Dari beberapa anime yang saya tonton, menurut saya anime berjudul Hotaru no Haka atau Grave of the Fireflies (dalam bahasa Inggrisnya) adalah anime yang paling bisa buat penontonnya mewek sesenggukan. Kalau pun si penonton kebal, setidaknya pasti ada kesan yang sangat menyedihkan deh. Sumpah kalau diem aja berarti dia nggak punya hati. Dari awal sampai akhir, anime dengan format film ini bisa dibilang bikin penonton ‘sakit hati’.
Sebelumnya saya pernah dibuat baper dan sedih sama kisah Taki Tachibana dan Mitsuha Miyamizu yang bertukar tubuh dan kehidupan lewat anime Kimi no Na wa (Your Name) produksi CoMix Wave Fims. Sang sutradara mampu membuat alur cerita yang sangat jarang disuguhkan dalam sebuah anime.
Kimi no Na wa bisa menjadi salah satu anime bertemakan romansa anak SMA yang bikin baper sekaligus sedih. Namun Hotaru no Haka atau Grave of the Fireflies bernilai lebih daripada itu. Hotaru no Haka besutan sutradara Isao Takahata mempunyai kesan cerita yang mampu mengocok-ngocok perasaan. Bukan tentang cinta seorang remaja, namun kisah cinta kakak beradik yang berusaha bertahan hidup di tengah realitas yang sangat sulit.
Hotaru no Haka atau yang berarti ‘makam kunang-kunang’ bercerita mengenai kisah Seita seorang kakak laki-laki dengan Setsuko adik perempuannya yang tinggal di suatu desa di Jepang. Cerita ini berlatarkan tahun 1945 ketika masa Perang Dunia II masih berlangsung. Saat itu, ayah mereka sedang berjuang membela negara sebagai prajurit angkatan laut sehingga mereka hidup dengan ibunya.
Sang kakak, Seita, masih berumur seikitar 14 tahun dan adiknya Setsuka sekitar 3 tahunan ketika pasukan militer Amerika Serikat menyerang kota Kobe lewat jalur udara. Para penduduk Kobe termasuk keluarga Setsuko dan Seita serta ibunya terkena dampak sehingga harus mengungsi. Rumah mereka terbakar sehingga tak punya tempat untuk kembali.
Tak punya tempat kembali karena rumahnya terbakar, Seita dan Setsuko pun menumpang di rumah bibi mereka. Namun Seita dan adiknya tidak bertahan lama di rumah bibi mereka. Sang bibi merasa bahwa Seita dan Setsuko hanya jadi parasit bagi keluarganya karena hanya bisa menghabiskan makanan saja sementara mereka tidak bekerja.
Merasa ada tempat untuk menetap tepatnya di sebuah goa di dekat danau, Seita pun mengajak adiknya untuk tinggal di sana dan meninggalkan rumah bibinya menggunakan gerobak. Setsuko yang belum mempunyai pikiran apa-apa pun senang-senang saja asalkan selalu bisa bersama kakaknya.
Karena di goa tersebut tak ada penerangan, Setsuko dan Seita pun memanfaatkan kunang-kunang sebagai sumber cahaya saat malam hari meski setiap keesokan harinya kunang-kunang tersebut akan mati.
Salah satu scene yang cukup menyedihkan di sini adalah ketika Setsuko mengubur kunang-kunang tersebut dan mengatakan pada kakaknya bahwa ia sudah tahu bahwa ibunya sudah mati dikubur seperti kunang-kunang tersebut. Di situ Seita pun menangis, dan saya yakin penonton pasti menangis juga. Setsuko, meskipun tetap mencoba tegar sebagai seorang kakak, namun tidak bisa membendung air matanya. Scene inilah yang menyadarkan penonton kenapa judul filmnya Grave of the Fireflies. Sebuah scene yang menjadi titik balik dan puncak kesedihan mendalam.
Sehari-hari mereka makan dengan kodok goreng dan beberapa makanan sekitar danau yang masih bisa dimakan sehingga membuat Setsuko diare dan kekurangan gizi karena makanan yang mereka konsumsi. Seita pun terpaksa harus mencuri buah-buahan di ladang milik orang demi adiknya sampai-sampai ia terpergok oleh sang pemilik ladang walaupun ia berhasil bebas dari hukuman ketika sampai di pos jaga.
Suasana yang dibangun dalam film ini sungguh syahdu yang sekaligus memilukan. Background musik yang diusung pun semakin membuat film ini terasa menyedihkan. Apalagi scene ketika bayangan Setsuko yang masih hidup bermain seorang diri di goa, berayun-ayun, menjahit kain, mengenakan sepatu dan topi kakanya sambil berposisi hormat. Sampai ketika ia bermain seperti kertas gunting batu dengan dirinya sendiri di depan danau yang memantulkan tubuh dirinya. Iringan musiknya mampu membuat saya sakit hati.
Film Grave of the Fireflies berjalan dengan pace yang begitu pelan dan dialog yang tak terlampau banyak. Banyak scene yang membuat penonton nelangsa membayangkan nuansa kehidupan anak-anak di tengah perang. Film anime ini adalah sebuah gambaran yang menohok soal betapa egoisnya manusia kepada manusia lain.
Peperangan mampu membuat semua yang tadinya bahagia dan hangat seketika berubah menjadi malapetaka besar dan merenggut semua kebahagiaan. Anime karya Studio Ghibli ini mampu mencerminkan betapa memilukannya dampak yang ditimbulkan dari peperangan.
Dan sudah jelas, mari kita bersepakat bahwa Hotaru no Haka atau Grave of the Fireflies merupakan anime yang paling bisa membuat mewek para penontonnya. Alias anime tersedih yang pernah ada. Bahkan dari awal hingga akhir film akan membuat penonton capek menangis. Siapin tisu deh pokoknya kalau mau nonton film ini.
Sumber gambar: YouTube Madman Anime.
BACA JUGA Selain ‘Anjay’, 5 Kata Ini Seharusnya Juga Dilarang Komnas Perlindungan Anak dan tulisan Erfransdo lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.