Bahasa Jawa, seperti yang kita tahu, memiliki corak yang unik sekaligus luas. Bahasa Jawa sebagai media komunikasi telah mengatur sedemikian rupa kaidah berbahasa yang sudah disesuaikan dengan objek atau lawan bicara. Seperti misalnya dalam komunikasi sehari-hari, ada beberapa klasifikasi yang mengatur bagaimana baiknya kita bicara dengan sesama, yang lebih tua, atau bahkan yang lebih muda sekalipun.
Antara lain, ngoko digunakan untuk ngobrol dengan sesama, minimal terhadap orang dengan usia sepantaran. Atau bisa juga diterapkan kepada yang jauh lebih muda. Sementara untuk yang lebih tua dan dihormati, baiknya menggunakan krama inggil (halus) meski boleh juga dengan krama madya (campuran antara ngoko dan inggil). Urusan bahasa memang diperhatikan betul dalam kehidupan masyarakat Jawa. Hal tersebut nggak lepas dari kultur masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti subasita (tahu diri), empan papan (tahu tempat), unggah-ungguh dan tata krama (sopan santun).
Sekarang coba bayangkan, seandainya bahasa Jawa tidak memiliki struktur bahasa yang sedetail itu. Bisa dipastikan bakal timbul kerancuan demi kerancuan di masyarakat. Misalnya, kalau menyapa yang lebih tua kan seharusnya menggunkan krama inggil. Lalu kalau justru salah menerapkan yang ngoko, maka pola pembicaraan jadi terlihat bias dan aneh. Dirasakan di hati kok ya nggak srek..
Contoh konkretnya, kalau kita hendak menyapa Pak Modin maka kata yang pas adalah penjenengan (kamu). Sedangkan kalau sama temen sendiri, sapaan kowe (kamu) sudah lebih dari cukup. Bayangkan seandainya polanya dibalik, atau nggak ada krama inggil sama sekali. Memanggil Pak Modin yang secara derajat lebih terhormat dengan kowe rasanya cukup ganjil. Seolah nggak ada bedanya antara Pak Modin dengan kapasitas ilmu agamanya yang otoritatif sama temen sebaya kita yang kalau subuh saja dicampur dluha. Meski sama-sama berarti ‘kamu’, tapi secara rasa sapaan panjenengan jauh lebih enak diucap dan didengarkan. Lebih jauh, kata panjengan beraksen lebih halus dan lebih sopan.
Kalau kata KH. Ahmad Mustofa Bisri a.k.a Gus Mus, yang begini ini namanya ilmu malakah. Yakni menimbang baik/tidaknya ucapan dengan mengandalkan daya rasa dan kepekaan telinga, “Kalau pas, berarti ya apik” begitu tutur blio dalam banyak kesempatan. Sebab bagaimanapun, rasa adalah satu dari tiga aspek pembangun suatu kebudayaan; cipta, karsa, dan rasa. Dan dalam teori kebudayaan, bahasa merupakan salah satu unsur yang terkandung di dalamnya, Untuk itu, bahasa dan rasa ini nggak bisa dipisahin, dong. Ibarat Bang Haji Rhoma dengan tagline ‘terlalu’-nya.
Termasuk dalam urusan mewartakan orang meninggal, tata cara beretorika dalam bahasa Jawa pun harus sangat diperhatikan. Sudah menjadi keharusan—utamanya bagi masyarakat yang tinggal di perkampungan—setiap ada yang meninggal maka harus diwartakan baik dalam bentuk verbal maupun papan tertulis. Dalam konteks sosio-linguistik masyarakat Jawa, ungkapan ‘meninggal’ memiliki beberapa anonim yang cukup halus dan enak didengar. Saya akan menguraikannya dengan sampel desa saya sendiri, antara lain:
Satu: Sampun Wangsul
Sampun wangsul menjadi ungkapan yang paling halus dan paling sering digunakan dalam mewartakan orang meninggal di desa saya. Sampun wangsul sendiri berarti sudah pulang. Biasanya seorang pewarta yang mengumukan dari corong masjid akan berucap, “Innalillahi dst. Bilih wonten saat menika, sederek kita atas nami bapak “ini” sampun wangsul ngarsa dalem Allah Swt.” Terjemah bebasnya: Innalillahi dst. Bahwa pada saat ini, saudara kita atas nama bapak “ini” sudah berpulang ke haribaan Allah Swt.
Selain mewartakan orang meninggal, sebutan ini juga mengandung ajaran tasawuf mengenai hakikat keberadaan manusia. Manusia hidup di dunia ini nggak lebih dari bertamasya atau berkunjung. Dunia bukanlah tempat tinggal, dunia bukan rumah, melainkan hanya persinggahan sementara. Atau dalam pribahasa Jawa, urip mung mampir ngombe (hidup cuma mampir minum).
Dan sebagaimana mestinya orang singgah, pastilah nggak bisa lama-lama. Cepat-atau lambat dia harus segera pulang ke tempat asalnya. Dalam konteks orang meninggal, rumah sebenar-benarnya adalah Allah Swt. Kita berangkat dari-Nya, harus pulang juga kepada-Nya. Itulah kenapa ungkapan sampun wangsul dirasa lebih cocok, bukan sampun kesah/lunga (sudah berangkat/pergi). Sebab pada hakikatnya orang yang meninggal itu bukan pergi, tapi kembali. Sudah sangat sesuai dengan kalimat istirja (innalillahi dst) yang memiliki arti kurang lebih; Sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Dua: Sampun Nilarake(n)
Nilarake(n) asal katanya adalah tilar yang artinya tinggal. Nilarake(n) diartikan dengan meninggalkan. Umumnya pewarta di desa saya akan berucap, “Innalillahi dst. Bilih wonten wekdal menika sederek kita ingkang asma ibu “ini” sampun nilarake(n) kita sedaya.” Terjemah bebasnya: Innalillahi dst. Bahwa sekarang ini, saudara kita yang bernama ibu “ini” sudah meninggalkan kita semua.
