Jalan tol memang proyek yang bisa dibilang mengubah wajah Indonesia dalam kurun waktu satu dekade ini. Perjalanan antarkota yang dulu di angka belasan jam, kini bahkan bisa terpangkas hingga sepertiganya saja. Tak heran jika banyak yang menyambut proyek tol dengan bahagia.
Perlu diperhatikan, tidak semua ya. Jadi jangan diplintir.
Saya masih teringat jelas di kisaran 2007-an, ada rumor bahwa area perumahan tempat saya tinggal akan dibangun akses tol menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Saya kira itu tak hanya rumor, sebab banner-banner juga bertebaran di area tanah kosong yang akan dijadikan proyek.
Tapi, nyatanya itu hanya isu. Bertahun-tahun, tanah tersebut kosong tanpa guna. Hingga akhirnya era kepemimpinan Presiden Jokowi, di mana pembangunan tol bak jamur di musim hujan, akhirnya proyek tersebut pun dimulai. Pembangunan tol Cibitung-Cilincing pun dimulai.
Awalnya sih seneng. Pikir saya, akses ke mana-mana jadi lebih mudah. Tapi ya awalnya aja, abis itu malah jadi sebel. Mobil proyek silih berganti datang mengotori jalan kompleks, suara paku bumi yang bikin kuping sakit, bikin hidup jadi nggak nyaman.
Puncaknya pas akhir 2020, pas banjir besar melanda area Cibitung, tol itu bener bener nyusahin. Tol tersebut seakan-akan membendung air dari arah Kali Sadang, sehingga tak bisa mengalir ke area resapan karena tanah tol lebih tinggi dari pemukiman warga. Alhasil ya banjir jadi lama surut dan dalem banget.
Tol Cibitung-Cilincing, pembawa keruwetan
Tapi okelah. Itu risiko tinggal di dekat proyek, toh katanya buat pembangunan juga kan? Sempat berharap jalan arteri pantura nggak macet karena banyak truk besar lewat karena dialihkan lewat tol. Apalagi dijanjikan ada pintu tol dekat sini, pasti daerah sekitar akan maju nih. Itu prasangka baik saya.
Tapi, ketika proyek hampir jadi, tak ada tanda-tanda pintu tol dibuat di daerah sekitar perumahan. Padahal udah kesel karena orang proyek survei untuk kasih kompensasi seadanya, dan menjanjikan adanya kemudahan mobilitas. Nyatanya, tak ada sama sekali akses pintu tol Cibitung-Cilincing. Kalau mau ke tol, harus ke arah Cibitung dulu. Ya sama aja dong kayak mau ke tol Japek.
Nah pas jadi itu tol, dengan segala keruwetan bahkan dari pas rencana, terus molor pembangunan dan bikin susah orang sekitar tol, saya sering memandang tol itu dari balkon rumah. Pemandangan yang terlihat cuma beton terhampar sesekali mobil pribadi lewat, yang volumenya nggak lebih banyak dari jalan utama perumahan saya.
Awalnya saya pikir mungkin karena tol Cibitung-Cilincing masih baru, orang belum pada tahu. Tapi kok ya aneh, mengingat tol ini kan masih di pinggiran Jakarta dan tujuannya juga ke area utara Jakarta. Aneh jika sepinya nggak ketulungan di tengah macetnya tol di Jabodetabek.
Tapi, ternyata, bukan karena orang-orang nggak tahu, tapi nggak mau. Semua gara-gara tarif.
Tarifnya mahal banget
Ternyata yang bikin orang nggak mau mengakses tol Cibitung-Cilincing itu karena tarifnya jahanam alias mahal banget. Buat golongan 1 aja hampir 70 ribuan jika full trip. Bandingkan dengan tol saingannya yang lahir lebih dulu yaitu JORR 1 dari Cikunir ke Tanjung Priok yang cuma 17 ribu, ya orang lebih milih lewat Cikunir dibanding Cibitung.
Padahal target pasar tol ini kan buat mempermudah akses logistik, di mana yang dituju pasti truk kontainer dari kawasan industri di area Cibitung dan Cikarang. Tapi kok ya ngasih harga seenak udel, alhasil sepi dah.
Lebih berisik petugas yang hampir setiap malem lagi maintenance tol daripada mobil yang lewat. Enak sih rumah jadi nggak terlalu berisik. Tapi gimana gitu rasanya. Tol Cibitung-Cilincing kan anggarannya besar, waktunya lama pula. Rasanya mubazir, terlebih ada isu mau dijual rugi juga.
Nyatanya, tidak semua jalan tol itu ada untuk memudahkan. Terkadang, keberadaannya malah bikin kita emosi. Salah satunya ya, tol Cibitung-Cilincing ini.
Penulis: Mohammad Arfan Fauzi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jalan Layang MBZ: Jalan Tol yang Nggak Sekaya Namanya. Boro-boro Nyaman, Keamanannya Saja Diragukan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















