Kemarin, saya membaca sebuah artikel sambatan di terminal mojok yang ditulis oleh mbak Desi Murniati. Artikel tersebut berjudul “Bukti kalau S.Pd. itu bukan sarjana pendidikan, tapi sarjana penuh derita“. Intinya dalam artikel tersebut, si penulis sambat mengenai nasib sarjana pendidikan yang tidak punya privilese sama sekali dalam karir menjadi tenaga pendidik.
Saya pribadi merasa bahwa artikel ini kok terkesan lebay, dengan menganggap bahwa sarjana pendidikan itu terlihat paling menderita. Paling ngenes dengan segala situasi dan kondisi seleksi dalam dunia kerja. Padahal, kalau lihat realita, kesulitan dalam mencari kerja sesuai jurusan itu dialami hampir kebanyakan sarjana. Saya kasih contoh nasib kengenesan serupa adalah sarjana perbankan syariah. Sarjana yang gelarnya saya emban sekarang.
Berbeda dengan Mbak Desi yang masuk jurusan pendidikan karena salah jurusan, saya sendiri memilih perbankan syariah karena saya tertarik dengan diskursus dan prospek kerja yang dikampanyekan saat itu.
Saat awal mendengar ada jurusan perbankan syariah, saya langsung menjadikannya opsi pilihan jurusan saya. Selain karena suka dengan isu-isu ekonomi, saya juga tertarik mengetahui bagaimana sistem keuangan Islam modern yang diajarkan di jurusan perbankan syariah. Ndelalahnya saya ternyata diterima di jurusan tersebut.
Menjamurnya bank-bank syariah menjadi biang keladi munculnya jurusan ini. Demi menjawab kebutuhan industri katanya. Meskipun pada kenyataannya market share dari perbankan syariah selama 20 tahun terakhir masih betah-betah aja di angka 5%.
Sini sini saya kasih tahu gimana sarjana perbankan syariah bisa mengalami kengenesan serupa kayak sarjana pendidikan.
Kata banyak pengamat yang saya dengar di seminar-seminar dulu, jurusan perbankan syariah adalah jawaban atas ribanisasi yang merajalela di dunia saat ini. Lulusannya merupakan tulang punggung dalam mensyiarkan metode keuangan yang halalan toyyibah.
Mendengar hal itu, saya dan teman-teman saya yang waktu itu masih polos dan rentan tersugesti mengiyakan dengan bersemangat. Seakan-akan merasa bahwa setelah lulus, dunia akan menyambut kedatangan kami, serta memberikan Privilese kepada kami. Namun kenyataannya tidak demikian.
Berbeda dengan sarjana pendidikan yang semua teori dan materi perkuliahannya sangat related di industri pendidikan, perbankan syariah malah mengalami nasib yang sebaliknya. Jurusan Perbankan syariah yang harusnya membahas aspek inovasi dan solusi atas kegalauan perihal riba, menganalisa kesesuaian sebuah transaksi keuangan yang dianggap haram. sehingga mampu melahirkan sarjanawan yang progresif yang berkontribusi pada ekonomi bangsa malah cuma belajar soal aspek teori dan sumber-sumber narasi klasik pas kuliah.
Akhirnya, diskursus yang kami pelajar hanya berkutat pada sisi normatif perihal halal dan haram, boleh dan tidak boleh. Padahal, lebih dari itu, perbankan syariah adalah sebuah diskursus yang mengacu pada realitas ekonomi modern yang sangat kompleks.
Terlebih lagi program magang yang dihadirkan semasa kuliah pun hanya sebatas pantes-pantes. Banyak Kampus hanya menyerahkan mahasiswanya kepada bank, kemudian ditinggal pulang. Tanpa target, tanpa tanggung jawab, tanpa output, dan tanpa MOU yang jelas dengan pihak bank. Akibatnya mahasiswanya hanya jadi individu yang dieksploitasi tanpa dibayar. Jadi kurir antar uang, jadi tukang foto copy, bahkan ada yang hanya disuruh buka tutup pintu. Mengenaskan bukan??
Kengenesan itu pun beranjut pada respon instansi perbankan syariah yang tidak ramah. Ketidakramahan itu sudah dimulai saat kuliah. Sering saya temui dimana pihak bank syariah membatasi ruang gerak dalam melakukan penelitian. Atau bahkan enggan ketika diteliti. Alasannya SOP.
Bagaimana mahasiswanya mau menghadirkan solusi serta inovasi, bila setiap pengajuan riset yang dilakukan selalu ditolak dengan dalih SOP. Prinsip transparansi kenyataannya hanya sebuah slogan yang fungsinya hanya menarik minat investor dan nasabah.
Semua itu membuat para sarjana perbankan syariah tidak matang dan terkesan nanggung. Kemampuannya hanya sebatas pemahaman normatif yang kaku dan rumit. Bila disuruh menjelaskan mengenai sistem keuangan yang sederhana, mahasiswanya hanya mampu menjelaskan berdasarkan dalil dan akad-akad yang membingungkan.
Ketidakramahan pihak perbankan syariah juga dilihat dari presentase diterimanya lulusan perbankan syariah di bank syariah. Sangat sedikit. Pragmatisme perbankan syariah dalam mencari tenaga kerja menyebabkan lulusan perbankan syariah ditepikan. Lah yo to, bank syariah adalah lembaga komersial yang butuhnya orang yang pintar jualan produk, bukan yang pintar ndalil dan ceramah. Bisa-bisa produknya dikasih label haram semua karena terlalu teoritis.
Dengan bekal hanya berupa teori, tidak heran bila bank Syariah kurang berminat dengan lulusan perbankan syariah dan lebih memilih mereka yang berpengalaman atau berlatar belakang kampus kenamaan. Meskipun bukan berasal dari jurusan perbankan syariah.
Bila para sarjana pendidikan dihadapkan pada keharusan mengikuti PPG, maka para sarjana perbankan syariah dihadapkan pada lembaga sertifikasi bank. Banyak dari lembaga pelatihan swasta yang menawarkan sertfikasi perbankan syariah hanya dalam waktu 1 Sampai 3 bulan. Keberadaan lembaga ini pun membuat siapa pun yang bukan dari lulusan perbankan syariah, punya kesempatan yang sama untuk berkarir di bank syariah.
Melihat itu, tentunya membuat sarjana perbankan syariah merasa ijazah perbankan syariah yang dimiliki seperti kalah pamor. 4 tahun usaha mendapatkannya ternyata kalah oleh mereka yang bermodal sertifikat 3 bulan lembaga swasta.
Bukankah sama ngenesnya?
Dan kengenesan itu pun membuat saya berpikir bahwa jurusan perbankan syariah hanyalah sisi kapitalisme dari dunia pendidikan yang ingin mencari keuntungan dari sebuah euforia. Propaganda -propaganda positif dari para akadamis dan pakar nyatanya tidak dibarengi dengan kesiapan kampus dan keramahan industri perbankan.
Semua kondisi ini pun membuat saya berkesimpulan, bahwa nasib sarjana perbankan syariah itu nggak kalah ngenesnya dari sarjana pendidikan. Pada akhirnya, sarjananya pun hanya menjadi kisah berlanjut dari rantai pengangguran.
BACA JUGA Bukti kalau Kepanjangan S.Pd. itu Bukan Sarjana Pendidikan, tapi Sarjana Penuh Derita dan tulisan Muhamad Iqbal Haqiqi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.