi itu dalam kadar berbeda-beda.

Tanpa disadari, sebenarnya praktik mengotak-ngotakkan ini sudah terjadi semenjak kita masih kecil. Laki-laki dipilihkan warna biru, sedangkan perempuan dipilihkan warna merah muda ketika masih bayi. Akhirnya sampai dewasa, laki-laki dan perempuan jadi punya warna khusus yang seolah tidak boleh dilanggar. Perempuan yang memakai warna-warna bold, dikritik dan disuruh memakai warna-warna cerah supaya lebih menunjukkan identitas keperempuanannya. Begitu juga dengan laki-laki, kalau ada yang memakai baju warna merah muda, auto dikata-katain.

Padahal pengotak-kotakan itu adalah hal baru. Dalam kasus warna identik gender saja misalnya, sebelum Perang Dunia I, justru warna merah mudalah yang lebih sering digunakan untuk anak laki-laki, sedangkan biru untuk anak perempuan. Mengenai pakaian laki-laki pun, di sejumlah kebudayaan, sampai saat ini masih ada para pria yang memakai tunik, terusan mirip daster itu. Ini belum bicara banyak contoh lain, seperti penggunaan riasan pada laki-laki.

Pengotak-kotakan diikuti “disiplin gender” ini diteruskan pada penertiban perilaku. Saya masih ingat betul, sewaktu kecil saya bermain bola dan memanjat pohon bersama sepupu, selalu ada orang yang mengatakan, “Anak perempuan kok kayak begitu tingkahnya.”

Bermain bola, layangan, dan memanjat pohon menjadi wilayah terlarang bagi anak perempuan. Tapi anak laki-laki juga ditabukan memainkan boneka dan masak-masakan. Kalau kalian ingat, beberapa waktu lalu ada kejadian yang ramai banget di twitter. Jadi, ada seorang ibu yang membuang peralatan merajut anak lelakinya. Oleh si ibu, merajut dianggap kegiatan atau permainan anak perempuan. Ibu itu ingin anaknya bermain bola dan layangan seperti anak laki-laki pada umumnya.

Padahal, menjahit, menyulam, merajut, dan merias bukanlah pekerjaan khusus perempuan. Banyak juga penjahit, desainer, dan pemasak laki-laki yang hebat dan sangat passionate dalam berkarya. Jangan jauh-jauh ke situ deh, Nabi Muhammad saja mau dan mampu menjahit serta menambal pakaiannya sendiri.

Baca Juga:

Indra Keenam Orang Batak Hingga Relasi Gender dan Tanggung Jawab Sosial

Penderitaan Saya sebagai Perempuan dengan Nama Adit

Bukan hanya itu, olahraga pun dikotak-kotakkan. Kalau kalian mendengarkan podcast Om Deddy, beliau sempat bilang bahwa olahraga cardio dan squat itu dilakukan oleh perempuan. Sama seperti jawaban Ivan Gunawan, saya juga bakalan bilang, “Terus kenapa kalau laki-laki cardio dan squat?” Harusnya kan nggak masalah mau olahraga apa saja.

Praktik mengotak-ngotakkan itulah yang secara tidak langsung semakin melanggengkan toxic masculinity. Orang-orang jadi punya pandangan dan ekspektasi tertentu terhadap laki-laki. Mereka punya standar tertentu untuk mengklasifikasikan seorang laki-laki itu sejati atau tidak melalui pandangan serta hal-hal yang ia rasakan dan lakukan.

Dalam waham toxic masculinity, laki-laki diharuskan menjadi superior dan dominan, sedangkan perempuan sebaliknya. Laki-laki tidak bisa mengekspresikan perasaannya karena dituntut untuk selalu terlihat kuat dan tangguh. Sedari kecil laki-laki dididik untuk tidak mengekspresikan perasaannya secara gamblang. Kalian pasti sering mendengar kalimat ini, “Laki-laki kok nangis. Laki-laki tuh nggak boleh cengeng!”

Padahal, menangis itu proses alamiah dan manusiawi buanget. Orang kalau sedih, terharu ya bisa saja mengeluarkan air mata. Tidak selamanya orang itu bisa tangguh dan mampu menghadapi masalahnya sendirian. Nggak hanya perempuan, laki-laki pun boleh bercerita dan mengekspresikan kegalauannya. It’s OK to be vulnerable. Nggak apa-apa menunjukkan kalau kalian sedang nggak baik-baik saja atau sedang ambyar sekalipun. Hmmm… saya berterima kasih ke Om Didi Kempot karena telah menciptakan lirik-lirik lagu yang mendobrak toxic masculinity. Masyarakat perlu tahu bahwa laki-laki juga bisa rapuh dan menangis.

