Saat kecil, terutama di zaman sekolah dasar di mana hutan pekat digital belum merambah adalah suatu zaman majalah menjadi jagat raya informasi seluruh hal di muka bumi ini. Apa pun ada di dalam majalah. Dimulai dari mencari hiburan sampai menjadi sebuah keharusan. Percayalah, taman bacaan layaknya warnet atau rental playstation pada saat itu.
Lalu, ada zaman saat konsol gim seperti dingdong dan playstation masuk. Lantas, muncul sebuah kultur aneh (setidaknya yang saya alami) dalam hal literasi. Sewaktu akil baligh, ada sebuah perasaan malu untuk datang ke perpustakaan. Katanya, mereka yang ke sana adalah mereka yang udik dan tidak punya kawan. Waktu istirahat adalah waktu nongkrong di depan pos satpam sambil kucing-kucingan dengan guru agar bisa merokok ketimbang ke perpustakaan dan membaca.
Setidaknya itulah pengalaman pribadi saya. Dan lingkungan toxic macam ini justru menghasilkan sesuatu yang menarik. Rental komik dan kios majalah adalah sasaran yang tepat untuk menuntaskan libido ingin membaca saya ketimbang di perpustakaan sekolah. Di sana, stigmatisasi menyebalkan kadang tidak pernah ada.
Beranjak lagi, ketika akses televisi dan internet berimbang, warnet menjadi pilihan utama. Budaya menonton film pun menjadi hal yang wajib. Konsep membaca kembali naik daun, setidaknya diperkenalkan kembali oleh Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta. Di mana perpustakaan, buku, dan puisi diidentikkan dengan hal yang romantis dan eksklusif.
Serampangan memang membagi lini masa sebuah zaman di mana majalah, komik, dan tabloid berkuasa hanya dijadikan dalam beberapa bagian. Namun, setidaknya itulah yang saya pribadi alami. Saya pernah terjebak dalam masa di mana membaca itu memalukan. Di sekolah hobinya tawuran, tapi saat di rumah sukanya baca novel Enid Blyton. Jujur, saya lebih hafal ending di novel Goosebumps 50 seri ketimbang nama-nama geng di Jogja.
Bahkan, konsumsi majalah saat itu menentukan: Berada di fase pertumbuhan manakah kita sebenarnya? Walau beberapa ada yang tak lekang oleh waktu, tapi kebutuhan konsumsi akan informasi berbanding lurus dengan bertambahnya usia, relasi, dan apa yang sedang dicari. Mulai dari fase anak-anak, remaja hingga dewasa, begini hasil penjabaran saya.
Satu: Fase anak-anak dan pembentukan rasa suka membaca.
Di fase ini, kebanyakan dibuka oleh para penikmat Majalah Mombi. Salah besar ketika menyebut Bobo adalah majalah yang harus dicekoki pertama kepada anak-anak. Majalah ini seperti pintu gerbang kepada majalah-majalah lainnya. Dalam arti lain, kamu harus membaca Majalah Mombi sebelum menyentuh majalah lainnya. Majalah ini pun ada dua, Majalah Mombi dan Mombi Junior.
Isinya pun beda dengan Bobo yang menampilkan bacaan seperti cerpen dan cerbung. Majalah ini isinya seputar mewarnai objek, gim menarik garis, gim melipat, gim menggunting, dan kolase. Bahkan, ada guyonan: Barang siapa yang bisa mewarnai dengan halus dan origami dengan rapi adalah produk Majalah Mombi.
Selanjutnya dalam fase ini sudah pasti menyebut Majalah Bobo. Jelas saja, majalah yang pertama kali mengudara pada tahun 1973 telah menghasilkan beberapa era. Bobo menjadi kawan baby boomer untuk mengenal komik melalui Pak Janggut, generasi Y dalam membedah sebuah karya seperti cerpen dan cerbung, hingga generasi Z kepada tokoh-tokoh ikonik seperti Bona, Puteri Nirmala, dan Rong-Rong.
Ketika Majalah Mombi layaknya orang tua yang menuntun dan mengajarkan, Majalah Bobo agaknya berperan sebagai kawan. Ia mengajak bercerita, berkreasi, mengajak anak-anak usia tujuh sampai dua belas ini memberikan ruang-ruang diskusi bagi anak dalam tiap rubriknya.
