Dunia hari ini semakin dijejali beraneka warna ketidakjelasan. Terbaru, saya membaca sebuah cerita berjalan yang menyudutkan orang-orang medok Jawa. Sebenarnya saya tidak punya urusan dengan purwa rupa warga negara macam ini. Namun, lama-kelamaan, jengah juga dengan oknum yang selalu menyudutkan yang berasal dari daerah.
Seharusnya tidak menjadi masalah bagi Indonesia, yang terdiri dari berbagai macam suku dan bahasa. Medok, khas suatu daerah, itu hal biasa saja. Lucu, untuk sebagian orang? Ya sudah, tidak mengapa. Namun, tolong, jangan meremehkan orang daerah hanya kerena mereka medok.
Bahasa ibu, yang dipelajari sebelum belajar bahasa persatuan, tidak mungkin luntur begitu saja. Ketika belajar bahasa ibu, bukan hanya perbendaharaan kata dan makna yang diserap, tapi juga cara pengucapan, kan. Ketika mereka yang dari daerah beranjak ke kota, kebiasaan itu tidak mungkin hilang begitu saja ketika memakai bahasa persatuan. Ah, kamu pasti sudah paham dengan hal seperti ini, kan?
Kamu seharusnya tidak asih sama medok orang Bali ketika membunyikan huruf “t”. Medok orang Jawa, yang dianggap lucu sampai jadi bahan meremehkan itu adalah keragaman masing-masing. Merupakan sistem fonologi dari masing-masing bahasa.
Orang Jawa medok jadi tidak layak dijadikan teman? Maaf, kamu itu manusia, bukan? Jangan pernah mengolok-olok seseorang hanya dari caranya ngomong. Kalau selama ini kita memandang rasis hanya dari warna kulit, agaknya kita harus memperlebarnya hingga aspek bahasa. Kalau saya medok, lantas kamu mau apa?
Bahasa ibu sebagai identitas tidak dapat dicerabut dari akar kediriaanya sekalipun seseorang menguasai sepuluh bahasa. Memang ada pendapat yang mengatakan apabila jarang diucapkan suatu bahasa akan kehilangan kemampuan ujarnya. Saya setuju-setuju saja, tapi tidak mutlak. Seorang yang memiliki bahasa ibu pasti memiliki kenangan ujar dengan bahasa pertamanya itu. Meskipun tak lagi menggunakannya.
Pendapat saya ini mungkin masih perlu diteliti secara ilmiah atau mungkin sudah ada penelitian seperti yang saya maksud. Akan tetapi tetap bahasa ibu mempengaruhi bahasa cara penguasaan bahasa kedua. Kalau tidak percaya, coba saja belajar bahasa asing. Saat belajar bahasa asing, kemungkinan besar kita akan tetap mengartikan bahasa tersebut dengan cara pandang bahasa ibu.
Jadi, kalau akal sehat jalan, seharusnya medok tidak menjadi masalah. Saya tidak harus menulis seperti ini.
Bukankah selama informasi bisa diterima dengan baik oleh komunikan, bahasa yang digunakan tidak perlu dipermasalahkan, bukan? Lantas kenapa sebagian dari kita merasa risih suara medok seseorang.
Ah, kamu juga tahu jawabannya. Semuanya kembali ke akal sehat dan seberapa derajat tingkat jahatnya kita sama orang lain. Kalau akal sehat jalan, mau medok mau berbahasa secara “mulus”, masalah nggak bakal muncul. Semua orang itu pasti punya titik jahat, cuma derajatnya saja yang berbeda. Mereka yang meremehkan medok seseorang, derajat levelnya sudah kayak pencakar langit.
Mereka meremehkan ciri khas, meremehkan asal-usul seseorang. Seakan-akan, dari gaya berbahasa mereka yang sempurna kekinian, jiwa mereka tidak hitam karena dosa. Omong kosong.
Plis, jangan remehkan orang lain hanya karena caranya membunyikan bahasa tidak sama kayak kamu. Medok itu identitas masing-masing.
BACA JUGA Merindu Ramadan di Kampung Halaman atau tulisan Arif Fadil lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.