Yang lebih berbahaya, terkadang untuk mencapai standar yang dibuat masyarakat dan circle terdekatnya, banyak dari mereka yang akhirnya berperilaku tidak baik. Contohnya gini, dalam satu tongkrongan kalau mau dibilang laki-laki harus berani berkelahi dan melakukan sexual harassment ke perempuan. Kalau dari mereka ada yang nggak memenuhi standar tersebut, langsung dibilang nggak jantan alias “kurang laki” sama teman satu gengnya. Seolah-olah lelaki itu harus punya karakter kasar dan agresif dulu baru bisa dibilang lelaki sejati.

Pemikiran sempit terkait kejantanan itulah yang disebut toxic masculinity. Laki-laki dinilai sebagai sosok yang harus selalu kuat, tangguh, realistis, bahkan kasar, sedangkan perempuan sebaliknya. Perempuan dan laki-laki menjadi semakin terkotak-kotak di berbagai bidang yang seharusnya bisa dilakukan oleh semua orang. Padahal, feminin dan maskulinitas bukan sesuatu yang berdiri sendiri, bahkan akan berdampak positif jika keduanya digabungkan.

Sandra Bem, seorang psikolog asal Amerika, melalui penelitiannya menemukan bahwa orang yang menggabungkan sisi maskulin dan feminin secara positif akan lebih fleksibel, kompeten, dan sehat secara mental. Senada dengan hal tersebut, dilansir dari chopra.com, menyeimbangkan sisi maskulin dan feminin adalah kunci untuk menjadi lebih bahagia, sehat, dan paham tentang apa pun yang kita lakukan berikut risikonya secara mendalam.

Dengan mulai memahami dan menyeimbangkan antara sisi maskulin dan feminin yang ada pada diri kita, tentunya akan berdampak pada berkurangnya toxic masculinity. Dan menurut saya, salah satu langkah awal yang bisa diterapkan adalah dengan tidak mengotak-ngotakkan hal-hal yang seharusnya genderless sejak kecil. Jangan sampai hal tersebut justru membatasi ruang gerak masing-masing dan menjadi sesuatu yang terlampau kaku.

Foto presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt semasa balita pada 1884. Via Wikimedia Commons.

BACA JUGA Mengenang Mak Erot, Jadi Legenda berkat Toxic Masculinity dan tulisan Dewi Perceka Sari lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 12 Januari 2022 oleh

Tags: feminingenderMaskulintoxic masculinity
Dewi Perceka Sari

Dewi Perceka Sari

A lifelong learner

ArtikelTerkait

sunat

Tentang Sunat dan Melahirkan: Mana yang Lebih Sakit?

31 Juli 2019
Indra Keenam Orang Batak Hingga Relasi Gender dan Tanggung Jawab Sosial

Indra Keenam Orang Batak Hingga Relasi Gender dan Tanggung Jawab Sosial

12 November 2023
Sebegitu Pentingkah Jenis Kelamin Lucinta Luna bagi Kemaslahatan Bersama?

Sebegitu Pentingkah Jenis Kelamin Lucinta Luna bagi Kemaslahatan Bersama?

14 Februari 2020
ada apa dengan cinta film indonesia 2000an maskulinitas gender nicholas saputra foto mojok, istri nicholas saputra

3 Film Indonesia Tahun 2000-an yang Menggugat Maskulinitas ala Generasi Baby Boomer

29 April 2020
Perempuan dengan Badan Kurus juga Jadi Korban Julid dan Cibiran Orang terminal mojok.co

Ah Kata Siapa Perempuan Selalu Benar?

12 Desember 2019
Humor Seksis Adalah Lelucon Paling Dangkal

Humor Seksis Adalah Lelucon Paling Dangkal

27 Januari 2023
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Menanti Gojek Tembus ke Desa Kami yang Sangat Pelosok (Unsplash)

“Gojek, Mengapa Tak Menyapa Jumantono? Apakah Kami Terlalu Pelosok untuk Dijangkau?” Begitulah Jeritan Perut Warga Jumantono

29 November 2025
Madiun, Kota Kecil yang Banyak Berbenah kecuali Transportasi Publiknya Mojok.co

Madiun, Kota Kecil yang Sudah Banyak Berbenah kecuali Transportasi Publiknya

2 Desember 2025
Pengakuan Pengguna Tumbler Lion Star: Murah, Awet, dan Tidak Mengancam Masa Depan Karier Siapa pun

Pengakuan Pengguna Tumbler Lion Star: Murah, Awet, dan Tidak Mengancam Masa Depan Karier Siapa pun

29 November 2025
Bengawan Solo: Sungai Legendaris yang Kini Jadi Tempat Pembuangan Sampah

Bengawan Solo: Sungai Legendaris yang Kini Jadi Tempat Pembuangan Sampah

2 Desember 2025
Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

2 Desember 2025
Pengalaman Nonton di CGV J-Walk Jogja: Murah tapi Bikin Capek

Pengalaman Nonton di CGV J-Walk Jogja: Murah tapi Bikin Capek

4 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.