Banyak sekali kabar burung bersliweran yang membahas tentang es krim Viennetta yang pernah menjadi gap antara si kaya dan si miskin pada Orde Baru. Kini, es krim tersebut hadir lagi dan (lagi-lagi) menimbulkan gap. Namun, kali ini adalah gap antara si penikmat dengan si penimbun. Kabarnya memang masih simpang siur, nggak adil juga nyalahin sesuatu yang hanya viral dari media sosial saja sebelum adanya konfirmasi yang jelas. Urip bukan mampir viral, tapi urip itu mampir ngombe.
Manusia pun berbondong-bondong ke mini market, membuktikan bahwa Viennetta ini ada di bagian rak freezer es krim bagian bawah. Semua es krim diberantakin, mas mbak petugas mini market pun tepuk jidat. Hoalaaah, kok ya seneng banget kemakan sesuatu yang sedang viral. Toh, jika memang itu modus si penadah, pastinya mereka memikirkan cara yang lain agar tidak ketahuan. Di online shop juga sudah menjamur, naik dari harga aslinya.
Saya pun iseng (hoalaaah saya kok juga kemakan sesuatu yang sedang viral) untuk menyambangi salah satu mini market yang lumayan ramai di bilangan Banguntapan. Saya pun obok-obok rak es krim tersebut dan tiba-tiba ada suara mengaduh, “biyung alah!” rengeknya bikin saya kaget setengah mati.
“Nggak ada, Mas, nggak. Viennetta udah habis. Udah lima belas orang di hari ini yang obok-obok kesucian saya. Eh, maksudnya obok-obok tubuh saya yang banyak es krimnya.”
Namanya adalah Pak Sufree Zeroadi (35) seorang rak freezer es krim yang sudah banyak makan asam garam dunia per-rak es krim-an yang kian giduh ini. Bapak satu anak yang akrab dipanggil Pak Sufree ini biasanya tampak sangat semangat, namun entah mengapa hari ini ia pun nampak ngelokro. Matanya lelah dan stiker-stiker es krim di tubuhnya mulai luntur.
“Dulu saya kerjanya di es krim keliling. Pada masa 2000-an awal di Ibu Kota, Mas. Itu lho yang sering muter dari kampung satu ke kampung lainnya dan ada pengeras bunyinya, tilulit tilulit titutitutitutit~” Ia mencoba dengan keras menjelaskan padahal saya tahu xixixi.
“Seneng rasanya. Banyak anak-anak yang lari mengejar saya, di belakangnya ada ibunya yang ngejar juga.”
“Ngejar karena apa to, Pak?”
“Jebul ibu-ibunya mereka itu ngelarang anak-anaknya makan es krim,” saya pun ngampet ngakak.
“Tak kira mau tumbas je, Pak,” kata saya berusaha ngampet kemekelen.
“Ya, pada masa itu kan es krim terlihat seperti makanan mewah. Seminggu sekali barangkali anak-anak itu beli es krim di gerobak yang membawa saya.”
“Terus, kenapa kok bisa sampai Jogja dan kerja di mini market ini, Pak?”
“Wah, ceritanya panjang, Mas,” Pak Sufree melirik ke saya. Berharap saya berkata nggak apa, Pak, saya dengarkan.
Keinginannya pun saya kabulkan, akhirnya ia bercerita. “Jadi, sewaktu es krim keliling mulai jarang peminat, saya dan kolega pun di PHK massal, Mas. Saya pun menikahi rak es krim cantik asal Jogja. Sebagai pengangguran yang taat, saya pun ikut ke Jogja karena istri saya ini tajir melintir. Mas tahu Malioboro Mall? Nah, istri saya kerja di sana.”
Saya yang dari tadi nggak tertarik dengan kisah hidupnya dan menunggu cerita tentang Viennetta pun dengan terpaksa bilang begini, “Kerja apa di sana, Pak?”
Dengan semangat Pak Sufree menjawab, “Di toko es krim kekinian, Mas. Tapi belakangan istri saya ini ngambek sama saya karena selama pandemi bisnisnya anjlok dan Viennetta muncul menjadi primadona. Saya pun selalu dibuka tutup (raknya, red) oleh para pelanggan. Kadang, parfum pelanggan itu nempel di tubuh saya. Umi (panggilan sayang istri Pak Sufree, red) pun cemburu.”
“Loh, kan kerjaan Bapak emang begitu?”
“Istri saya (sekaligus penjual es krim kekinian, red) cemburu sama meningkatnya peminat es krim Viennetta, Mas. Lha bagaimana to, sudah murah juga porsinya lumayan. Es krim kekinian jadi banyak yang gulung tikar, Mas,” jelasnya. “Dan… Hmm….” kata Pak Sufree mikir-mikir. “Viennetta jadi langka, Mas….”
Seakan mendapatkan informasi apa yang saya inginkan, saya pun bertanya kepada topik utama, “Jika boleh tahu, penyebab langkanya apa ya, Pak? Apa benar para pekerja di mini market sering menyembunyikan? Atau barangnya kebetulan masih sedikit?”
“Hush, ngawur!” kata Pak Sufree ngambek manja. “Itu oknum, Mas. Nggak semua petugas mini market licik seperti itu. Pernah kan rame masalah die cast yang ditadah, sekarang es krim Viennetta. Nggak bener itu, Mas. Kalau masalah jumlah produksi, saya nggak paham, Mas.”
“Lalu, apa benar jika ngubek-ngubek rak es krim sampai bagian bawah, niscaya ada es krim Viennetta di dalamnya?” Saya pun kembali mencari-cari es krim di tubuh (rak freezer, red) Pak Sufree hingga masuk ke bagian paling bawah.
“Hahaha,” Pak Sufree malah kemekelen. “Geli, Mas…. Geli,” katanya. “Itu juga teori salah. Kebetulan aja mungkin orang itu menemukan di rak paling bawah. Kebetulan juga orang itu lagi ngerekam. Semua serba kebetulan yang penting viral. Xixixi~”
“Banyak ya, Pak, peminat es krim ini sampai ludes begini?”
“Biasa saja, sih, Mas. Beneran. Kebanyakan juga pada beli sosis bakar. 50 ribu dapat 5. Pakai nasi kenyang. Atau ya para mahasiswa mending beli cabe bubuk. 50 ribu dapat 50 sachet. Jontor, jontor deh itu mulut kepedesan!” jawabnya sambil mengeluarkan embun.
“Lah, piye to, terus kok bisa habis kalau yang minat biasa saja belum masuk tahap most wanted melebihi produk pembalut bersayap?”
“Jangan bilang siapa-siapa ya, Mas,” Pak Sufree pun celingak-celinguk. Dengan mendekatkan bibirnya yang adem-adem ke telinga saya, ia berkata, “Semua es krim Viennetta sudah dibeli sama istri saya biar nggak ada mamah muda yang ngubek-ngubek tubuh saya sampai berantakin es krim lain demi sebiji Viennetta, Mas.”
BACA JUGA Otak Bisnis Orang Indonesia: Es Krim Viennetta pun Ditimbun dan Dijual dengan Harga Mahal atau tulisan Gusti Aditya lainnya.