“Sebuah organisasi bisa saja tumpul, stagnan, jumud, jika tidak punyah arah dan agenda masa depan. Cuma “ngeloni” SK, berkubang dalam masalah internal dan melakukan rutinitas tahunan yang monoton tanpa meletakkan diri dalam arus perubahan dan dinamika konstelasi yang ada”. Pernyataan ini saya kutip dari blog pribadi salah seorang kader PMII di Yogyakarta yang sebentar lagi akan lulus dari Universitas Panglima Perangnya Majapahit yg masyhur itu melalui jalur Covid-19.
Beberapa hari yang lalu saya membaca artikel di Mojok.co dengan judul “Kekonyolan Model Kaderisasi Ala PMII” yang sontak membuat saya mengernyitkan dahi. Perlu waktu makan tiga kali sehari bagi saya untuk memahami isi tulisan tersebut. Entah karena lelet memahaminya atau ada faktor eksternal lain yang mempengaruhinya. Setelah saya baca berulang-ulang, saya menemukan inti dari tulisan itu. Kekesalan.
Ya, tulisan itu berangkat dari rasa kesal seorang kader yang sepertinya baru 3-4 tahun menyelesaikan Mapabanya. Kekesalan ini bikin saya berdecak kagum, lha kok iso? Jarang orang yang kesal sama organisasinya terus Ia tuliskan. Ndilalah, dimuatnya di portal online terkemuka lagi. Produktif syekaliii.
Di awal tulisannya, saya membacanya dengan penuh khidmat. Persoalan Ospek dan yang sejenisnya dengan segala dinamikanya yang terjadi di berbagai kampus di belahan Nusantara ini ya tidak jauh beda. Menampilkan citra positif dan memberikan kesan baik pada pertemuan pertama itu dilakukan oleh siapa saja kok. Makanya tak usah heran kalau kakak panitia Ospek punya peran seperti SPG/SPB. Percayalah, ada gengsi yang dipertaruhkan untuk hal semacam itu. Xixixi….
Saya makin khidmat membacanya saat si penulis membandingkan seorang Mahbub Djunaidi dengan Cak Imin. Ada sebuah kekecewaan yang besar saat kader-kader PMII hari ini lebih memilih mengikuti jejak Ketua Umum DPP PKB, alih-alih mengikuti jejak Sang Pendekar Pena.
Saya merenunginya, lalu berpikir kalau Cak Imin yang hari ini berganti sapaan akrab menjadi Gus Ami meniti karir politiknya pastilah melewati proses yang penuh keringat dan berdarah-darah. Merebut PKB dari tangan Gus Dur mosok dikira gampang. Kalau mengikuti jejak Gus Ami itu dikira enak dan gampang, tentu tidak akan ada antrean panjang di Jakarta untuk menduduki pos-pos strategis. Tentu ini bukan jalan ninja, melainkan jalan kura-kura, Bosss…
Hidup ini tentang pilihan, mau pilih Gus Ami atau Mahbub Djunaidi, mau pilih Pak Akbar Tanjung atau Cak Nur, asal bisa bertanggung jawab atas pilihannya. That’s fine, Mylov.
Setelah membaca separuh isi artikel ini, ndilalah buat saya mendadak cengengesan. Persoalan Pemilwa memang selalu menjadi sesuatu yang seksi untuk dibahas. Perihal perebutan kuasa kampus, dan seputar kontestasi sengit yang terjadi antar organisasi ekstra-kampus ini tidak akan ada habisnya untuk dibicarakan. Bisa dibilang kalau pesta demokrasi yang terjadi di kampus ini adalah ajang pertaruhan nama baik organisasi. Sek, jangan terlalu serius bacanya. Selawww…
Organisasi ekstra yang berkembang di lingkungan PTN ataupun PTKIN biasanya sih lebih variatif alias lebih banyak pilihannya. Dari yang haluannya kiri, tengah, sampai mentok kanan. Dan to be honest, organisasi mana yang ndak mau kadernya banyak, tanpa mengesampingkan kualitas. Mementingkan kuantitas saja bukan berarti kandang bebek atau kandang hewan ternak lainnya. Mementingkan kualitas saja jelas organisasi bukan perusahaan yg mendulang profit. Organisasi ekstra kampus sebagian besar adalah organisasi kaderisasi. Jadi, dua-duanya sama penting, Boskuhhh….
Kembali soal pemilwa, yang merupakan ajang pesta demokrasi di kampus. Dari namanya saja Pemilihan Umum Mahasiswa, masa masih perlu penjelasan panjang lebar? Oke, singkatnya begini. Rutinitas tahunan kampus ini identik dengan perebutan kekuasaan. Namanya saja perebutan kok malah mau dikasih sama orang lain. Tentu di dalamnya ada pertarungan untuk menjadi yang terbaik sehingga kemudian menarik perhatian publik mahasiswa untuk dipilih.
Jadi yang pasti organisasi ekstra yang terlibat pasti memilih kader-kader terbaiknya. Entah itu PMII, HMI, KAMMI dan sejenisnya. Nah, Soal tafsir kata perebutan tadi, silahkan maknai sendiri. Sekalipun mau dijelaskan selembut apapun, kalau terlanjur benci dan tidak ada sedikitpun ruang untuk kasih sayang. Susah. Eakkk..
Jadi intinya tuh begini. Kalau mengukur model kaderisasi sebuah organisasi mahasiswa itu hanya pada ospek, pemilwa, dan rapat tahunannya saja, itu nggak adil. Itu semua hanya bagian kecil dari proses. Bukankah senior-senior selalu ndawuh “proses tidak akan mengkhianati hasil”. Tentu proses yang dimaksud adalah yang diyakini dengan sebenar-benarnya. Salam tepok jidat!
BACA JUGA Kekonyolan Model Kaderisasi ala PMII.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.