Dua: Masa menjelang remaja dan pencarian identitas.
Pada masa ini, ada sedikit rasa bosan pada Majalah Bobo. Biasanya diikuti oleh obrolan circle yang sudah tidak membahas seputar Bona dan Rong-Rong saja, melainkan sudah mengarah kepada tema-tema tertentu seperti animasi, gim, sepak bola, dan tema lainnya. Sedangkan dalam Bobo, sulit ditemui pembahasan seputar gim dan mainan lainnya.
Pertama, adalah Majalah Just for kids. Majalah ini adalah versi upgrade dari Mombi dan Bobo. Barangkali, konsepnya adalah peleburan di antara keduanya, tapi temanya lebih luas. Ada rubrik khusus cerpen Bahasa Inggris, gambar dengan warna mencolok, gim kertas seperti Mombi, dan masih banyak lagi. Memang majalah besutan PT. MNI Global secara kertas sangat berkualitas, tapi berbanding dengan harganya, yakni 75 ribu.
Kedua, jelas anak-anak pada saat itu pelarian dari Bobo adalah XY Kids. Kebanyakan, para penikmat majalah ini adalah alumni dari Bobo atau bahkan ada yang masih menikmati Bobo. Majalah besutan kelompok Kompas Gramedia mungkin menjadi sebuah penanda perubahan orientasi selera. Dari anak yang doyan sama karakter lucu dan warna-warni, menjadi anak yang doyan kepada tema-tema kultur pop yang saya sebutkan tadi.
Majalah Bi-weekly ini banyak dicari lantaran hadiah yang biasanya ditawarkan redaksi ini. Mulai dari komik sampai diecast. Memang bukan main-main, ia seakan menjadi jembatan bagi tahap anak-anak untuk mengenal dunia konsol gim pada waktu itu. Pasalnya, majalah ini banyak mengulas gim-gim baru pada waktu itu.
Tiga: Masa remaja dan sudah menemukan identitas.
Identitas di sini maksudnya adalah selera. Hasil setelah membaca bertahun-tahun XY Kids, pasti menemukan beberapa tema tertentu yang menjadi kesukaan. Misalkan, suka dengan hal berbau kultur pop Jepang, pasti larinya ke Majalah Animoster. Majalah inilah yang mengangkat bibit-bibit wibu memiliki wadah yang baik dan benar.
Atau masih ada yang terjebak dalam dunia anak-anak tapi suka komik ala Amerika, ada Majalah Donal Bebek. Entah ini disebut komik dalam bentuk majalah atau majalah dengan konsep komik. Namun yang jelas, majalah ini menjadi favorit bagi mereka yang menggemari karakter-karakter Walt Disney. Di majalah ini juga ada tutorial dan gim tebak-tebakan khas anak umur dua belas hingga lima belas.
Atau yang menyukai gim akan berlari ke majalah HotGame yang memuat walkthrough gim-gim yang kala itu sedang banyak diminati semisal Devil May Cry 3. Mereka yang menyukai musik dan tren terkini akan menyukai majalah Hai atau Gadis! yang kini kebanyakan telah berubah menjadi situs online dan menutup produksi cetaknya.
Kini, majalah seakan menjadi artefak yang telah usang dan menjadi langka. Setidaknya, langka bagi beberapa majalah yang saya sebutkan di atas. Dengan berkembang pesatnya internet yang memudahkan kita mencari informasi, atas dasar apa kita harus mengonsumsi majalah?
Pola penalaran seperti inilah yang menyebabkan banyak majalah gulung tikar. Terbaru adalah Tabloid Bola yang mengibarkan bendera putih dalam perlawanannya selama ini. Ya, namanya juga perkembangan zaman, seperti konsol gim yang saling sikut. Besarnya ongkos produksi dan tidak berimbang dengan untung yang diperoleh, logis memang ketika banyak majalah yang memilih beralih ke situs website dan menutup memori terhadap format majalah fisik secara rapat-rapat.
Kemudian, bagaimana denganmu? Adakah majalah tertentu yang teramat berkesan dalam kehidupanmu? Tentu saja, kolom komentar di bawah akan memfasilitasi kisah romantika antara kamu dan majalah favoritmu.
BACA JUGA Pada Dasarnya Semua Orang Itu Suka Membaca dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.