Konteks bahasa yang dihadirkan dalam ungkapan nilarake(n) atau meninggalkan merupakan bentuk pengakuan yang jujur tanpa ada tendensi teologis. Karena faktanya orang yang meninggal memang sudah meninggalkan kita semua. Atau jika menggunakan pendekatan tasawuf, maka ungkapan tersebut bisa saja bermaksud: Seseorang yang meninggal sejatinya memang pulang ke hadirat Allah Swt, sekaligus juga meninggalkan segala kepemilikannya selama di dunia.
Harta, pangkat, jabatan, anak, istri, dan segala gemerlap dunia nggak ada satu pun yang dia bawa. Semuanya harus ditinggalkan. Kalau orang-orang Jawa sering bilang, “Manungsa lahir gak gawa apa-apa, mati ya gak gawa apa-apa” (Manusia lahir nggak bawa apa-apa, mati juga nggak bawa apa-apa). Ungkapan tersebut seolah menegaskan, lalu apa yang hendak kita banggakan, kalau pada hakikatnya semua yang kita kejar dan miliki hanyalah sesuatu yang fana belaka?
Tiga: Sampun Katimbalan
Akar kata dari katimbalan adalah timbal yang artinya panggil. Maksud katimbalan adalah dipanggil. Maka Sampun katimbalan di sini bisa diartikan, sudah memenuhi panggilan. Meski maknanya cukup bagus, namun ungkapan ini amat jarang digunakan oleh pewarta di desa saya. Pewarta biasanya akan bertutur, “Innalillahi dst. Bilih wekdal dalu menika sederek panjenengan sami ingkang asma mbah “ini” sampun katimbalan dening ngarsa dalam Allah Swt.” Terjemah bebasnya: Innalillahi dst. Bahwa malam ini, saudara kalian semua yang bernama mbah “ini” sudah memenuhi panggilan Allah Swt.
Saya pribadi cenderung lebih srek dengan ungkapan yang satu ini. Selain enak didengar dan dilafalkan, katimbalan juga memiliki makna yang nggak kalah sufistik. Ungkapan ini sangat cocok dengan pepatah Jawa yang berbunyi, “Sejatine urip mung antri mati” (Sejatinya hidup hanya antre mati). Orang-orang sepuh di desa saya memudahkannya dengan pribahasa lain yaitu, “Urip iku mung nunggu timbalan saking Gusti” (Hidup itu cuma menunggu panggilan dari Tuhan). Atau jika merujuk apa kata Sabrang Mowo Damar Panuluh a.k.a Noe Letto, hidup ini hanya soal bagaimana mengisi waktu luang untuk menyongsong kematian. Hidup untuk mati, sederhananya seperti itu. Dari sini saya sendiri bisa memetik hikmah, betapa orang Jawa sudah menanamkan betul kesadaran dalam jiwanya, bahwa manusia di dunia ini nggak lama. Semua menunggu antrean, menunggu giliran dipanggil satu per satu oleh Sang Pemilik Kehidupan.
Sampun Kapundut
Dari tiga ungkapan yang sudah dibahas, yang terkahir ini bisa dibilang paling kasar dan hampir nggak pernah digunakan untuk mewartakan orang meninggal. Dari segi pengucapan saja sudah nggak enak dan nggak pas juga di telinga. Contohnya, “Innalillahi dst. Bilih wonten enjang menika sederek panjenengan sekalian ingkang nami mbak “ini” sampun kapundut.” Terjemah bebas: Innalillahi dst. Bahwa pagi ini saudara kalian sekalian atas nama mbak “ini” sudah diambil. Kapundut asal katanya adalah pundut (ambil). Maka kapundut bisa diartikan dengan diambil.
Meski begitu, penyebutan kata ini tetap memiliki nilai sufisme yang nggak kalah bagus dengan tiga istilah sebelumnya. Maksud ‘diambil’ mepet-mepet dengan arti kalimat istirja secara harfiah, Orang Jawa biasa menyebutnya dengan, “Ibarate nyawa mung silihan” (Ibaratnya nyawa hanya pinjaman). Secara hakikat, nyawa kita, hidup kita, hanyalah pinjaman dari Allah Swt. Dan Dia sebagai pemilik resminya berhak mengambil kepemilikannya kapan saja sekehendak yang Dia mau.
Secara lebih lebar bisa kita ambil kesimpulan, bahasa Jawa merupakan bahasa yang sangat puitis sekaligus sufistis. Di mana dalam berbahasa atau berkomunikasi, keindahan retoris saja nggak cukup. Orang Jawa merasa perlu untuk menyisipkan nilai-nilai luhur mengenai ajaran tentang hakikat kehidupan dalam setiap pilihan kata. Walhasil, selain berbahasa dengan baik, kita juga bisa belajar ilmu hakikat, termasuk di antaranya adalah hakikat tentang diri sendiri.
BACA JUGA Hierarki Penyebutan Orang Meninggal dalam Bahasa Jawa dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.