Dulu waktu rumah hampir semua keluarga besar ibu saya di Bandung (berdekatan dengan rumah saya) kalau menjelang Ramadan pasti saja perut kembung karena dijejali berbagai makanan dari mereka. Pasalnya, dalam tradisi Sunda ada tradisi botram (makan bareng-bareng) yang biasa kami sebut dengan munggahan sebagai salah satu rukun menjelang Ramadan.
Munggahan merupakan bahasa Sunda yang akar katanya adalah munggah, artinya naik ke tempat yang lebih tinggi. Atas pemaknaan tersebut, banyak masyarakat Sunda ketika munggahan senang pergi ke tempat-tempat tinggi semacam air terjun, gunung, dan sebagainya.
Secara filosofis, dulu munggahan adalah semacam relasi sosial masyarakat yang terstruktur dari kelompok atas (hinggil) sampai kelompok bawah (handap). Kelompok hinggil adalah anak pertama dan kedua dalam keluarga yang menetap di wilayah dalam. Sementara kelompok handap adalah anak bungsu dan pangais bungsu yang merantau dan menetap di luar willayah dalam.
Kelompok hinggil berperan untuk menjaga keorisinilatisan budaya leluhur dan dianggap memiliki kedekatan untuk dapat berkomunikasi dengan Tuhan ataupun roh leluhur. Nah, kalau kelompok handap sengaja merantau untuk mengembangkan ekonomi, sosial, dan politik di luar suku Sunda. Menurut strata sosial Hinduisme, kelompok handap ini diidentifikasi sebagai kelompok waisha dan sudra.
Keadaan kelompok bawah yang merantau dan tidak berada di wilayah asli membuat mereka dianggap tidak dekat dengan Tuhan, makanya mereka nggak bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan atau leluhur. Untuk itulah, agar kelompok handap tetap dapat berkomunikasi dengan Tuhan dan leluhur, diperlukan media yang dapat menghubungkannya, kelompok hinggil itulah yang dapat jadi medianya.
Lantaran bulan Syaban diyakini menjadi momen berkumpulnya para loh leluhur, maka momen ini dianggap penting bagi kelompok handap dan hinggil bertemu untuk berkomunikasi dengan mereka. Karena kelompok handap nggak bisa langsung ngobrol dengan roh, mau nggak mau kelompok handap naik (munggahan) ke kelompok hinggil agar bisa berkomunikasi dengan roh leluhur.
Saat Islam datang ke dataran Sunda, tradisi munggahan pun mengalami transformasi menjadi semacam upacara penyambutan bulan Ramadan. Seluruh keluarga berkumpul di rumah anak paling tua yang biasanya berada di dataran tinggi dan merajut kembali kasih di antara mereka dengan cara botram dan makan besar.
Sekarang, tentu saja munggahan lagi-lagi mengalami transformasi, menyesuaikan keadaan. Tak perlu lagi ngumpul di rumah anak tertua yang rumahnya di dataran tinggi, bahkan bisa jadi anak tertuanya nggak punya rumah dan masih numpang di rumah orang tua. Makanya kemudian yang penting dari munggahan sekarang adalah kumpul dan makan-makan saja, bersiap menyambut Ramadan dengan suka-cita.
Di beberapa daerah, munggahan bahkan tidak lagi hanya dilakukan dengan keluarga, tetapi juga dengan para tetangga. Masak bareng, makan bareng, cuci bekas makan bareng, dan tentu saja sendawa bareng. Pokoknya munggahan menjadi tradisi yang membahagiakan buat kami, apalagi anak-anak. Mereka biasanya bahkan sengaja main ke rumah tetangga hanya untuk merasakan makanan apa yang dibuat mereka, sampai engap karena kembung!
Dalam versi modern, munggahan bahkan dijadikan sebuah rangkaian acara bakti sosial. Sekolah saya dulu misalnya, beberapa hari menjelang Ramadan bikin kegiatan yang namanya Munggah Bungah, artinya munggahan dengan bahagia. Acara itu khusus dibikin untuk anak-anak pengidap talasemia, beberapa anak difabel, dan murid-murid sekolah kami tentu saja. Selain makan-makan sampai perut keras, acara itu juga ngasih duit, hiburan panggung, dan konser hardcore yang tentu saja ini bercanda.
Selain Ramadan dan lebaran, munggahan tentu saja adalah momen yang paling kami tunggu. Sayangnya, karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah diberlakukan di daerah Bandung Raya, saat ini di daerah saya sepi, nggak ada suara gesekan serok dengan wajan, nggak ada bau-bau masakan yang enak, bahkan nggak ada anak-anak yang saling mengunjungi rumah kawan-kawannya. Sedih sekali.
Bahkan saat menulis ini, saya cuma ditemani kopi buatan sendiri, tapi tak apa. Mari sambut Ramadan dengan tetap bersuka-cita dan dengan kesepian tentu saja. Sekali lagi, tak apa, yang penting pandemi ini segera berakhir saja.
BACA JUGA Menikmati Ramadan sebagai Mahasiswa Rantau dan tulisan Tazkia Royyan Hikmatiar lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.