Saat awal saya kuliah dulu sekitar tahun 2001 merupakan jaman yang serba peralihan. Sangat tidak bisa dibandingkan dengan kuliah anak jaman now. Meskipun belum lama berlalu, tapi banyak cerita yang mungkin nggak dialami anak jaman sekarang.
Belakangan outfit anak UGM katanya jadi buah bibir karena harganya yang wow. Saya bukan anak UGM dan kuliah jauh dari Jogja. Tapi (dulu), saya pernah punya mantan anak UGM. Jadi sedikit-banyak (agak) tahu lah tentang UGM. Hehehehe.
Untuk urusan outfit mahasiswa dan mahasiswi yang luar biasa, sebetulnya nggak hanya di UGM aja. Di tempat saya kuliah juga ada mahasiswa yang harga outfit-nya macam itu. Dari jam tangan yang harganya jutaan sampai sepatu yang harus beli di luar negeri juga udah ada.
Bedanya, zaman dulu yang pakai nggak bilang-bilang. Selain itu, info soal outfit juga hanya beredar di kalangan terbatas sehingga nggak begitu banyak dibicarakan. Mungkin alasanya karena dulu nggak musim internet dan HP juga masih nggak begitu “smart” seperti sekarang ini.
Ngomongin soal kehidupan perkuliahan. Nggak semua mahasiswa dan mahasiswi hidup bergelimangan kemewahan. Ada juga diantara mereka yang hidupnya prihatin. Jenis anak kuliahan zaman dulu dan sekarang mungkin berbeda, tapi tentu saja ada kesamaanya.
Mari sejenak lupakan perbedaan, karena tentu akan lebih asyik kalau ngomongin yang namanya mantan. Nah, mantan saya yang anak UGM (dulu) merupakan salah satu mahasiswi yang hidupnya prihatin. Lebih tepatnya sih memprihatinkan (mungkin).
Bagi mahasiswi rantau yang makan tak teratur, harus pintar mengatasi masalah keuangan. Kiriman yang minim dan kadang terlambat, membuat pola makan harus berubah agar bisa berhemat. Gimana nggak harus hemat, dikirim aja cuma 250 ribu dan harus dicukup-cukupin buat sebulan. Cara nyukupinnya gimana coba? Cewek kan kebutuhannya banyak!
Percaya deh, zaman itu, meskipun baru ditrasfer, tetep aja merasa miskin. Bayangin aja, saldo minimal mengendap di bank 50 ribu, tiap bulan biaya ATM 7.500 rupiah. Jadi habis dikirim, yang bisa diambil cuma 240 ribu, coba bayangkan bagaimana rasanya coba? Celakanya, belum akhir bulan saldo tinggal 90 ribu, yang bisa diambil cuma 40 ribu. Sedih, nggak?
Itu masih belum sedih, mulai tragis itu pas mau ngambil, ternyata sudah nggak ada ATM yang 20 ribuan. Terus terpaksa deh ngantri di Teller yang panjangnya amit-amit. Dan yang lebih seru pas udah sampai giliran, Mbaknya bilang sambil senyum, “Maaf, untuk pengambilan di bawah 100 ribu rupiah harap menggunakan ATM”. Terus kira-kira harus gimana coba?
Bagi mahasiswi yang punya pacar masih beruntung bisa ada yang traktir. Kalau pacarnya sama-sama kere mungkin bisa gantian nraktir atau sekedar oper-operan mie instan. Lagi sama-sama nggak ada, paling tidak bisa saling memeni laper atau sedihnya nggak sendirian.
Yang ngenes itu golongan jomblo yang terkadang harus sibuk cari utangan buat menyambung hidup. Ada juga yang beruntung dapat job ngetik, terjemahan, atau sekedar transkrip hasil wawancara. Meskipun nggak banyak, tapi lumayan bisa buat tambahan.
Mahasiswi yang visioner akan mencari makanan (yang dianggap) pengganti nasi dan harganya pun nggak cuma miring, tapi udah guling. Begitu dapet transferan, langsung borong sereal dalam jumlah besar. Dan ternyata, setelah disantap, rasa lapar tetap melanda tak terbendung. Daripada sakit, akhirnya beli makan juga, dan sereal berhasil menambah pengeluaran konsumsi harian.
Untuk golongan yang lebih beriman, siasat berhemat bisa dilakukan dengan puasa Senin-Kamis. Terkadang juga dari Senin sampai Minggu karena banyaknya fotokopian dan tugas yang harus dikumpulkan.
Cara lain untuk berhemat adalah dengan patungan untuk masak nasi. Anak kos yang sama-sama ngirit akan berserikat dan setor 1 gelas beras untuk dimasak bareng pakai rice cooker. Setelah matang, lalu nasinya digaris untuk membagi wilayah konsumsi masing-masing.
Sedangkan untuk lauk ada yang beli sayur, atau sekedar srundeng (abon kelapa parut) biar nasinya lebih terasa rame. Selain makan dengan alakadarnya, teknik mengencangkan ikat pinggang juga dilakukan dengan minum banyak air bening. Senjata andalannya adalah bawa botol air kemana-mana, lumayan siapa tahu ada tempat refill, jagi nggak usah beli air.
Yang paling berat adalah mahasiwi yang terlanjur kecanduan nasi. Kalau lagi sakaw (ditampat saya namanya suren) keluar keringat dingin, badang lemas, kepala pening, pandangan berkunang-kunang. Ini sebetulnya lagi cerita mahasiswi atau kaum miskin kota, gitu amat?
Nggak cuma soal makan, buat cewek, kecantikan juga harus tetap dijaga meskipun anggaran mepet. Paling tidak, untuk sekedar pake masker atau lulur bisalah itu diatur. Untuk menu masker hemat, bisa dengan membeli beras kencur tablet yang biasanya dijual di warung atau di pasar. Penggunaanya pun cukup mudah, tinggal diberi air sedikit sampai tekstur lebih lembut lalu dipake deh buat maskeran.
Nah, celakanya kalau niatnya beli beras kencur, dapetnya Parem Pusaka Cap Jago. Kalau dipake rasanya : maknyos! Soalnya parem bisanya dipakai buat mbalurin otot yang pegal-pegal. Dan tentu saja, akan terasa hangat semreset, bahkan setelah dibilas dengan air sekalipun.
Hal yang lebih tragis dialami mahasiswi yang jerawatan seperti pacar saya waktu itu. Mereka akan menjadi sasaran empuk anak magang di salon maupun skincare. Dipanggil katanya mau dirawat, keluar mukanya bengep karena jerawat dipencetin dengan brutal. Ini anak magang pasti saat pelajaran teori per-jerawat-an nggak masuk.
Kehidupan anak kuliahan zaman dulu dan sekarang mungkin nggak jauh beda. Ada yang memang hidupnya wah ada juga yang hidupnya biasa dan terkadang malah luar biasa. Selama bisa menikmatinya tentu akan menjadi kenangan yang seru.
Hidup Mantan!!! Eh…